Jumat, 08 April 2011

Legenda Tuak (Aren)

Legenda Tuak, Cerita Rakyat Simalungun
Menurut cerita, pohon enau merupakan jelmaan dari seorang gadis bernama Boru Sabou. Peristiwa penjelmaan gadis itu diceritakan dalam sebuah cerita rakyat yang sangat terkenal di kalangan masyarakat Simalungun, Sumatera Utara. Cerita itu mengisahkan tentang kesetiaan si Sabou kepada abangnya. Ia tidak tega melihat penderitaan abangnya yang sedang dipasung oleh penduduk suatu negeri. Oleh karena itu, ia mencoba untuk menolongnya. Apa yang menyebabkan Abangnya dipasung oleh penduduk negeri itu? Bagaimana cara Boru Sabou menolong abangnya? Alkisah, pada zaman dahulu kala di sebuah desa yang terletak di Tanah Karo, Sumatera Utara, hiduplah sepasang suami-istri bersama dua orang anaknya yang masih kecil. Yang pertama seorang laki-laki bernama Tare Iluh, sedangkan yang kedua seorang perempuan bernama Boru Sabou. Keluarga kecil itu tampak hidup rukun dan bahagia.
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, karena sang suami sebagai kepala rumah tangga meninggal dunia, setelah menderita sakit beberapa lama. Sepeninggal suaminya, sang istri-lah yang harus bekerja keras, membanting tulang setiap hari untuk menghidupi kedua anaknya yang masih kecil. Oleh karena setiap hari bekerja keras, wanita itu pun jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Si Tare dan adik perempuannya yang masih kecil itu, kini menjadi anak yatim piatu. Untungnya, orang tua mereka masih memiliki sanak-saudara dekat. Maka sejak itu, si Tare dan adiknya diasuh oleh bibinya, adik dari ayah mereka.
Waktu terus berjalan. Si Tare Iluh tumbuh menjadi pemuda yang gagah, sedangkan adiknya, Boru Sabou, tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik. Sebagai seorang pemuda, tentunya Si Tare Iluh sudah mulai berpikiran dewasa. Oleh karena itu, ia memutuskan pergi merantau untuk mencari uang dari hasil keringatnya sendiri, karena ia tidak ingin terus-menerus menjadi beban bagi orang tua asuhnya. “Adikku, Sabou!” demikian si Tare Iluh memanggil adiknya.
“Ada apa, Bang!” jawab Sabou. “Kita sudah lama diasuh dan dihidupi oleh bibi. Kita sekarang sudah dewasa. Aku sebagai anak laki-laki merasa berkewajiban untuk membantu bibi mencari nafkah. Aku ingin pergi merantau untuk mengubah nasib kita. Bagaimana pendapat Adik?” tanya Tare Iluh kepada adiknya. “Tapi, bagaimana dengan aku, Bang?” Beru balik bertanya.“Adikku! Kamu di sini saja menemani bibi. Jika aku sudah berhasil mendapat uang yang banyak, aku akan segera kembali menemani adik di sini,” bujuk Tare kepada adiknya. “Baiklah, Bang! Tapi, Abang jangan lupa segera kembali kalau sudah berhasil,” kata Beru mengizinkan abangnya, meskipun dengan berat hati. “Tentu, Adikku!” kata Tare dengan penuh keyakinan. Keesokan harinya, setelah berpamitan kepada bibi dan adiknya, si Tare Iluh berangkat untuk merantau ke negeri orang. Sepeninggal abangnya, Boru Sabou sangat sedih. Ia merasa telah kehilangan segala-segalanya. Abangnya, Tare Iluh, sebagai saudara satu-satunya yang sejak kecil tidak pernah berpisah pun meninggalkannya. Gadis itu hanya bisa berharap agar abangnya segera kembali dan membawa uang yang banyak.
