Senin, 11 April 2011

Peranan Antropologi dalam Pembangungan

PERAN SERTA ANTROPOLOGI DALAM MENGAKAJI MASALAH-MASALAH EKONOMI PEMBANGUNAN DI INDONESIA

Sebuah bibiliografi beranotasi yang memuat 2.493 judul karangan dan buku mengenai sekitar 40 masalah yang menyangkut pembangunan ekonomi, berjudul Development Change, susunan A.A Spitz (1967), sangat besar manfaatnya untuk memperoleh pandangan yang luas mengenai masalah-masalah ekonomi pembangunan, yang biasanya diperhatikan serta diteliti oleh para ahli ekonomi pembangunan dan ilmu-ilmu bantu lainnya. Bibiliografi itu juga menunjukkan peranan Antropologi dalam kajian masalah-masalah ekonomi pembangunan.
Adapun pendapat mengenai ruang lingkup ekonomi pembangunan yang seperti disebutkan oleh M. Bohnet dan H. Reichelt, dalam buku mereka, Apllied Research and Its Impact on Economic Development (1972). Mereka beranggapan bahwa ekonomi pembangunan, meliputi tidak kurang dari lima masalah untuk dikaji, yaitu : (1) masalah dualisme ekonomi yang ada antara ekonomi rakyat pedesaan dan ekonomi nasional berdasarkan perdagangan internasional, yang bertujuan mencapai taraf ekonomi industri; (2) masalah perdagangan internasional itu sendiri;(3) masalah strategi pembangunan ekonomi; (4) masalah manusia dari sikap mental manusia-manusia yang harus membangun ekonominya ; (5) konsepesi Marxisme dalam pembangunan nasional.
Antropologi dapat berperan serta dalam mengkaji masalah-masalah ekonomi pembangunan, keculai mungkin dalam masalah perdagangan internasional tepatnya pada butir (2) di atas, lebih-lebih kalau pembangunan nasional tidak hanya dikonsepsikan sebagai pembangunan ekonominya saja, tetapi juga sebagai pembangunan semesta yang menyangkut semua sektor kehidupan nasional, termasuk sektor kehidupan sosial, politik, agama dan budaya. Walaupun antropologi ekonomi pembangunan adalah ilmu terapan, dalam arti bahwa hasil kajiannya dapat segera dimanfaatkan oleh para perencana pembangunan untuk mengubah pengertian mereka mengenai masalah yang mereka hadapi, namun ilmu itu juga mempunyai aspek teori dan metodologi kajiannya.
Kemudian mengenai pembangunannya sendiri tentu juga ada masalah strategi atau kebijaksanaan pelaksanaannya, dan masalah mengenai sektor-sektor serta unsur-unsur apa yang ada dalam masyarakat yang akan dibangun, berikut masalah-masalah untuk dikaji antropologi ekonomi pembangunan (antropologi pembangunan) :


A. Masalah teori dan metodologi pembangunan
• Masalah dualisme ekonomi, atau kesenjangan antara ekonomi pedesaan dan ekonomi industri di Negara-negara yang sedang membangun.
• Masalah kesenjangan kemajuan sosial-budaya antara berbagai golongan sosial dan bagian-bagian tertentu dalam Negara-negara yang sedang membangun
• Masalah merangsang orientasi nilai budaya dan jiwa wiraswasta yang mendorong kemakmuran
• Masalah peranan agama dalam pembangunan.
B. Masalah kebijaksanaan pembangunan
• Aspek manusia dalam model-model perencanaan pembangunan
• Masalah arah pembangunan yang berbeda daripada arah pembangunan yang menuju ke masyarakat serupa masyarkat Eropa atau Amerika.
• Kajian antropologi mengenai pembangunan ekonomi Marxisme
• Aspek manusia dari pembangunan padat karya, atau pembangunan padat modal

C. Masalah sektor-sektor serta unsur-unsur yang dibangun dan akibat sosial budaya
• Masyarakat desa
• Penduduk (migrasi, urbanisasi, transmigrasi, dan KB)
• Lingkungan
• Kepemimpinan dalam pembangunan
• Perubahan sosial budaya akibat pembangunan
• Pendidikan sebagai masalah khusus dalam pembangunan
• Aspek manusia dalam reorganisasi administrasi dan pemerintahan
• Masyarakat majemuk dan integrasi nasional

Ke 16 masalah di atas dalam kenyataan kehidupan masyarakat tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan saling berkaitan. Masalah dualisme ekonomi misalnya, berkaitan dengan masalah orientasi nilai budaya dan jiwa kewirawastaan dalam pembangunan. Selanjutnya, masalah tersebut terakhir juga berkaitan dengan masalah manusia dalam model-model perencanaan pembangunan dan pembangunan padat karya, masalah pembangunan masyarakat desa, masalah perubahan sosial budaya akibat pembangunan, dan masalah pendidikan sebagai masalah khusus dalam pembangunan.
Masalah merangsang orientasi nilai budaya dan jiwa wiraswasta yang mendorong kemakmuran juga dapat kita perkirakan mempunyai kaitan-kaitan dengan masalah-masalah lain. Dalam hal ini antropologi terapan dapat menjalankan peranan yang penting. Penelitian yang terkenal mengenai masalah jiwa kewiraswastaan dalm pembangunan dilakukan oleh E. Hargen (1962) dan D.C Mc. Clelland (1961). Hagen menyarankan suatu teori umum mengenai aspek manusia dalam pembangunan, sedangkan McClelland, ahli psikologi, telah mengembangkan konsep mengenai hasrat kuat untuk mencapai kemajuan (achievement orientation) dalam mentalitas manusia sebagai dasar dari kemajuan masyarakat. McClelland juga meneliti masalah kuat lemahnya hasrat yang ada pada petani-petani di India, sedang ahli antropologi yang melakukan penelitian terhadap masalah yang sama adalah T.S Epstein (1962;1973).
Masalah peranan agama dalam pembangunan , menyangkut masalah aspek manusia dalam model-model perencanaan pembangunan, dan dengan sendirinya juga menyangkut serangkaian masalah lain. Kita mengetahui bahwa konsepsi mengenai peranan agama dalam pembangunan dikembangkan oleh ahli sosiologi Max Weber, dalam kajiannya yang terkenal mengenai pengaruh suatu agama yang bersifat puritan dan ketat, seperti agama Protestan Calvinis, pada pembentukan modal di Negara-negara Eropa Barat sejak abad ke-17. Antropologi pembangunan dapat juga mengambil peranan yang bermakna dalam penelitian-penelitian yang mengikuti konsepsi Max Weber, seperti penilaian yang dilaksanakan oleh C. Geertz di Jawa Timur dan Bali.
Masalah aspek manusia dalam model-model perencanaan pembangunan tentu berkaitan dengan masalah arah pembangunan yang berbeda daripada arah pembangunan yang menuju ke masyarakat serupa masyarakat Eropa Barat atau Amerika, Aspek manusia dari pembangunan padat karya, atau pembangunan padat modal, Masyarakat desa, Kepemimpinan dalam pembangunan, dan masalah Perubahan sosial budaya akibat pembangunan. Model pambangunan dalam rencana pembangunan nasional di berbagai Negara yang baru berkembang agaknya dikonsepsikan oleh ahli sejarah ekonomi W.W Rostow, yang ditulisnya dalam bukunya yang terkenal, Stages of Economic Growth (1961). Model itu mengkonsepsikan pembangunan ekonomi sebagai suatu proses yang berlangsung melalui lima tahap pertumbuhan, yang dikiaskannya ibarat sebuah pesawat terbang yang akan mulai terbang, yaitu 1) tahap traditional society, atau masyarakat tradisional, dimana pembangunan ekonomi diasumsikan akan dimulai ; 2) tahap preconditions for take-off, yakni tahap dimana masyarakat tradisional tadi mempersiapkan diri (melakukan ancang-ancang) untuk terbang, jadi untuk memasuki tahap industrialisasi, 3) tahap teke-off, tahap dimana semua faktor ekonomi sudah cukup kuat bagi ekonominya untuk tumbuh sendiri ; 4) tahap drive to maturity, atau tahap dimana ekonomi itu sudah mampu untuk berkembang menjadi makmur atas kekuatannya sendiri ; dan 5) tahap age of mass-consumption atau tahap dimana rakyat banyak telah menikmati hasil produksi massanya sendiri.
Terutama pada tahap 1 dan 2 di atas, terdapat banyak masalah untuk diteliti dengan pendekatan antropologi. Dalam tahap 1 segala macam hambatan berupa adat istiadat dan sikap mental yang kolot, pranata-pranata sosial dan unsur-unsur kebudayaan tradisional, harus digeser atau disesuaikan dengan keperluan hidup dalam masyarakat masa kini. Sementara itu tahap 2 mulai dilakukan, dimana hasil surplus produksi pertanian yang meningkat harus dapat dialihkan ke tangan golongan-golongan sosial yang memiliki kemampuan untuk mengubah surplus tadi menjadi modal kerja untuk membangun dengan menginvestasikan secara berhasil guna dan berdaya guna ke dalam usaha-usaha nonpertanian, sehingga diperoleh modal yang lebih besar lagi.
Golongan sosial yang mampu mengubah surplus produksi pertanian menjadi modal kerja untuk pembangunan usaha-usaha non pertanian adalah golongan sosial yang warganya terdiri dari banyak orang dengan sikap mental berwiraswasta yang bergerak dalam bidang perdagangan, jasa komuniksi, dan industri. Penelitian untuk mendapat lebih banyak pengertian mengenai hambatan dan dorongan yang memperlambat atau mempercepat proses pergeseran itu, dapat dilakukan dengan pendekatan antropologi.
Dalam berbagai masalah khusus yang menyangkut proses penggeseran dan penyesuaian dalam adat-istiadat dan sikap mental kolot, dan pranata-pranata sosial serta unsur-unsur kebudayaan tradisional dengan kehidupan masa kini, memang telah sangat banyak dilakukan penelitian antropologi, sering kali berupa kerjasama interdisiplin dengan para ahli psikologi, sosiologi, ilmu politik, dan ilmu-ilmu sosial lain. Contoh dari masalah khusus tadi adalah misalnya cara untuk menumbuhkan suatu sikap mental pada warga masyarakat tradisional untuk hidup hemat. Untuk dapat melakukannya, para perancang pembangunan perlu mengetahui arti dan sebab-sebab mengapa seseorang dianggap tidak hemat dalam kenyataan hidup masyarakat tradisional. Masalah serupa ini hanya dapat dipahami dengan penelitian pendekatan antropologi.
Masalah aspek manusia dari pembangunan padat karya, atau pembangunan padat modal, jelas merupakan masalah yang layak pula untuk diteliti dengan pendekatan antropologi ekonomi. Beberapa ahli antropologi malahan telah memperlihatkan bahwa asumsi dari berbagai ahli ekonomi pembangunan mengenai adanya kelebihan tenaga kerja tetapi kekurangan modal dalam masyarakat yang berada pada tahap persiapan untuk pembangunan tidak selamanya benar. R. Firth telah menunjukkan bahwa di Tikopea atau di Malaysia tenaga kerja malah kurang. Demikian juga D. Pitt menguraikan bahwa masyarakat Samoa yang mulai melakukan pembangunan ekonomi juga sangat kekurangan tenaga kerja (Pitt, 1970). Ahli antropologi H.K Schneider juga menunjukan bahwa dalam masyarakat tradisional di Negara-negara baru yang sedang mulai berkembang di Afrika Timur dan Selatan, masalahnya bukanlah kekurangan modal, karena modal dalam bentuk ternak terdapat dalam jumlah yang melimpah. Untuk dapat mengubah sistem peternakan tradisional menjadi peternakan modern, masalahnya disana adalah tenaga, yang jumlahnya sangat sedikit.
Masalah pembangunan masyarakat desa, sudah sejak zamannya pemerintah-pemerintah colonial dipermasalahkan dalam ilmu-ilmu sosial terapat, termasuk antropologi terapan. Pada zaman itu sektor-sektor masyarakat desa yang dibangun oleh pemerintah jajahan adalah sektor produksi pertanian, termasuk pembangunan prasarana jalan dan irigasi, pembangunan kesehatan rakyat, dan penyediaan kredit untuk rakyat, guna meningkatkan produksi pertanian mereka. Sesudah Perang Dunia II, pembangunan masyarakat desa pada umumnya merupakan program yang khas, yang tidak ketinggalan dalam setiap rencana pembangunan nasional. Sektor-sektor dan unsur-unsur yang dibangun biasanya juga lebih banyak dan lebih luas sifatnya, daripada dalam upaya pembangunan masyarakat desa di zaman colonial. Seperti apa yang tertulis dalam buku E.R Batten, Communities and Their Development (1957), pembangunan masyarakat desa dalam Negara-negara baru yang sedang berkembang meliputi upaya peningkatan produksi pertanian dengan bibit unggul, penigkatan teknologi pemupukan dan pemberantasan hama, serta perbaikan sistem irigasi, upaya untuk melakukan perbaikan prasarana jaringan jalan dan lingkungan, upaya penyempurnaan administrasi desa, upaya untuk mengembangkan gerakan koperasi, penyempurnaan sistem pendidikan umum dan pendidikan, agama, dan peningkatan kesehatan masyarakat. Melihat sektor-sektor dan unsur-unsur khusus tersebut, maka jelas bahwa hampir semua cabang spesialisasi antropologi dapat bermanfaat dalam penelitian – penelitian untuk pembangunan masyarakat desa, seperti diuraikan oleh W. Goodenough dalam Cooperation in Change (1936) pada dasarnya merupakan upaya untuk mengubah adat istiadat, kepercayaan, sikap mental, orientasi nilai budaya penduduk, jadi berkaitan erat dengan masalah merangsang orientasi nilai budaya dan jiwa wiraswasta yang mendorong kemakmuran, maka penelitian terhadap masalah-masalah itu memang hanya dapat dilaksanakan dengan baik oleh para ahli antropologi. Kecuali itu upaya pembangunan masyarakat desa juga erat kaitannya dengan masalah Penduduk (migrasi, urbanisasi, transmigrasi, dan KB, lingkungan, kepemimpinan dalam pembangunan, perubahan sosial budaya akibat pembangunan, dan pendidikan sebagai masalah khusus dalam pembangunan.












Kedudukan Antropologi dalam Pembangunan Indonesia
Apabila kita perhatikan peranan antropologi dalam rangka semua masalah pembangunan terurai di atas, maka tampak bahwa peranannya yang utama adalah dalam hal penelitian terhadap masalah-masalah itu, guna membantu perencanaan pembangunan yang biasanya dilaksanakan bersama oleh para ahli dalam berbagai disiplin ilmiah, oleh para pelaksana pembangunan yang bekerja dalam badan-badan perencanaan nasional atau daerah. Di banyak Negara, penelitian untuk perencanaan pembangunan biasanya dilakukan oleh Universitas atau lembaga penelitian Negara dan swasta.
Sebelum suatu rencana pembangunan yang biasanya berwujud sebuah naskah resmi yang terdiri dari beberapa jilid, diserahkan kepada pemerintah untuk dilaksakan, rencana itu dibahas terlebih dahulu di Dewan Perwakilan Rakyat Nasional atau oleh Dewan Perwakilan Daerah, oleh golongan-golongan politik. Dalam taraf ini bukan kualitas ilmiahnya yang menentukan wujud dari rencana pembangunanny, tetapi nilai politiknya, dan para wakil kekuatan-kekuatan politik itulah yang mengadakan perubahan-perubahan, pengurangan, atau penambahan terhadap naskah tadi.
Pada tahap berikutnya, naskah yang telah mengalami perubahan itu diserahkan kepada pemerintah untuk dilaksanakan oleh departemen-departemen yang bersangkutan. Bab dalam rencana yang menyangkut pembangunan prasarana fisik diserahkan kepada Departemen Pekerjaan Umum; bab mengenai pembangunan pertanian kepada Departemen Pertanian; bab mengenai pembangunan kesehatan rakyat kepada Departemen Kesehatan; bab mengenai pembangunan agama kepada Departemen Agama, dan sebagainya, sedang pelaksanaan program-program untuk meningkatkan integrasidan persatuan nasional tentu menjadi tugas Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Pada taraf pelaksanaan pembangunan nasional, kegiatan penelitian perlu diadakan lagi. Sebelum suatu proyek pembangunan dilaksanakan secara konkret di suatu lokasi tertentu, misalnya untuk mendirikan sebuah pabrik pemerasan dan pengalengan kelapa sawit perlu diadakan penelitian kelayakan, untuk mengetahui apakah lokasinya layak dan cocok dipandang dari sudut kesiapan prasarana fisiknya, jaraknya dari pusat sumber energi, sarana transportasi, pelabuhan dan sebagainya; tetapi perlu diteliti pula keadaan sosialnya, seperti keadaan lingkungan sosialnya sebagai sumber tenaga kerja, mutu tenaga kerjanya, sikap penduduk terhadap kemajuan, dan sebagainya. Terutama mengenai soal-soal tersebut tersebut terakhir ini, antropologi dapat melakukan penelitian yang bermakna.
Pada taraf sewaktu proyek pembangunan itu telah berjalan, perlu diadakan penelitian mengenai akibat sosial dari pembangunan suatu industri, yaitu perubahan sosial budaya yang positif, dan akibat-akibat sampingannya yang negative, sepertin terjadinya pencemaran alam atau ketegangan-ketegangan etnik antara angkatan kerja industri itu atau angkatan kerja pendatang dan penduduk asli, yang sering kali berlatar belakang kebudayaan yang berbeda. Dalam soal-soal tersebut ilmu antropologi mampu melakukan penelitian yang bermakna. Sebenarnya apabila kita perhatikan bahwa peranan antropologi dalam pembangunan terutama berada dalam penelitian masalah-masalah pembangunan, maka menurut nalar tidak ada perbedaan antara antropologi dan antropologi pembangunan, atau antara antropologi dan antropologi terapan, karena semua hasil penelitian antropologi umum maupun bidang-bidang antropologi spesialisasi dapat digunakan untuk menambah data dan pengertian yang perlu untuk penyempurnaan pembangunan yang direncanakan dan dilaksanakan orang lain.
Lebih relevan untuk pembangunan adalah misalnya hasil penelitian antropologi terhadap beragam adat-istiadat dan pola makan dalam kebudayaan berbagai suku-suku bangsa yang hidup di Indonesia. Topik penelitian antardisiplin antropologi dan ilmu gizi yang dilakukan secara nasional oleh Departemen kesehatan dalam tahun 1985-1986 ini bersifat terapan, karena hasilnya dapat langsung dimanfaatkan untuk perencanaan program peningkatan gizi makanan rakyat Indonesia dan program mendiversifikasi makanan rakyat dalam Replita IV.
Contoh penelitian antropologi dengan hasil yang paling relevan bagi pembangunan adalah peneletian untuk mengetahui dari desa-desa mana orang pedalaman Irian yang sekarang tinggal di pantai itu berasal, jalan-jalan setapak dan sungai-sungai mana yang dulu mereka lalui, dan dimanakah mereka berkemah dalam perjalanan mereka ke daerah pantai. Keterangan semacam itu dapat dipergunakan secara langsung untuk merencanakan pembangunan sisitem komunikasi rakyat di Irian Jaya.
Dengan singkat, secara teori dan metodologi perbedaan antara antropologi dan antropologi terapan (atau antropologi pembangunan) sebenarnya tidak ada. Topic penelitiannya saja yang membuat suatu penelitian antropologi kelihatan lebih bersifat terapan daripada lainnya, karena yang satu bersifat kurang relevan, sedang yang lain lebih relevan untuk upaya perencanaan pembangunan yang mendesak.

Sumber :
Koentjaraningrat. Sejarah Teori AntropologiII.1990.Jakarta: Universitas Indonesia
www.google.com (peranan antropologi dalam ekonomi pembangunan Indonesia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar