Jumat, 08 April 2011

Gender

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Beberapa tahun belakangan ini istilah gender menjadi bahan perbincangan yang hangat di berbagai forum dan media, formal maupun informal. Hampir setiap bidang pembangunan menganjurkan dilaksanakannya analisis gender dalam komponen program. Namun tidak sedikit pula yang masih menganggap bahwa gender adalah sama dengan jenis kelamin atau lebih sempit lagi, gender = perempuan. Hal ini tidak mengherankan mengingat memang lebih banyak kaum perempuan yang mendapat dampak dari ketidak adilan gender dalam lingkungan kuluarga maupun masyarakat, daripada kaum lelaki. Sehingga ketika masalah gender diperbincangkan, seolah-olah hal tersebut identik dengan masalah kaum perempuan.
Apakah gender sebenarnya…? Kata gender berasal dari bahasa Inggris berarti Jenis kelamin. Dalam Webster`s New World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaann yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Di dalam Women`s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep cultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
Hillary M. Lips dalam bukunya yang terkenal Sez & Gender an Introduction mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectations for women and men). Pendapat ini sejalan dengan pendapat kaum feminis, seperti Lindsey yang menganggap semua ketetapan masyarakat perihal penentuan seseorang sebagai laki-laki atau perempuan adalah termasuk bidang kajian gender (What a given society defines as masculine or feminine is a component of gender)
Berdasarkan Inpres (Instruksi Presiden) No. 9 Tahun 2000 disebutkan bahwa :
Gender merupakan konsep yang mengacu pada peran-peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat.
Kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan nasional dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut.




Bagaimana pula Gender dalam tinjauan ilmu sosial…? Ditinjau dari teori evolusi, sejarah gender ini sejarah gender ini sebenarnya telah berlangsung lama, meskipun istilah gender belum dikenal saat itu. Sejak jaman pra sejarah perempuan dan laki-laki mempunyai peran tersendiri, namun dalam hal kebijakan laki-laki sangat dominan dan seiring dengan perkembangan jaman peran perempuan semakin meluas di segala sisi. Keterpurukan peran perempuan pada beberapa zaman seperti jahilia di Jasirah Arab juga menggambarkan betapa perempuan pada jaman dahulu dipandang sebelah mata.
Kesamaan perempuan dan laki-laki dimulai dengan dikumandangkannya emansipasi di tahun 1950 dan 1960-an. Setelah itu tahun 1963 muncul gerakan kaum perempuan yang mendeklarasikan suatu resolusi melalui badan ekonomi sosial PBB. Kesamaan perempuan dan laki-laki diperkuat dengan deklarasi yang dihasilkan dari konferensi PBB tahun 1975, yang memprioritaskan pembangunan bagi kaum perempuan.berkaitan dengan itu dikembangkan berbagai program pemberdayaan perempuan, dan mulai diperkenalkan tema Women in Development (WID) yang bermaksud mengintegrasi perempuan dalam pembangunan. Setelah itu, beberapa kali terjadi pertemuan internasional yang memperhatikan tentang pemberdayaan perempuan. Sampai akhirnya sampai sekitar tahun 1980-an, berbagai studi menunjukkan bahwa kualitas kesetaraan lebih penting daripada sekedar kuantitas, maka tema WID diubah menjadi Women and Development (WAD).
Tahun 1992 dan 1993, studi Anderson dan Moser memberikan rekomendasi bahwa tanpa kerelaan, kerjasama, dan keterlibatan kaum laki-laki maka program permberdayaan perempuan tidak akan berhasil dengan baik. Pada tahun 2000 konferensi PBB menghasilkan The Millenium Development Goals (MDGs) yang mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan sebagai cara efektif untuk memerangi kemiskinan, kelaparan, dan penyakit serta menstimulasi pembangunan yang sungguh-sungguh dan berkelanjutan. Dengan demikian gender adalah perbedaan peran, sifat, tugas, fungsi dan tanggungjawab laki-laki dan perempuan yang dibentuk, dibuat dan dikonstruksikan oleh masyarakat dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan jaman.
Dari tinjauan teori konflik, gender menimbulkan banyak benturan. Mulai dari keluarga dimana beberapa suami merasa dengan emansipasi perempuan dalam kebijakan, menimbulkan suami menjadi kecil dimata isteri belum lagi istri yang tidak menghiraukan keluarga karena kesibukan di luar rumah yang timbul akibat gender dal beberapa persoalan yang mendatangkan rasa tidak nyaman bagi suami/laki-laki dalam lingkungan keluarga. Di pemerintahan kita banyak PNS wanita yang lebih banyak menganggur daripada bekerja. Umumnya mereka lemah dalam penguasaan komputer sehingga tidak optimal dalam mengerjakan pekerjaan pekerjaan administrasi perkantoran.
Padahal potensinya begitu besar kalau kita dapat memberdayakannya. Ada pula cerita tentang seorang perempuan yang baru ikut kursus penyetaraan gender dan dengan menggebu-gebu dia menceritakan persmaan hak pria dan wanita. Lucunya begitu giliran membuat laporan, dia malah pasrah sama pria rajin teman kursusnya.
Secara psikologis, ada dua konsep yang menyebabkan terjadinya perbedaan laki-laki dan perempuan :
• Konsep Nurture : Perbedaan laki-laki dan perempuan adalah hasil konstruksi sosial budaya sehingga mengahsilkan peran dan tugas yang berbeda.
• Konsep Nature : Perbedaan laki-laki dan perempuan adalah kodrat, sehingga harus diterima.
Dalam proses perkembangannya, disadari bahwa ada beberapa kelemahan konsep nurture yang dirasa tidak menciptakan kedamaian dan keharmonisan dalam kehidupan berkeluarga maupun bermasyrakat, yaitu terjadi ketidakadilan gender dalam berbagai kehidupan lebih banyak dialami oleh perempuan, namun ketidakadilan gender ini berdampak pula terhadap laki-laki.
Pengetahuan dan pengalaman kaum perempuan dihadirkan sebagai jalan untuk menghargai kemanusiaan perempuan. Dengan cara semacam ini pula subjektivasi dapat dilakukan khususnya dengan membiarkan perempuan bercerita dan mengungkapkan ekspresinya secara bebas dengan nilai dan ukurannya yang disusun sendiri. dalam hal ini tataran dan pemaknaan suatu simbol atau isyarat yang diberikan oleh kaum perempuan harus dibedakan pada unit individu, rumah tangga dan keluarga atau bahkan institusi dengan struktur hubungannya sendiri-sendiri. Derajat otonomi perempuan dalam mengkspresikan dirinya sangat berbeda antara satu unit dengan unit lain. Unit-unit itu pula yang mendefinisikan berbagai bentuk hubungan gender yang hadir secara empiris. Diperlukan pemahaman teori-teori gender secara lebih rinci. Meneliti perkosaan sebagai suatu tindak kekerasan tidak akan kaya dengan nilai-nilai perempuan di dalamnya atau tidak akan sensitif dengan isu hubungan gender jika mengambil teori konflik, misalnya. Analisis akan bernuansa gender dalam aspek pengambilan kebijakan jika teori struktur dan fungsi atau teori pertukaran sosial yang dipakai.






2. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah penulisan ini yakni Eksploitasi Tenaga Kerja Wanita yang terjadi di Indonesia. Pada akhir ini tindakan eksploitasi semakin marak terjadi di segala bidang. Tidak hanya di bidang politik, ekonomi dsb. Hal itu tejadi pula dalam dunia tenaga kerja. Di Indonesia sistem tenaga kerja sangat erat hubungannya dengan eksploitasi. Terlebih lagi yang dirasakan oleh kaum perempuan. Banyak yang belum menyadari bahwa sesungguhnya mereka telah dieksploitasi untuk kepentingan yang lebih mengarah ke sisi ekonomi dan kepentingan pribadi.
Sesuai dengan etimologi bahasanya bahwa eksploitasi memiliki pengertian sebagai berikut : Politik pemanfaatan yang secara sewenang-wenang terlalu berlebihan terhadap suatu subyek. Eksploitasi hanya untuk kepentingan ekonomi semata-mata tanpa mempertimbangkan rasa kepatutan, keadilan serta kompensasi kesejahteraan.
Pengertian di atas sangat terbukti pada dunia tenaga kerja Indonesia khususnya untuk kalangan bawah saat ini. Wanita yang menjadi objek utama eksploitasi tenaga kerja pada umumnya hanya bisa terdiam dan sulit untuk menuntut. Contoh dekat yang bisa kita lihat yakni pembantu rumah tangga yang ada saat ini pada umumnya merupakan korban eksploitasi besar-besaran, pihak penyalur hanya melihat satu sisi yaitu keuntungan semata. Banyak diantara mereka yang memiliki bekal untuk bekerja pada profesi yang diberikan yang pada akhirnya akan menimbulkan konflik baru di tempat mereka bekerja.
Selain masalah eksploitasi, kami juga akan memfokuskan kepada masalah kesenjangan Gender yang dialami tenaga kerja wanita baik di Indonesia maupun di luar negeri. Pada bagian pembahasan kami akan memaparkan bagaimana kesenjangan gender dalam dunia tenaga kerja masih terlihat. Objek utama yang dibahas masih tetap sama yaitu wanita. Tenaga kerja wanita yang kami jadikan sample utama adalah pembantu rumah tangga, namun tidak menutup kemungkinan kami akan menarik contoh kesenjangan gender bagi tenaga kerja wanita di bidang profesi yang lain.
3. Rumusan Masalah
Era sekarang adalah era industrialisasi, dimana sector industri sangat diharapkan menjadi promotor pembangunan, bahkan kebijaksanaan pembangunan saat ini dapat dikatakan bias kepada sektor industri. Pendek kata, dalam sektor industri laki-laki merupakan anak emas dalam pembangunan. Tenaga kerja adalah input dalam proses produksi termasuk di sektor industri. Ada anggapan bahwa tenaga kerja itu adalah homogen, jarang dibedakan antara tenaga kerja laki-laki dengan tenaga kerja perempuan. Akan tetapi dalam kenyataannya banyak perhatian justru diberikan pada perbedaan tenaga kerja, perbedaan jenis kelamin, dan perbedaan pendidikan serta keahlian (Arya Putra, 1994)
Hal ini lah yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan ini. Kesenjangan/ketidakadilan yang terjadi antara tenaga kerja wanita dan tenaga kerja pria. Ketidakadilan yang menimpa kaum perempuan akan memunculkan persepsi bahwa perempuan dilahirkan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang jauh lebih terbatas jumlahnya dengan status pekerjaan rendah dengan imbalan (upah/gaji) yang rendah pula. Pekerjaan perempuan selama ini umumnya terbatas pada sektor rumah tangga (sektor domestic). Walaupun kini para perempuan mulai menyentuh pekerjaan di sektor publik, jenis pekerjaan inipun merupakan perpanjangan dari pekerjaan rumah tangga, misalnya : bidan, juru rawat, guru, sekretaris dan pekerjaan lainnya yang lebih banyak memerlukan keahlian manual. Begitu pula mengenai soal upah dan gaji. Sudah menjadi rahasia umum bahwa gaji pekerja perempuan lebih rendah dari pekerja laki-laki untuk jenis pekerjaan yang sama. Meskipun prospek pekerja perempuan cukup baik dilihat dari pertumbuhan angkatan kerja perempuan lebih cepat dari angkatan kerja laki-laki, namun tuntutan persamaan hak atas perolehan gaji dengan laki-laki belum sepenuhnya berhasil.
Hal ini, disebabkan oleh selain sumberdaya manusia pekerja perempuan masih rendah (jumlah pekerja perempuan buta huruf masih dua kali lipat dari pekerja laki-laki) juga disebabkan oleh tingkat absentisme dan pemutusan hubungan tenaga kerja di kalangan perempuan cukup tinggi. Misalnya untuk menikah, melahirkan dan memelihara anak. Akibatnya banyak pengusaha enggan menginvestasikan sumberdaya mereka untuk memberikan latihan kepada pekerja perempuan. Sementara pekerja perempuan yang bekerja pada malam hari, selama ini masih mengalami berbagai kendala yang dapat diartikan bahwa kaum perempuan belum saatnya untuk mandiri secara total. Misalnya pekerja perempuan tidak bisa bekerja dalam kondisi sedang hamil, harus mendapat ijin, dari suami, orang tua dan perusahaan harus menyediakan angkutan antar-jemput. Di dalam keluarga, laki-laki memperoleh perhatian yang lebih dibandingkan perempuan. Hal ini sangat jelas pada keluarga dengan kondisi ekonomi paspasan.
Orang tua cenderung memilih anak laki-laki untu melanjutkan studinya ketimbang anak perempuan. Hampir di seluruh daerah di Indonesia ada kondisi diskriminasi seperti ini (Sumanto, 1993). Kaum perempuan mengalami diskriminasi tidak saja di sektor domestic, di sektor public pun kaum perempuan mengalami hal yang sama. Tidak ada masyarakat industri yang perempuannya secara ekonomis setara dengan laki-laki, karena era industri mempunyai wajah yang bias jender dan seksis. Sistem ekonomi industri kapitalistik yang mengutamakan pertumbuhan dan mendorong konsumsi justru menimbulkan diskriminasi terhadap perempuan. Diskriminasi di bidang ekonomi dapat dilihat dari kesenjangan upah yang diterima perempuan dibanding laki-laki.
Sering terjadi bahwa perusahaan-perusahaan tertentu menggunakan criteria jenis kelamin yang membatasi kesempatan kaum perempuan untuk menduduki posisi-posisi jabatan tertentu dalam perusahaan (Notosusanto, 1994). Partisipasi perempuan dalam kegiatan ekonomi bukan merupakan fenomena yang baru di Indonesia. Banyak perempuan, terutama perempuan dari golongan bawah sudh lama akrab dengan berbagai lapangan pekerjaan. Peluang kerja perempuan juga ditentukan oleh “segmentasi pasar”. Pasar tenaga kerja sering dianggap sebagai “arena” yang terbuka bagi siapa saja. Pencari kerja apapun jenis kelaminnya, bisa bersaing di atas landasan yang sama untuk memperoleh pekerjaan. Akan tetapi pada kenyataan pasar tenaga kerja teresegmentasi menjadi dua. Pertama terdiri atas pekerjaan-pekerjaan sektor primer yang relative lebih baik dalam upah, jaminan keamanan dan peluang promosi. Yang kedua, terdiri atas pekerja-pekerja sektor sekunder yang memiliki upah yang rendah jaminan keamanan kurang peluang promosi yang terbatas. (Susilawati, 1992). Semua uaraian di atas merupakan bentuk-bentuk kesenjangan, ketidakadilan dan diskriminasi gender pada dunia tenaga kerja, khususnya tenaga kerja wanita.

4. Tujuan Penulisan
Selain melengkapi tugas mata kuliah antropologi gender, penulisan ini juga betujuan untuk mengungkap dan semakin memperjelas bentuk-bentuk kesenjangan gender dalam bidang tenaga kerja yang ada di Indonesia. Tulisan ini kami harapkan dapat menambah pengetahuan pembaca terhadap kajian yang kami bahas kemudian diharapkan juga menyadarkan kita sebagai pembaca akan diskriminasi terhadap gender yang telah terjadi selama ini.

5. Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan ini dapat kami paparka sebagai berikut :
1. Untuk menambah khasanah kepustakaan tentang gender.
2. Agar pembaca memahami diskriminasi atau kesenjangan gender yang terjadi pada dunia tenaga kerja.
3. Memahami pentingnya penghayatan akan gender.
4. Menyadarkan para kaum lelaki akan pentingnya menghargai dan melindungi hak perempuan.




KESIMPULAN
Dapat ditegaskan bahwa perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan selain yang biologis sebagian besar justru terbentuk melalui proses sosial dan cultural, oleh karena itu gender berubah dari waktu ke waktu dari tempat ke tempat bahkan dari kelas ke kelas, sementara jenis kelamin (seks) tidak berubah. Memperhatikan peranan perempuan dalam pembangunan, sejak sensus 1971 sudah mulai dirasakan adanya kesenjangan partisipasi dalam pembangunan antara laki-laki dan perempuan. Faktor ini mendorong timbulnya pemikiran nasional untuk melibatkan perempuan dalam pembangunan. Munculnya Menteri Muda Urusan Peranan Wanita kemudian berubah menjadi Meneg UPW merupakan bukti realisasi pemikiran tersebut. Namun, kegiatan pembangunan untuk perempuan masih bersifat crash program yang tujuannya untuk meningkatkan peran wanita keluarga sehat.
Program-program untuk perempuan pada pelita V mulai dijabarkan secara konkret yaitu :
1. Pembinaan tenaga kerja wanita melalui kegiatan ekonomi produktif
2. Perlindungan dan pencegahan diskriminasi terhadap tenaga kerja wanita
3. Penyediaan dan pelayanan bagi peran ganda
4. Menciptakan usaha produktif wanita di pedesaan dan perkotaan.
Kemudian pada pelita V peran wanita lebih banyak ditekankan pada peningkatan kedudukan dan status wanita dan akhirnya pada pelita VI peran wanita sudah menjadi “mitra sejajar” kaum pria. Secara teoritis memang peningkatan peran wanita sudah banyak mencapai hasil dan kemajuan. Akan tetapi pengakuan itu masih bersifat umum, pengakuan yang bersifat khusus terhadap berbagai kelompok wanita masih belum terlihat. Pengakuan yang tidak simpatik terhadap kaum perempuan, yaitu masih adanya anggapan bahwa perempuan adalah kaum lemah dibandingkan dengan laki-laki. Jika anggapan ini benar dan terus berlaku berlaku di masyarakat konsekuensinya perempuan akan selalu dinomorduakan setelah laki-laki. Berarti yang baik-baik selalu diperoleh lebih dahulu oleh laki-laki, baru setelah itu. Secara moral anggapan itu tidak benar karena perempuan juga manusia seperti laki-laki.
Intinya, kita jangan hanya melihat pandangan umum atau teoritis saja namun coba dilihat sampai ke hal yang paling detail pasti akan ditemukan berbagai ketimpangan gender yang terjadi. Untuk itu wacana pelita V yang sudah dipaparkan selama ini diharapkan bukan hanya wacana, pemerintah perlu meninjau ulang tentang pelita itu. Sudah benarkah terlaksana atau belum. Sudah saatnya kaum lelaki menganggap wanita adalah rekan kerja yang setara karena pada hakekatnya kita sama-sama manusia. Harapan kita ke depan jangan ada lagi diskriminasi yang terjadi antara tenaga kerja pria dan wanita terlebih lagi dalam kesenjangan upah. Mari kita anggap kelemahan wanita menjadi satu hal lebih atau kelebihan yang ada pada mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar