Jumat, 08 April 2011

Interpretivisme Simbolik

INTERPRETIVISME SIMBOLIK

A. Interpretasi dan Simbol
Clifford Geertz (1973) mengemukakan suatu definisi kebudayaan sebagai: (1) suatu sisitem keteraturan dari makna dan simbol-simbo, yang dengan makna dan simbol tersebut individu-individu mendefinisikan dunia mereka, mengekspresikan persaan-perasaan mereka, dan membuat penilaian mereka; (2) suatu pola makna-makna yang ditransmisikan secara historis yang terkandung dalam bentuk-bentuk simbolik, yang melalui bentuk-bentuk simbolik tersebut manusia berkomunikasi, memantapkan, dan mengembangkan pengetahuan mereka mengenai dan bersikap terhadap kehidupan; (3) suatu peralatan simbolik bagi pengontrol perilaku, sumber-sumber ekstrasomatik dari informasi; dan (4) oleh karena kebudayaan adalah suatu sistem simbol, maka proses kebudayaan harus dipahami, diterjemahkan, dan diinterpretasi. Bahasa simbolik dari kebudayaan adalah public, dan oleh sebab itu peneliti tidak boleh berpura-pura telah memperoleh pengetahuan yang mendalam mengenai sudut-sudut gelam dalam pikiran individu. Fungsi simbolik itu universal, dan manusia tidak dapat memahami kebudayaan suatu masyarakat tanpa fungsi ini, yang bekerja di sepanjang kode genetik itu sendiri. (Geertz 1973). Jadi, menjadi manusia berarti berkebudayaan.

B. Bermula dari Antropologi Simbolik
Dalam perkembangan selanjutnya, pandangan interpretive sering kali dihubungkan dengan konsep simbol, terlebih setelah Geertz mengembangkan versi pendekatan interpretifnya sendiri. pada mulanya pendekatan ini disebut antropologi simbolik, yang kelak disebut saling mengganti dengan interpretivisme simbolik karena penekanan yang berbeda. Simbol adlah objek, kejadian, bunyi bicara, atau bentuk-bentuk tertulis yang diberi makna oleh manusia. Bentuk primer dari simbolisasi oleh manusia adalah melalui bahasa. Tetapi manusia juga berkomunikasi dengan menggunakan tanda dan simbol dalam lukisan, tarian, musik, arsitektur, mimikwajah, gerak-gerik, postur tubuh, perhiasan, pakaian, ritus, agama, kekerabatan, nasionalitas, tata ruang, pemilikan barang, dan banyak lagi lainnya. Manusia dapat memberikan makna kepada setiap kejadian tindakan, atau objek yang berkaitan dengan pikiran, gagasan dan emosi. Persepsi tentang penggunaan simbol sebagai salah satu ciri signifikan manusia menjadi sasaran kajian yang penting dalam antropologi dan disiplin-disiplin lain. Susanne Langer (1951) misalnya, melihatnya sebagai tren yang berubah dalam aktivitas intelektual manusia modern.

Dalam dunia antropologi, istilah simbol sudah semenjak lama dinyatakan baik secara eksplisit. Edward Tylor, perintis antropologi abad ke-19, misalnya menulis : “kekuatan penggunaan kata-kata sebagai tanda untuk mengekspresikan pemikiran, yang dengan ekspresi itu bunyi tidak secara langsung menghubungkannya, sebenarnya sebagai simbol-simbol arbiter, adalah tingkat kemampuan khusus manusia yang tertinggi dalam bahasa, yang kehadirannya mengikat bersama semua ras manusia dalam kesatuan mental yang substansial.
Leslie White (1940), dalam suatu tulisan tentang manusia sebagai spesies yang mampu menggunakan simbol-simbol, menunjuk pentingnya konteks dalam makna simbol. Ernest Cassier (1944) berpendapat bahwa tanpa suatu kompleks simbol, pikiran rasional tidak akan mungkin terjadi. Manusia memiliki kemampuan untuk mengisolasi hubungan-hubungan dan mengembangkannya dalam makna abstrak. Cassier menunjuk geometric sebagai suatu contoh klasik. Geometrik secara konseptual berkaitan dengan hubungan-hubungan spasial yang ekspresinya adalah bahasa simbolik dan suatu bentuk representasi. Namun, sistem abstrak ini bisa diterapkan untuk membangun masalah-masalah. Cassier mengekspresikan hakikat simbolik pengalaman manusia sebagai berikut : “manusia tidak lagi hidup semata-mata dalam semesta fisik, manusia hidup dalam semesta simbolik. Bahasa, mite, seni, dan agama adalah bagian-bagian dari semesta ini. Bagian-bagian dari semesta itu bagaikan aneka ragam benang yang terjalin membangun anyaman jaring-jaring simbolik. Semua kemajuan manusia dalam pemikiran dan pengalaman memperhalus dan memperkuat jaring-jaring ini.
Tatkala antropolog mulai mengembangkan suatu perspektif kebudayaan sebagai suatu sistem simbol, makna dan nilai-nilai, berbagai subdisiplin antropologi yang menggunakan orientasi ini bermunculan. Dua diantaranya adalah antropologi semiotic (kajian tentang tanda) dan antropologi simbolik. Seringkali, kajian semiotik dikelompokkan bersama dengan antropologi simbolik, dimana tanda dan simbol dibicarakan bersama-sama.
Simbol atau tanda dapat dilihat sebagai konsep-konsep yang dianggap oleh manusia sebagai pengkhasan sesuatu yang lain yang mengandung kualitas-kualitas analisis logis atau melalui asosiasi-asosiasi dalam pikiran dan fakta. Simbol pohon Mudyi pada orang Ndembu, Zambia, Afrika, dari Viktor Turner (1967) adalah salah satu contoh yang penting. Suatu simbol menstimulasi atau membawa sutau pesan yang mendorong pemikiran atau tindakan. Charles Pierce, peletak dasar disiplin semiotik modern, mengidentifikasi tiga tipe tanda : (1) tanda ikonik yang mencerminkan objeknya dalam hal tertentu. (palang salib adalah tanda ikonik, yang menyampaikan gagasan dan makna kekeristenan); (2) tanda indeks yang secara fisik terkait dengan objeknya. (misalnya bendera dipasang setengah tiang berarti ada orang penting meninggal) ; dan (3) simbol-simbol seperti bahasa yang berarti bagi objeknya karena ditafsirkan sedemikian melalui kesepakatan dan penggunaan.. sebagian kajian sistem simbol dan tanda memusatkan perhatian kepada logika internal. Yang lan, biasanya yang tidak terkait dengan linguistik, menekankan tindakan sosial dan konteks sosial dari tanda dan simbol tersebut ketika mereka menghubungkannya dengan sistem perilaku dan nilai-nilai suatu kebudayaan suatu masyarakat.
Antropologi simbolik memandang manusia sebagai pembawa dan produk, sebagai subjek sekaligus objek, dari suatu sistem tanda dan simbol yang berlaku sebagai sarana komunikasi untuk menyampaikan pengetahuan dan pesan-pesan. Simbol memberikan landasan bagi tindakan dan perilaku selain gagasan dan nilai-nilai. Teori simbolik mengenai kebudayaan adalah suatu model dari manusia sebagai spesies yang menggunakan simbol, berbeda misalnya dengan teori materialisme kebudayaan yang berlandaskan pandangan bahwa manusia adalah spesies yang memproduksi. Kedua model ini mengakui eksistensi aspek materi maupun aspek mental dari keberadaan manusia, tetapi masing-masing model memandang satu sama lain dari perspektifnya sendiri. defenisi simbolik dari kebudayaan adalah kebudayaan adalah bagian dari suatu tren yang memandang kebudayaan sebagai ilmu mengenai makna-makna. Antropolog simbolik mengkaji sistem kode dan pesan yang diterima oleh manusia melalui interaksi mereka dengan manusia lain dan dengan dunia alamiah. Seluruh semesta dipenuhi tanda-tanda. Apabila benar bahwa semua makhluk berkomunikasi dengan bentuk tanda dan simbol, maka antropologi simbolik sesungguhnya melakukan kajian yang universal dalam ruang lingkupnya.
Sebagian besar pengetahuan, pikiran, perasaan, dan persepsi manusia terkandung dalam bahasa, suatu sistem simbo. Kata-kata mengandung makna atau nama yang menggolong-golongkan objek dan pikiran. Kata-kata adalah persepsi konseptual mengenai dunia, dunia yang terkandung dalam simbol-simbol. Simbol-simbol kata, bahasa sesuai bagi suatu masyarakat pada waktu dan tempat tertentu. Kata planet berarti sesuatu yang berbeda pada abad pertama daripada maknanya pada abad kini. Linguistik, kajian mengenai bahasa, telah memberikan kepada antropolog simbolik teknik-teknik untuk mengungkapkan dan memahami kode-kode yang merepresentasikan kompleks motif, pengalaman dan pengetahuan yang membentuk dan mengekspresikan keyakinan dan tindakan. Jadi linguistik adalah pendahulu histories bagi antropologi simbolik.
Victor Turner (1975) mengelompokkan antropolog simbolik menjadi dua: (1) kelompok yang memusatkan perhatian pada sistem abstrak yang meliputi ahli linguistik, strukturalis, dan antropolog kognitif (mereka memusatkan perhatian perhatian pada analisis formal dan kurang memperhatikan isi ketimbang metode dan logika), dan (2) kelompok yang memusatkan perhatian pada simbol dan kelompok dinamika sosial, yang meliputi antropolog semiotik dan simbolik, sosiolinguistik, fokloris, dan kritikus sastra (mereka memperpadukan analisis formal dengan isi, dan persepsi dan makna dengan tindakan sosial.
Clifford Geertz menekankan bahwa antropolog seharusnya bergeser dari upaya melakukan eksplanasi menjadi upaya menemukan makan dan memandang penting simbol dalam penelitian antropologi. Ia menekankan signifikansi konteks sosial sebagai unsur yang amat penting dalam memahami makna simbol. Ia mengusulkan agar antropolog mengalihkan perhatian dari meneliti tanda dan simbol dalam abstraksi “kepenelitian tentang tanda dan simbol dalam habitat alamiahnya-dunia alamiah dimana manusia melihat, memberi nama, mendengar dan membuat” (1983;119)

Interpretivisme Simbolik sebagai Paradigma
Interpretivisme Clifford Geertz
Antropologi simbolisme, atau sering kali juga disebut antropologi interpretif atau antropologi humanistik, berupaya mengorientasikan kembali antropologi kebudayaan dari strategi menemukan eksplanasi kausal bagi perilaku manusia menjadi strategi untuk menemukan interpretasi dan makna dalam tindakan manusia. Inilah strategi yang berupaya membangun kajian humanitas ketimbang ilmu pengetahuan sebagai model bagi antropologi. Antropologi interpretif berupaya menemukan hubungan-hubungan analog kehidupan sosial manusia dengan teater, drama, sandiwara, dan kesastraan ketimbang dengan ukir-ukiran, mesin, dan struktur-struktur organic.
Antropologi humanistik adalah mentalis dalam orientasinya, yang memandang kebudayaan sebagai sistem gagasan, nilai-nilai, dan makna. Ini berbeda dari pendekatan mentalis lainnya yang mencari sebab musabab perilaku manusia. Antropologi interpretif atau humanistic berupaya menemukan eksplanasi kausal yang senada dengan pendekatan hermeneutic yang ingin menemukan makna melalui interpretasi perilaku atau teks.
Daripada berupaya membangun proposisi-proposisi melalui kajian komparatif dari banyak kasus, antropologi interpretif lebih cenderung menggunakan pendekatan ideografik, yakni kajian mengenai suatu kasus tunggal yang dapat menghasilkan pandangan teoritis dan makna-makna. Makna-makna disampaikan melalui penggunaan simbol-simbol yang berlaku bagi nilai-nilai, kode-kode dan aturan-aturan. Pandangan ini tak menolak dunia materi tapi berkeyakinan bahwa cara terbaik untuk memahami dunia materi dan sosial manusia dengan mendengarkan cara-cara orang-orang yang hidup dalam suatu masyarakat menjelaskan dan memahamai institusi dan adapt mereka. Tugas antropolog adalah menginterpretasi-interpretasi warga masyarakat tersebut.

Clifford Geertz dapat dikatakan adalah pendiri pendekatan interpretif dalam antropologi. Ia mengemukakan bahwa antropologi tidak dapat berangan-angan menjadi ilmu pengetahuan dengan cara seperti ilmu fisika, dengan hukum dan generalisasi yang didasarkan pada data empiris dan dapat diverifikasi. Geertz yakin bahwa antropolgi harus didasari oleh relaitas konkret, tetapi dari realitas ini antropolog menemukan makna bukan prediksi yang didasarkan pada data empiris. Geertz berargumen menentang penggunaan model dalam penelitian sosial. Model terlalu abstrak dan membatasi analisis sosial dari kualitas yang hidup. Bagi Geertz, antropologi harus mendasarkan dirinya sendiri pada disiplin-disiplin humanistic, yang menggunakan deskripsi, puisi, sastra, mite, simbol, dan cirri-ciri manusia yang membedakan manusia dari spesies lainnya.
Miles Richardson (1984:275) mendukung antropologi interpretif sebagai ilmu kemanusiaan. Ia berpendapat bahwa antropolog tidak harus melihat kepada ilmu-ilmu fisik demi membangun model prediktif, melainkan melihat kepada humanitas untuk membangun pendekatan interpretif..? Richardson berkeyakinan antropologi interpretif mengkombinasikan konsep kebudayaan sebag/ai simbol dengan konsep kebudayaan sebagai interaksi sosial.
Orientasi Geertz , untuk menemukan makna yang didasarkan pada pandangan native sesungguhnya relativistik. Pandangan itu ditujukan untuk menjadikan antropolog peka terhadap pandangan selain dari pandangannya sendiri. yang dimaksud Geertz sebenarnya adalah suatu pandangan yang mencerminkan proses pengetahuan diri sendiri, persepsi diri sendiri dan penmahaman diri sendiri bagi pengetahuan orang lain, persepsi orang lain, dan pemahaman orang lain yang mengidentifikasi dan memilah siapa pengamat dan siapa orang-orang yang diamati. Geertz memberi judul bukunya Local Knowladge (1983). Judul itu sendiri menggambarkan minatnya secara khusus yang konkret, kasus individual, memperoleh pengetahuan dengan mulai dari dasar pengetahuan orang-orang yang dikaji (the native) dan mengkombinasikannya dengan pengetahuan pengamat.
Geertz mengakui bahwa pendekatannya dalam antropologi adalah hermeneutik. Pendekatan hermeneutic terhadap ilmu-ilmu manusia dikembangkan oleh sejumlah ahli filsafat seperti Ludwig Wittgenstein, Hans-George Gadamer, Martin Heidegger, Paul Ricoeur, dan Jurgen Habermas. Pandangan hermeneutic menentang gagasan bahwa ilmu-ilmu humaniora dapat formal, fungsional, dan kuantitatif. Pandangan ini tidak menerima konsep bahwa pengetahuan berasal dari pengamatan atas dunia sedemikian dimana pengamat netral atau objektif. Geertz secara eksplisit berutang gagasan dari Wittgenstein (1968) dan Alfred Schutz (1973) yang menentang gagasan bahwa pengamat dapat netral. Karya Geertz menekankan bahwa kebudayaan dan organisasi sosial tidak terdapat terpisah dari individu melainkan dalam dan melalui interpretasi individual mengenai kejadian-kejadian dan objek-objek di sekitarnya. Oleh sebab itu ia menerima gagasan bahwa keteraturan sosial itu adlah subjektif dan objektif, suatu ihwal nilai-nilai dan motivasi-motivasi individual, namun terikat dalam simbol-simbol publik dan komunikasi. Menarik untuk membandingkan gagasan-gagasan Geertz dengan pandangan Heidgger (1972). Kebenaran, menurut Heidegger, dicari melalui interaksi manusia dengan dunia. Bagi Heidegger, hermeneutik, atau pemahaman interpretif, bukan cara untuk mengetahui dunia ; hermeneutic adalah cara kita memahami bahwa “demikianlah kita apa adanya. Hermeneutic atau interpretif adalah bentuk dasar dari keberadaan manusia. Interpretasi bukanlah alat, melainkan esensi dari manusia itu sendiri. Menurut Heidegger pengetahuan bukanlah sesuatu ang kita konstruksi dengan menggunakan metode-metode yang berjarak dengan kita dari apa yang akan kita ketahui. Heridegger yakin bahwa tidak ada jalan bagi subjek/pengamat untuk memisahkan dirinya dari objek/yang diamati. Dalam pandangan ini, pencarian pengetahuan dikondisikan oleh kebudayaan, konteks, dan sejarah.
Pandangan antropologi tradisional adlah bahwa jika seseorang ingin memahami kebudayaan dari masyarakat lain, ia harus memainkan peranan sebagaimana yang dilakukan masyarakat lain tersebut. Malinowski yakin bahwa hanya dengan benar-benar melakukan seperti yang dilakukan native barulah orang dapat memahami apa maknanya baginya. Geertz menegaskan tentang pentingnya pandangan native sebagai satu jalan bagi pemahaman antropologi (Dolgin, Kemnitzer, dan Schneider (1977:480-92)

Interpretivisme Simbolik sebagai Paradigma
Antropologi simbolik berlaku atas dasar konsep bahwa manusia adlah hewan pertama pencari makna yang menggunakan simbol. Interpretivisme simbolik adalah “kajian mengenai istilah-istlah dasar yang dengannya kita memandang diri kita sendiri sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat, dan mentenai bagaimana istilah-istilah dasar ini digunakan oleh manusia untuk membangun suatu metode kehidupan bagi diri mereka sendiri . Interpretivisme simbolik memandang penting emik demi kepentingan data itu sendiri. Menurut Dolgin, Kemnitzer, dan Schneider (1997:34) “yang mendasar bagi kajian antropologi simbolik adalah tentang bagaimana manusia memformulasikan realitas mereka. Membandingkan realitas emik dan etik bukanlah misi antropologi simbolik. Yang kita perhatikan bukanlah apakah pandangan yang dimiliki orang-orang yang kita teliti akurat atau tidak akurat dalam pengertian ilmiah. Dalam tindakan sosial, yang nyata harus dipandang sebagai nyata.
Sasaran pokok dari Interpretivisme simbolik adalah untuk mengungkap jawaban mengenai masalah-masalah mendasar dari keberadaan manusia termasuk hakekat dan makna kehidupan selain cara-cara bagaimana identitas manusia didefinisikan dan diperlihara dan kemudian menerjemahkan jawaban-jawaban itu menjadi konsep-konsep yng dapat dipahami bagi peneliti. Jadi menurut Geertz “sasaran antropologi adalah perluasan universe dari wacana manusia. Geertz menyatakan bahwa “analisis kebudayaan adalah menduga-duga makna, menilai dugaan-dugaan itu, dan menggambarkan kesimpulan-kesimpulan eksplanatoris dari dugaan-dugaan yang lebih baik”. Namun dengan pengecualian beberapa konsep yang sangat umum antropologi simbolik tidak menentukan secara spesifik prinsip-prinsip apa yang mereka gunakan ketika berusaha membangun kesimpulan-kesimpulan eksplanatorois (1973:20).
Selain itu ada asumsi-asumsi dan konsep-konsep lain yang juga diasosiasikan dengan antropologi simbolik. Pertama adalah konsep Victor Turner (1969) mengenai karakter simbol “multivokalik”, atau kemampuan simbol untuk mempresentasi beberapa makna yang berbeda-beda sekaligus. Yang lain adalah konsep yang juga terkenal dari Turner, yakni karakter prosesual dari sistem sosial. Antropologi simbolik berasumsi bahwa simbol memainkan peranan penting dalam proses sosial budaya. Turner misalnya berpendapat bahwa “bahkan pada masyarakat yang paling sederhana, perbedaan antara struktur (keteraturan hierarki dari status dan peranan sosial, politik dan ekonomi) dan communitas (komunion orang-orang individual yang langsung, tanpa perantara dan tidak berstruktur) ada dan memperoleh ekspresi simbolik dalam atribut-atribut kebudayaan dari liminalitas, marginalitas dan inferioritas dan bahwa jika dilihat bersama-sama, struktur dan communitas menunjukkan kondisi manusia yang memandang hubungan manusia dengan manusia lainnya (1969 : 30).
Eksplanasi yang ditawarkan oleh antropolog simbolik jelas interpretif. Bagi Geertz (1973:5), analisis kebudayaan bukanlah ilmu eksperimental dalam mencari hukum, melainkan interpretif dalam mencari makna. Mengetahui dan memahami realitas emik diperlukan dalsam pendekatan interpretif. Menurut Geertz “memahami bentuk dan isi kehidupan internal masyarakat yang kita teliti mirip seperti mengetahui dan memahami peribahasa, menangkap ilusi, atau mendengarkan lelucon. Dalam hal itu, antropolog simbolik mirip dengan strukturalisme, yang juga menawarkan eksplanasi interpretif, namun jelas berbeda dari materialisme kebudayaan, yang menawarkan eksplanasi kausal.

Gelombang Kritik
Banyak kritik bahkan banyak diantaranya dari kalangan antropologi simbolik sendiri dilontarkan terhadap keyakinan bahwa pendekatan ilmiah dan interpretif secara mutual eksklusif. Paul shankman (1984:261), misalnya mengklaim bahwa sisi pragmatik karya Geertz adalah upaya untuk memfokuskan kembali antropologi yang juga bisa berarti semua ilmu sosial lain jauh dari pengaruh ilmu-ilmu alamiah dan menuju re-integrasi dengan bidang-bidang humanitas. Memang benar bahwa antropologi simbolik memperoleh lebih banyak inspirasi dari seni dan humanitas daripada ilmu-ilmu alamiah, sebagaimana dikatakan Scholte (1984:542), tetapi meskipun validitas dari eksplanasi interpretif pada umumnya dipandang agak lemah, tidak alasan yang mendasar bahwa eksplanasi interpretif tidak dapat memenuhi standar ilmiah dar verifikasi. Selama eksplanasi interpretif itu sistematik, konsisten, koheren, bisa direplikasi, dapat dibuktikan, maka eksplanasi ini ilmiah.
Kelemahan esensial dari antropologi simbolik bukanlah karena ia tidak berhasil memperhitungkan sebab musabab pikiran dan perilaku manusia, seperti yang dilakuka materialisme kebudayaan. Melainkan, kurangnya pedoman teoritis dan metodologis yang eksplesit. Ada tiga masalah kelemahan teoritis dan metodologis antropologi simbolik. Pertama, ada masalah replikabilitas. Jika orang kurang memahami pandangan imajinatif Clifford Geertz, bagaimana mungkin ia melakukan penelitian di bawah paradigma antropologi simbolik? Dalam kenyataan Geertz (1983:11) mengemukakan bahwa orang-orang yang ingin melakukan analisis simbolik sebenarnya hanya perlu mempelajari metodologinya sendiri karena praktek yang sukses dari pendekatan interpretif adalah seperti naik sepeda yang lebih mudah dilakukan daripada hanya dikatakan. Dalam kritiknya terhadap antropologi simbolik, Ranner mengatakan bahwa “tak adanya teori dan metodologi yang meyakinkan secara empiris mengandung konsekuensi bahwa fakta tak ada program yang memberikan arah bagaimana penelitian seharusnya dilakukan.
Kedua, ada masalah verifikasi, suatu hal yang diakui oleh antropolog simbolik. Geertz dengan cermat mengamati bahwa “suatu kelemahan pendekatan interpretif…adalah bahwa pendekatan ini cenderung resistan, atau memiliki peluang untuk resistan, terhadap artikulasi konseptual dan oleh sebab itu dari mode-mode sistematik penilaian”. Malahan para kritikus Geertz yang simpatik mengakui adanya kekuarangan paradigma interpretif ini. Richardson (1984;275), misalnya menulis bahwa “patut kita ketahu, ilmu sosial interpretif itu memiliki resiko sendir; menjadi terlalu cermat, jelimet, menyebabkan interpretasi tebal menjadi padat. Maka isu verifikasi menjadi penting.
Aspek ketiga dari masalah kekurangan teoritis ini adalah kecenderungan archinductivism dalam antropologi simbolik. Antropologi simbolik kerap kali keliru dalam berasums bahwa akumulasi semata-mata data emik akan menunjukkan prinsip-prinsip teoritis yang signifikan yang mengeksplanasi kesamaan lintas budaya.”Tugas rangkap antropologi simbolik, yakni menganalisis unsur-unsur simbolik dari ranah semantic emik dan mengonstruksi prinsip-prinsip analitis untuk menjelaskan proses-proses etik kebudayaan. Antropologi simbolik tidak menyempurnakan tugas tersebut, tetapi cukup adil kalau dikatakan bahwa antropologi simboliklah yang telah memulai dengan baik, meski sebahagian kritik menuduh bahwa antropolog interpretif akhir-akhir ini talh menyimpang dari tugas tersebut (Shankman, 1984:269). Suatu masalah yang juga sering kali diperdebatkan adalah konsep konteks dalam pendekatan Geertz. Barbara Frankel (1986), misalnya mengemukakan bahwa konteks adalah konsep yang sukar dan longga, dan berakhir. Sebagaimana ilmuwan sosial yang lain lebih suka menempuh jalan moderat. Mereka mengemukakan bahwa satu-satunya cara untuk mencapai ketepatan maksimum dalam menginterpretasi tindakan sosial adalah membatasi satuan pengamatan menjadi ranah yang sempit, pengkajian berskala kecil, dan mengkajinya semaksimum mungkin. Akan tetapi, tampaknya antropolog interpretif masih berhadapan dengan suatu masalah lain yang serius, yakni generalisasi, suatu tingkatan kesimpulan yang diidam-idamkan oleh semua ilmu pengetahuan. Dalam upaya mencapai generalisasi ini, sebagian disiplin ilmu sosial yang lain menempuh jalan mereduksi fenomena-fenomena sosial menjadi angka statistik. Mereka mengemukakan bahwa cara statistic dan numeric menawarkan ruang lingkup yang lebih luas dan memungkinkan untuk membangun generalisasi. Tapi, sebagaimana dikemukakan Frankel (1986), reduksionisme cenderung hanya menggambarkan pola-pola dan struktur-struktur fenomena sosial daripada mengungkapkan sebab-musabab dan proses.
Interpretivisme simbolik memperoleh tempat yang penting dalam pemikiran postmodernisme ilmu-ilmu sosial semenjak akhir abad ke 20 dan awal abad ke 21 ini. Gagasan tentang kebudayaan sebagai simbol, dan simbol adalah bersifat public, memberikan alternatif yang penting bagi memahami kebudayaan dan masyarakat melalui tindakan sosial, praktik sosial dan makna. Di Amerika Serikat, Clifford Geertz mulai mengembangkan gaya interpretivismenya sendiri. Antropologi di tangannya membuat analogi linguistik dikesampingkan. Kebudayaan tidak lagi merupakan “tata bahasa” metaforis yang digambarkan dan ditulis, kebudayaan adalah bahasa-bahasa yang diterjemahkan menjadi konsep-konsep yang masuk akal bagi anggota-anggota kebudayaan-kebudayaan lain atau lebih kerap dari tidak, kebudayaan antropolog sendiri. (Barnard, 2000:158)
Sebagai penutup bab ini, beberapa karakteristik paradigma interpretivisme simbolik, atau hingga tahun 1980-an sering kali disebut juga antropologi simbolik, diuraikan sebagai berikut :
1. Mempelajari esensi signifikansi makna bagi kehidupan manusia.
2. Manusia dipandang sebagai makhluk pertama yang paling mempu menggunakan dan memaknai simbol.
3. Mengajukan dua pertanyaan mendasar : a) apa makna (signifikansi) identitas manusia manusia: b) apa signifikansi makna dari operasional sistem sosial manusia? Makna berarti pola-pola interpretasi dan perspektif yang dimiliki bersama yang terkandung dalam simbol-simbol tersebut manusia mengembangkan dan mengomunikasikan pengetahuan mereka mengenai, dan bersikap terhadap kehidupan.
4. Paradigma ini didorong oleh suatu isu sentral : masalah universal yang konkret…Paradigma (berupaya) mencerminkan yang universal seolah-olah keluar dari yang spesifik, tanpa mereduksi yang spesifik tersebut semata-mata menjadi ilustrasi dari yang universal.
5. Merupakan kajian mengenai istilah-istilah dasar yang kita gunakan untuk memandang diri kita sendiri sebagaimana manusia dan sebagai anggota masyarakat, dan bagaimana istilah-istilah dasar tersebut digunakan oleh manusia untuk membangun diri mereka sendiri sebagi mode kehidupan.
6. Mengacu kepada konteks perceptual dari pengalaman yakni cara-cara manusia membangun orientasi kognitif mereka bagi kehidupan, atau cara-cara yang digunakan manusia, sebagai hewan sosial, memperoleh pengetahuan dan nilai-nilai mengenai diri mereka sendiri dan dunia mereka. Pada analisis terakhir, paradigma ini mempresentasi upaya untuk mengungkapkan diversitas cara-cara manusia mengonstruksi kehidupan mereka dalam tindakan.
7. Menekankan pengumpulan data emik. Yang mendasar bagi paradigma ini adlah tentang bagaimana manusia memformulasikan realitas mereka.
8. Membandingkan “realitas emik dan realitas etik bukanlah misi paradigma ini. Perhatian kita bukanlah pada…apakah pandangan suatu masyarakat akurat secara “ilmiah”. Paradigma ini tidaklah menjawab pertanyaan mendalam yang kita ajukan dalam penelitian, melainkan mempersiapkan diri kita untuk menjawab pertanyaan sebagaimana jawaban yang seharusnya diberikan oleh warga masyarakat yang dikaji…yang berarti melibatkan mereka, pandangan mereka tentang dunia, dan jawaban mereka menjadi bagian yang sentral dalam jawaban kita.
9. Tugas paradigma ini adalah merepresentasikan upaya…untuk memahami bagaimana kita memahami pemahaman yang bukan pemahaman kita.
10. Sasaran utama paradigma ini adalah untuk mengungkapkan jawaban mengenai masalah-masalah mendasar dari eksistensi manusia termasuk hakikat dan makna kehidupan manusia di samping cara-cara dimana identitas manusia didefinisikan dan dipelihara.




Contoh-contoh Kajian Interpretivisme Simbolik dalam kehidupan
1. Kajian Clifford Geertz (Makna Simbolik pada Makanan)
Makanan merupakan sesuatu yang pokok dalam hidup. Makanan juga penting bagi pergaulan sosial. Jika tidak ada cara-cara dimana makanan dimanipulasikan secara simbolis untuk menyatakan persepsi terhadap hubungan antara individu-individu dan kelompok-kelompok maka akan sulit menggambarkan kehidupan sosial (Foster dan Anderson, 1986 : 317).
Menurut pendekatan interpretivisme simbolik (antropologi simbolik) simbol adalah objek, kejadian, bunyi bicara, atau bentuk-bentuk tertulis yang diberi makna oleh manusia (Achmad Fedyani Saifuddin, 2006 : 289). Manusia dapat memberikan makna kepada setiap kejadian, tindakan atau objek yang berkaitan dengan pikiran, gagasan, dan emosi. Leslie White (1940, dalam Achmad Fedyani Saifuddin, 2006 : 290) mengemukakan bahwa manusia sebagai spesies yang mampu menggunakan simbol, menunjuk pentingnya konteks dalam makna simbol. Makna mengacu kepada pola-pola interpretasi dan perspektif yang dimiliki bersama yang mengejawantah dalam simbol-simbol, yang dengan simbol-simbol itu manusia mengembangkan dan mengomunikasikan pengetahuan mereka mengenai dan bersikap terhadap kehidupan.
Geertz (dalam Achmad Fedyani Saifuddin, 2006 : 298) memandang konteks kebudayaan bukan sebagai seperangkat proposisi umum, melainkan sebagai jaringan makna yang dirajut manusia dan didalamnya mereka mengoperasionalisasikan seolah mereka melaksanakan kegiatan sehari-hari. Menurutnya kebudayaan terdiri dari struktur-struktur makna yang dibangun secara sosial.
Dalam kaitannya dengan makanan, setiap masyarakat memberikan makna simbolik tertentu terhadap makanan. Menurut Sudarti (1989 : 68 – 69) di dalam hampir semua masyarakat makanan berfungsi sebagai alat mengadakan interaksi sosial. Selanjutnya Foster dan Anderson (1986 : 317 – 322) mengemukakan tentang peranan simbolik dari makanan, yaitu :



1. Makanan sebagai pernyataan adanya hubungan sosial
Pada semua masyarakat, kebiasaan memberi makanan dan minuman adalah sebagai suatu pernyataan cinta kasih dan persahabatan. Menerima makanan dari seseorang sama halnya dengan menerima perasaan yang dinyatakan seseorang dan membalas perasaan orang tersebut. Disamping itu ada makanan tertentu yang merupakan simbol kekerabatan dan keramah-tamahan, misalnya garam pada masyarakat Roma.
2. Makanan sebagai simbol pernyataan solidaritas kelompok
Kita mengenal makanan sebagai alat untuk memelihara hubungan keluarga. Misalnya pada masyarakat Indonesia sering dilakukan acara makan bersama pada waktu arisan atau pertemuan keluarga. Hal ini menunjukkan persatuan atau ada ikatan yang erat di dalam kelompok atau keluarga. Dalam pengertian yang luas makanan sebagai simbol identitas suku bangsa atau bangsa tetapi tentunya tidak semua makanan mempunyai simbol tersebut. Misalnya makanan “gudeg” sebagai identitas masyarakat Jawa Tengah, makanan “rendang” sebagai identitas suku bangsa Minangkabau.
3. Makanan sebagai pernyataan rasa stress
Pada beberapa masyarakat ada suatu tendensi untuk lebih banyak makan dari ukuran normal pada waktu seseorang merasa susah atau pada saat mengalami stress. Sehubungan dengan hal tersebut, Burgess dan Dean menyatakan bahwa sikap terhadap makanan sebagai refleksi rasa marah juga perasaan tertekan atau stress.
4. Makanan sebagai simbol bahasa
Makanan sebagai bahasa dapat dijumpai pada ungkapan-ungkapan yang ada pada masyarakat Indonesia. Misalnya ungkapan “muka masam” menunjukan orang yang sedang marah. Ungkapan “cabe rawit” menunjukan simbol orang yang pandai.






2. Peuseujuk sebagai Simbol
Sepanjang kegiatan manusia selalu terdapat kegiatan yang bersifat metaforik atau simbolik yang sering-kali merupakan perwujudan lain dari apa yang ingin diwujudkan, begitu kata Dilthey. Dunia manusia memang dunia simbol yang sarat dengan makna.
Di tambak... jalinan janur yang dianyam sedemikian rupa digantung di pintu air. Dalam anyaman tersebut terdapat bungkusan kain putih dan botol kecil berisi minyak wangi. ”itu namanya peuseujuk” berasal dari Aceh. Ini dilakukan setiap menjelang panen, ayam hitam dan ayam putih dipotong di pintu air. Tulang dan bagian-bagian tertentu kemudian dibungkus dan diletakan dalam anyaman tersebut bersama benda-benda lain yang memiliki makna tertentu. Acara dilakukan beramai-ramai dimana do’a dan makan bersama dilakukan sebagai bagian dari prosesi. Apapun... itu adalah fenomena sosial dimana simbol-simbol tertentu digunakan dengan makna tertentu.
Realitas sosial melalui simbol kadang terlihat samar namun sering juga telihat dalam bentuk yang lebih nyata. Pada kasus tersebut simbol warna hitam dan putih sering digunakan untuk menyatakan adanya persepsi oposisi biner. ..hitam-putih... jahat-baik.... benar-salah.... yang sering digunakan untuk mempermudah pemahaman akan pesan moral yang ingin disampaikan, baik melalui cerita, legenda, juga dalam ritual tertentu.

Durkheim memandang makna dan fungsi ritual dalam masyarakat sebagai suatu aktifitas untuk mengembalikan kesatuan masyarakat. Hal tersebut mengilhami pandangan bahwa ritual dapat dilihat sebagai simbol. Menurut Victor Turner ketika mengkaji ritual (upacara keagamaan) pada masyarakat Ndembu di Afrika, simbol-simbol dalam bentuk ritual berfungsi sebagai jembatan penghantar satuan-satuan kenyataan yang berbeda-beda dari pengalaman manusia. Ritual bagi masyarakat Ndembu adalah tempat mentransendensikan konflik keseharian.. Sebagai media untuk mengurangi permusuhan diantara warga masyarakat yang disebabkan adanya kecurigaan-kecurigaan. Menutup jurang perbedaan yang disebabkan friksi di dalam masyarakat, sebagai sarana untuk memantapkan kembali hubungan yang ada dan sebagai medium untuk menegaskan kembali nilai-nilai masyarakat. Dengan demikian konsepsi-konsepsi simbolik yang dipunyai oleh setiap individu dirubah referensi dan orientasinya menjadi bersifat kebersamaan melalui proses-proses yang ada dalam berbagai upacara. Jadi Turner melihat ritual sebagai simbol dari apa yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat yang mendefinisikan dirinya sebagai makhluk sosial (Turner, 1974).


3. Kain ulos sebagai simbol komunikasi suku Batak
Kehidupan masyarakat suku Batak, tidak terlepas dari penggunaan kain ulos, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam berbagai upacara adat. Ulos pada mulanya identik dengan ajimat, dipercaya mengandung "kekuatan" yang bersifat religius magis dan dianggap keramat serta memiliki daya istimewa untuk memberikan perlindungan. Menurut beberapa penelitian penggunaan ulos oleh suku Batak, memperlihatkan kemiripan dengan bangsa Karen di perbatasan Myanmar, Muangthai dan Laos, khususnya pada ikat kepala, kain dan ulosnya.
Ulos melambangkan ikatan kasih sayang antara orang tua dan anak-anaknya atau antara seseorang dan orang lain, seperti yang tercantum dalam filsafat batak yang berbunyi: “Ijuk pengihot ni hodong.” Ulos pengihot ni halong, yang artinya ijuk pengikat pelepah pada batangnya dan ulos pengikat kasih sayang diantara sesama.
Kehangatan kain Ulos tidak saja melindungi tubuh orang Batak dari udara dingin, tetapi juga mampu membentuk kaum lelaki Batak berjiwa keras, mempunyai sifat kejantanan dan kepahlawanan, dan perempuannya mempunyai sifat ketahanan dari guna-guna kemandulan.
Kain Ulos lahir dari pencarian orang-orang Batak yang hidup di daerah pegunungan yang dingin. Seiring berjalannya waktu, dari sekedar kain pelindung badan, Ulos berkembang menjadi lambang ikatan kasih, pelengkap upacara adat, dan simbol sistem sosial masyarakat Batak. Bahkan, kain ini dipercaya mengandung kekuatan yang bersifat religius magis dan dianggap keramat serta memiliki daya istimewa untuk memberikan perlindungan kepada pemakainya.

4.Simbol-Simbol pada Agama
Kekristenan kaya dengan simbol-simbol. Alkitab pun memberi tempat khusus bagi beragam simbol. Bahasa simbol mudah ditemui dalam Alkitab. Bagaimana orang Kristen memaknai simbol.? pada zamannya, umat Yahudi, menyampaikan kekayaan iman dengan simbol-simbol. Berhubung dengan simbol-simbol seperti tertera di atas, Kitab Suci memberi tempat khusus. Sejarah juga mencatat, sejak gereja mula-mula, yakni gereja di sekitar para rasul, simbol-simbol telah dikembangkan. Untuk apa simbol-simbol itu? Pasti ada maksud agung di dalamnya. Contoh, simbol ikan misalnya. “Sebenarnya, simbol ikan yang digunakan umat pada masa itu, merupakan kode rahasia. Simbol ikan, atau kadang disebut ikan Yesus, yang biasa dipakai pada saat itu, sebenarnya berasal dari bahasa Yunani, IKHTUS (ἰχθύς, ΙΧΘΥΣ, atau ΙΧΘΥC). Kata itu berarti “Yesus Kristus, Putra Allah, Juruselamat” (Ἰησοῦς Χριστός, Θεοῦ ͑Υιός, Σωτήρ, Iēsous Christos, Theou Huios, Sōtēr). Simbol tersebut amat penting. Sebab, dengan mengenakan simbol, umat sedang menegaskan pengakuan iman mereka. Selain itu, mereka juga sedang menegaskan identitas diri.


Dari Berbagai sumber terpercaya... :)

6 komentar:

  1. mksh tulisannya dha membantu tgas aku :)

    BalasHapus
  2. THANKS BANG, INFORMASI SANGAT SY PERLUKAN UTK BELAJAR MEMAHAMI SIMBOL MASA KINI.

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  4. boleh minta daftar referensi yang lengkap bang?

    BalasHapus
  5. Masukkan komentar Anda...saran aja, alangkah baik mengaplod tulisan seperti ini, di sertakn dengan sumber refrensinya, biar gak sulit utk di ketahui mana pengarang, mana Pandangan /pendapat para ahli. Biar lebih jelas.. Minta maaf mas.

    BalasHapus
  6. Terima kasih, sangat mencerahkan

    BalasHapus