Sudah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun ia menunggu abangnya, tapi tak kunjung datang jua. Tidak ada kabar tentang keadaan abangnya. Ia tidak tahu apa yang dilakukannya di perantauan. Sementara itu, Tare Iluh di perantauan bukannya mencari pekerjaan yang layak, melainkan berjudi. Ia beranggapan bahwa dengan memenangkan perjudian, ia akan mendapat banyak uang tanpa harus bekerja keras. Tetapi sayangnya, si Tare Iluh hanya sekali menang dalam perjudian itu, yaitu ketika pertama kali main judi. Setelah itu, ia terus mengalami kekalahan, sehingga uang yang sudah sempat terkumpul pada akhirnya habis dijadikan sebagai taruhan. Oleh karena terus berharap bisa menang dalam perjudian, maka ia pun meminjam uang kepada penduduk setempat untuk uang taruhan. Tetapi, lagi-lagi ia mengalami kekalahan.Tak terasa, hutangnya pun semakin menumpuk dan ia tidak dapat melunasinya. Akibatnya, si Tare Iluh pun dipasung oleh penduduk setempat. Suatu hari, kabar buruk itu sampai ke telinga si Boru Sabou. Ia sangat sedih dan prihatin mendengar keadaan abangnya yang sangat menderita di negeri orang. Dengan bekal secukupnya, ia pun pergi mencari abangnya, meskipun ia tidak tahu di mana negeri itu berada. Sudah berhari-hari si Boru Sabou berjalan kaki tanpa arah dan tujuan dengan menyusuri hutan belantara dan menyebrangi sungai, namun belum juga menemukan abangnya. Suatu ketika, si Boru Sabou bertemu dengan seor ang kakek tua. “Selamat sore, Kek!” “Sore, Cucuku!” Ada yang bisa kakek bantu?” “Iya, Kek! Apakah kakek pernah bertemu dengan abang saya?”
“Siapa nama abangmu?” “Tare Iluh, Kek!” “Tare Iluh…? Maaf, Cucuku! Kakek tidak pernah bertemu dengannya. Tapi, sepertinya Kakek pernah mendengar namanya. Kalau tidak salah, ia adalah pemuda yang gemar berjudi.” “Benar, Kek! Saya juga pernah mendengar kabar itu, bahkan ia sekarang dipasung oleh penduduk tempat ia berada sekarang.
Apakah kakek tahu di mana negeri itu? “Maaf, Cucuku! Kakek juga tidak tahu di mana letak negeri itu. Tapi kalau boleh, Kakek ingin menyarankan sesuatu.” “Apakah saran Kakek itu?”
“Panjatlah sebuah pohon yang tinggi. Setelah sampai di puncak, bernyanyilah sambil memanggil nama abangmu. Barangkali ia bisa mendengarnya. Setelah menyampaikan sarannya, sang Kakek pun segera pergi. Sementara si Boru Sabou, tanpa berpikir panjang lagi, ia segera mencari pohon yang tinggi kemudian memanjatnya hingga ke puncak. Sesampainya di puncak, si Boru Sabou segera bernyanyi dan memanggil-manggil abangnya sambil menangis. Ia juga memohon kepada penduduk negeri yang memasung abangnya agar sudi melepaskannya.
Sudah berjam-jam si Boru Sabou bernyanyi dan berteriak di puncak pohon, namun tak seorang pun yang mendengarnya. Tapi, hal itu tidak membuatnya putus asa. Ia terus bernyanyi dan berteriak hingga kehabisan tenaga. Akhirnya, ia pun segera mengangkat kedua tangannya dan berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa. “Ya, Tuhan! Tolonglah hambamu ini. Aku bersedia melunasi semua hutang abangku dan merelakan air mata, rambut dan seluruh anggota tubuhku dimanfaatkan untuk kepentingan penduduk negeri yang memasung abangku.” Baru saja kalimat permohonan itu lepas dari mulut si Boru Sabou, tiba-tiba angin bertiup kencang, langit menjadi mendung, hujan deras pun turun dengan lebatnya diikuti suara guntur yang menggelegar. Sesaat kemudian, tubuh si Boru Sabou tiba-tiba menjelma menjadi pohon enau. Air matanya menjelma menjadi tuak atau nira yang berguna sebagai minuman. Rambutnya menjelma menjadi ijuk yang dapat dimanfaatkan untuk atap rumah. Tubuhnya menjelma menjadi pohon enau yang dapat menghasilkan buah kolang-kaling untuk dimanfaatkan sebagai bahan makanan atau minuman. Demikianlah cerita “Kisah Pohon Enau” dari daerah Sumatera Utara. Hingga kini, masyarakat Simalungun meyakini bahwa pohon enau adalah penjelmaan si Boru Sabou. Untuk mengenang peristiwa tersebut, penduduk Simalungun pada jaman dahulu setiap ingin menyadap nira, mereka menyanyikan lagu enau.
Pohon Enau dalam bahasa Indonesia disebut pohon aren, dan sugar palm atau gomuti palm dalam bahasa Inggris. Di Sumatera, tumbuhan ini dikenal dengan berbagai sebutan, di antaranya ‘nau, hanau, peluluk, biluluk, kabung, juk atau ijuk, dan bagot’. Tumbuhan ini dapat tumbuh dengan baik dan mampu mendatangkan hasil yang melimpah pada daerah-daerah yang tanahnya subur, terutama pada daerah berketinggian antara 500-800 meter di atas permukaan laut, misalnya di Tanah Karo dan Simalungun di Sumatera Utara. Tumbuhan enau atau aren dapat menghasilkan banyak hal, yang menjadikannya populer sebagai tanaman serba-guna, setelah tumbuhan kelapa. Salah satunya adalah tuak(nira). Selain sebagai minuman sehari-hari, tuak memiliki fungsi yang sangat penting dalam kehidupan sosial-budaya bagi sebagian masyarakat Batak di Sumatera Utara, terutama yang tinggal di daerah dataran tinggi. Dalam tradisi orang Batak, tuak juga digunakan pada upacara-upacara tertentu, seperti upacara manuan ompu-ompu dan manulangi. Pada upacara manuan ompu-ompu, tuak digunakan untuk menyiram beberapa jenis tanaman yang ditanam di atas tambak orang-orang yang sudah bercucu meninggal dunia. Sementara dalam upacara manulangi, tuak merupakan salah satu jenis bahan sesaji yang mutlak dipersembahkan kepada arwah seseorang yang telah meninggal dunia oleh anak-cucunya.

MENGENAL SUKU SIMALUNGUN

Sebelum kita membahas lebih dalam lagi mengenai legenda asal mula Tuak atau Nira di atas, terlebih dahulu kita mengenal suku bangsa yang telah mengenalkan cerita itu kepada masyarakat sehingga cerita itu dianggap sebagai folklore dan dan memiliki fungsi tersendiri bagi masyarakat saat ini. Suku bangsa Batak terdiri atas enam sub bagian, yaitu Toba, Karo, Simalungun, Pakpak, Angkola, dan Maindailing. Diantara keenam subsuku tersebut terdapat persamaan bahasa dan budaya (Singarimbun,1975. dalam buku Konflik Status dan Kekuasaan suku Batak Toba). Walaupun demikian terdapat pula perbedaannya, misalnya dalam hal dialek, tulisan, istilah-istilah dan beberapa adat kebiasaan. Struktur sosial keenam subsuku tersebut pada dasarnya sama. Adapun Simalungun merupakan sub suku yang menurut sejarah dulunya berawal di Pematangsiantar. Asal mula kota Pematangsiantar adalah kerajaan Siantar, yang diperkirakan berdiri tahun 1500, terletak di sebuah delta sungai Bah Bolon, bernama pulau holing yang kemudian berkembang menjadi perkampungan Suhi Huluan, Siantar Bayu, Suhi Kahean, Pantoan, Suhi Bah Bosar, dan Tomuan. Perkampungan ini lah yang sekarang menjadi wilayah kotamadya Pematangsiantar, dengan nama baru kampung Pematang (Pulau Holing), Pusat kota (Siantar Bayu), kampung Parluasan (Suhi Kahean), Sipinggol-pinggol, Timbang Galung, Kampung Kristen, Kampung Perluasan kota (Suhi Haluan), Kampung karo, Tomuan dan Pantoan (Bah Bosar). Penduduk asli ialah Batak Simalungun. Lalu pada tahun 1900 diketahui mulai berdatangan penduduk pendatang. Untuk saat ini sebagai basis utama atau daerah utama suku Simalungun ada daerah Raya dan sekarang telah menjadi Ibu kota dari Kabupaten Simalungun.
Setelah mengenal suku Simalungun secara sepintas selanjutnya kita akan membahas cerita daerah di atas yang tealah dikategorikan ke dalam Foklor yang berasal dari daerah Simalungun. Dikategorikan sebagai foklor tentunya ada beberapa syarat dan ciri-ciri yang harus terpenuhi atau ada hakekat utama yang dimiliki cerita tersebut. Adapun hakekat dari foklor secara umum akan dipaparkan dalam penjelasan berikut.:
Kata foklore adalah pengindonesiaan kata Inggris Folklore. Kata itu adalah kata majemuk yang berasal dari dua kata dasar folk dan lore. Menurut Alan Dundles, folk adalah sekelompok orang yang memiliki cirri-ciri pengenal fisik sosial dan kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Cirri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwuju. Yang lebih penting lagi adalah bahwa mereka telah memiliki suatu tradisi turun-temurun sedikitnya dua generasi yang dapat mereka akui sebagai milik bersama. Jadi folk adalah sinonim dari kolektif, yang juga memiliki cirri-ciri mempunyai kesadaran kepribadian sebagai kesatuan masyarakat.
Sedangkan yang dimaksud dengan lore adalah tradisi folk, yaitu sebagai kebudayaannya yang diwariskan secara turun temurun secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device). Defenisi folklore secara keseluruhan, folklore adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan turun-temurun diantara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda.
Adapun ciri-ciri folklore antara lain :
a. Penyebarannya dilakukan secara lisan yakni disebarkan secara lisan atau tutur kata dari mulut ke mulut.
b. Folklor bersifat tradisional yakni disebarkan dalam bentuk relative tetap atau dalam bentuk standar.
c. Folklor ada dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda.
d. Folklor bersifat anonim, yaitu nama penciptanya tidak diketahui orang lagi.
e. Folklor biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola.
f. Folklor mempunyai kegunaan (function) dalam kehidupan kehidpan bersama suatu kolektif.
g. Folklor bersifat pralogis, yaitu mempunyai logikasendiri yang tidak sesuai logika umum.
h. Folklor menjadi milik bersama (collective) dari koleltif tertentu. Hal ini diakibatkan karena pencipta pertama sudah tidak diketahui.
i. Folklor pada umumnya bersifat polos dan lugu, sehingga sering kali kelihatannya kasar, terlalu spontan.

Begitu pula halnya dengan cerita rakyat tentang asal usul pohon enau di atas. Keseluruhan syarat atau ciri-ciri yang diminta agar suatu tradisi dapat dikatakan sebagai foklor telah terpenuhi. Penyebaran cerita di atas dilakukan secara lisan yakni disebarkan secara lisan atau tutur kata dari mulut ke mulut yang mana penyebarannya sudah melewati beberapa generasi. Jadi tidak heran kalau cerita di atas ada dalam beberapa versi, misalnya cerita di atas juga diyakini berasal dari derah Tanah Karo karena memang telah menjadi milik bersama atau kollektif, hal ini diakibatkan karena nama pencipta pertama sudah tidak diketahui lagi. Bila dikaitkan ke dalam suatu fungsi, cerita di atas tentunya memiliki fungsi yang sangat nyata dan jelas dalam kehidupan bersama suatu kolektif dan nasehat cerita bisa kita aplikasikan dalam kehidupan yang ada saat ini.
Cerita di atas termasuk ke dalam cerita rakyat teladan yang mengandung pesan-pesan moral. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah memupuk sifat tenggang rasa dan menjunjung tinggi persaudaraan, serta akibat buruk dari suka bermain judi dan sifat tenggang rasa. Sifat ini tercermin pada sifat Boru Sabou yang sangat menjunjung tinggi tenggang rasa dan persaudaraan. Ia rela mengorbankan seluruh jiwa dan raganya dengan menjelma menjadi pohon yang dapat dimanfaatkan orang-orang yang telah memasung abangnya. Hal ini dilakukannya demi membebaskan abangnya dari hukuman pasung yang telah menimpa abangnya tersebut. Sifat tenggang rasa dan persaudaran yang tinggi ini patut untuk dijadikan suri teladan dalam kehidupan sehari-hari.
Selain nasehat yang terkandung dalam cerita, kita dapat melihat wujud dari legenda di atas, yakni kita dapat melihat pohon enau khususnya di dearah yang berada pada ketinggian 500-800 m di atas permukaan laut. Contohnya di tanah Simalungun dan tanah Karo. Fungsi dari pohon enau sendiri dapat kita lihat. Air nya yang disebut tuak atau nira dijadikan sebagai minuman bagi suatu suku tertentu juga digunakan untuk kegiatan adat. Selain sebagai minuman air nira juga diolah menjadi gula yang disebut gula aren atau dikenal orang dengan nama gula merah. Selain fungsi-fungsi konsumsi ternyata bagian lain dari pohon aren juga sangat bermanfaat. Contohnya daunnya yang bisa dijadikan sapu lidi, bagian lain serabutnya dijadikan sebagai sapu ijuk. Hampir semua bagian yang ada pada pohon aren dapat difungsikan atau bermanfaat.
Namun ada satu hal yang ironis dari cerita ini yakni air nira yang dipercaya merupakan air mata dari si sabou sebagai pengorbanannya demi melunasi hutang-hutang abangnya, saat ini malah digunakan untuk pelengkap atau minuman bagi para pemain judi. Orang-orang batak yang gemar bermain judi pada umumnya mengkonsumsi tuak atau nira sambil bermain judi. Namun pada umumnya mereka tidak percaya akan mitos tentang asal usul pohon aren sehingga tidak merasa bersalah melakukan perbuatan itu.





DAFTAR PUSTAKA
Danandjaja,James.1984.Foklor Indonesia Ilmu gosip, dongeng, dan lain-lain.Jakarta:PT. Pustaka Grafitifers.
BAS.2010.Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba.Jakarta:Yayasan OBor Indonesia
BAS.2010.Melayu Pesisir dan Batak Pegunungan (Orientasi Nilai Budaya). Jakarta:Yayasan Obor Indonesia.
www.wikipedia.com
http://rapolo.wordpress.com
www.ensiklopedia.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar