Senin, 21 Mei 2012

Sikap Profesional Sebagai Wujud Tanggungjawab Moral Guru

I. Pendahuluan Sesuai dengan cita-cita Bangsa yang tertuang dalam Pembukaa UUD 1945 ada tertulis mencerdaskan kehidupan bangsa. Upaya mencerdaskan kehidupan bangsa adalah upaya yang terus dicapai oleh pemerintah dan negara dengan proses pendidikan tentunya. Berbagai cara ditempuh baik melalui jaminan undang-undang, pengembangan konsep-konsep dan metode-metode mengajar dilakukan untuk mencapai cita-cita luhur di atas sejak negara Indonesia meredeka hingga hari ini. Proses pendidikan yang dimaksud adalah dengan mengadakan proses pembelajaran kepada anak-anak bangsa melalui tenaga-tenaga pendidik yang khusus dilatih untuk melakukan tugas mulia itu. Proses belajar mengajar dalam tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi satu tanggungjawab penuh yang kelak menunjukkan siapa bangsa Indonesia di mata dunia. Untuk itu sebenarnya tidak boleh ada kata ketidakseriusan dalam menjalankan tanggungjawab ini. Yang menjadi perhatian utama dalam hal ini adalah para tenaga pendidik. Sebagai alat pencetak generasi bangsa yang bermutu yang nantinya membawa bangsa ini bersaing dengan negara lain maka peran dan tanggungjawab mereka sangatlah vital. Apa yang mereka ajarkan dan bagaimana cara mereka mengajar adalah sebuah pilar utama pendidikan di negara ini disamping faktor-faktor lain yang cukup mendukung untuk mencapai cita-cita negara yang difasilitasi oleh pemerintah. Tampaknya guru tetap menjadi sosok terdepan dan menjadi penunjuk arah. Artinya ada penekanan kepada sikap dalam menjalani suatu tugas, dan hal inilah yang sangat diharapkan dimiliki oleh seorang guru atau tenaga pendidik. Sikap itu adalah Profesional. Hal ini yang akan dibahas dalam makalah ini, yakni bagaimana seharusnya sikap guru dalam menjalani profesi mereka sebagai alat negara untuk mencapai cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa sekaligus menunjukkan tanggungjawab moral yang mereka emban. II. Pembahasan Guru atau tenaga kependidikan yang terdiri dari guru kelas, guru bidang studi, guru bimbingan dan konseling, mengemban peran profesional yang sangat penting dalam mempersiapkan calon pemimpin bangsa di bidang pemerintahan, sosial kemasyarakatan atau di lingkungan swasta. Dari tangan para guru tersebut sepanjang masa diharapkan selalu siap para lulusan sebagai calon pengganti pemimpin dalam rangka pergantian generasi yang tidak saja memiliki keterampilan dan keahlian di bidangnya masing-masing, tetapi juga bermoral dan berakhlak mulia, serta berkeperibadian sebagai manusia Indonesia seutuhnya. Pendidik dan tenaga kependidikan merupakan salah satu unsur pokok dalamproses penjamin mutu pendidikan. Untuk menjadikan lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap dan nilai berdasarka standar nasional dan globaldiperlukan pendidik dan tenaga kependidikan yang profesional. II.a Pengertian Profesi Guru bertugas dan bertanggungjawab sebagai agen pembelajaran yang memotivasi, menfasilitasi, mendidik, membimbing, da melataih peserta didik sehingga menjadi manusia berkualitas yang mengaktualisasikan potensi kemausiaannya secara potimum, pada jalur pendidikan formal jenjang pendidikan dasar dan menengah, termasuk pendidikan ank usia dini formal. Kecapakapan dalam melaksanakan tugas supaya tujuan pendidikan yang sangat berat itu dapat dicapai semaksimal mungkin. Hal ini berarti bahwa guru harus benar-benar profesioanal dalam melaksanakan tugasnya. Utuk menjawab makna profesi khususnya dalam bidang pendidikan, Peter Salim menegaskan bahwa profesi merupakan suatu bidang pekerjaan yang berdasarkan pada pendidikan keahlian tertentu, misalnya profesi di bidang komputer, profesi mengajar dll. Pernyataan tersebut mempertegas bahwa profesi menuntut suatu keahlian yang didasarkan pada latar belakang pendidikan tertentu (Muh. Nurdin, 2004;119) Pendapat lain dikemukakan oleh Sikun Pribadi (1991:1) mengatakan bahwa profesi pada hakekatnya merupakan suatu pernyataan bahwa seseorang akan mengabdikan dirinya kepada suatu jabatan atau pekerjaan karena orang tersebut merasa terpanggil untuk menjabat pekerjaan itu. Pernyataan itu mempertegas bahwa profesi itu pada hakekatnya muncul karena kesediaan pribadi seseorang secara terang-terangan untuk mengabdikan dirinya pada jabatan pekerjaan yang ditekuninya. Seluruh pendapat di atas dapat disarikan bahwa pekerjaan profesional adalah pekerjaan yang dipersiapkan melalui pendidikan dan pelatihan. Semakin tinggi hakekat pendidikan yang harus dipenuhinya, makasemakin tinggi pula derajat profesi yang diembannya. Tinggi rendahnya pengakuan profesionalisme sangat bergantung kepada keahlian dan tingkat pendidikan yang ditempuh. Selain itu terdapat juga beberapa syarat-syarat profesi. Menurut Sikun Pribadi (1975;14), profesi sesungguhnya merupakan lembaga yang memiliki otoritas otonomi, hal tersebut karena didukung oleh : a. Spesialisasi ilmu sehigga mengandung arti keahlian b. Kode etik yang direalisasikan dalam menjalankan profesi, karena pada hakekatnya dia telah mengabdi kepada masyarakat demi kesejahteraan masyarakat itu sendiri. c. Kelompolk yang tergabung dengan profesi yang menjaga profesi atau jabatan itu dari penyalahguaan oleh orang-orang yang tidak berkompeten dengan pendidikan serta sertifikasi mereka memenuhi syarat-syarat yang diminta. d. Masyarakat luas yang memanfaatkan profesi tersebut. e. Pemerintah yang melindungi profesi dengan undang-undang. II.b Pengertian sikap profesional Sikap (attitude) merupakan suatu kecenderungan perasaan terhadap suatu objek yang dimiliki seseorang terhadap sesuatu pekerjaan justru sikap itu bisa dipakai sebagai untuk memprediksi perilaku orang tersebut dalam bekerja. Kecenderungan berperilaku dimaksud mulai dari mendudkung objek tertentu sampai dengan menolaknya. Adapun komponen sikap yaitu : 1). Kognisi, berkenan dengan keyakinan, ide dan konsep. 2). Afeksi, berkenan dengan emosional/perasaan. 3). Konasi, berkenan dengan kecenderungan bertingkah laku. Oleh sebab itu kecenderungan sikap memilih, menentukan dan memutuskan untuk menjadi guru sesungguhnya sudah melalui proses yang kompleks dalam dirinya. Degan demikian jika seseorang sudah setuju untuk menjadi guru artinya mempunyai sikap positip terhadap pekerjaan guru dengan segala resikonya, dan individu tersebut akan melakukan tindakan positif dan mau melaksanakan dengan penuh rasa tanggungjawab. Tetapi jika tidak setuju terhadap pekerjaan guru, maka tindakan yang muncul menunjukkan kearah tindakan negatif, atau malah menentangnya, oleh karena itu pekerjaannya pun tidak akan sempurna. Guru sebagai pendidik akan diakui oleh masyarakat apabila dalam melaksanakan pekerjaannya mampu menunjukkan citra dan reputasi sebagai seorang guru profesional. Guru selain tugas utamanya sebagai pengajar, juga guru adalah seseorang yang dapat menunjukkan kepada masyarakat bahwa ia layak dijadikan panutan atau yang memberikan contoh teladan kepada masyarakat sekitarnya, baik dalam lingkungan sekolah, maupun di lingkungan masyrakat tempat tinggalnya. Guru sebagaimana asal kata ``gug” dan ``tiru” adalah orang yang dalam kesehariannya menjadi panutan yang harus digugu dan ditiru oleh masyarkat sekitarnya. Yang gugu adalah ucapan dan perkataannya dan yang harus ditiru adalah perilakunya sehari-hari. Ucapan dan perkataan guru akan menjadi pedoman bagi anak didiknya untuk melangkah ke depan, baik itu berupa materi pelajaran di ruang kelas, maupun ucapan yang berkenan dengan perkataan-perkataan moral berupa petuah-petuah di luar kelas. Justru itu banyak orang yang meyakini akan jualat jika mengingkari dan meperolok-olokkan gurunya, tidak mengikuti petuah-petuah sang guru, atau melawan perintah sang guru. Oleh karena itu guru dalam kesehariannya harus mampu berkata benar, memiliki pengetahuan luas, dapat membangkitkan semangat dan dorongan kepada anak didiknya, memberi arahan yang benar, serta membawa anak didiknya ke arah kebenaran dan kebaikan masa depan anak didik. Berdasarkan pada harapa ini maka guru wajib meningkatkan pengetahuan akademiknya, mengikuti perkembangan masyarakat terutama di kalangan remaja, dan mamapu mengaplikasikannya ke dalam pekerjaannya sehari-hari sehingga kinerja guru di sekolahd an masyarakat tidak ketinggalan. Perilaku guru sehari-hari adalah yang harus dicontoh atau diteladani oleh para anak didik khususnya dan msyarkat pada umumnya. Dalam keseharian perilaku guru yang menjadi perhatian adalah dalam berpakaian, cara berjalan, cara makan dan minum, serta semua cara yang meleat dengan pribadi guru, demikian pula dengan bagaimana bergaul dengan siswa, bergaul dengan sesama teman sejawat, serta anggota masyarakat luas. Tuntutan sekaligus harapan masyarakat terhadap profesi guru seperti yang diungkapkan di atas terus berkembang sesuai dengan standar tutntan zaman. II c. Sasaran Sikap Profesional Kependidikan 1. Sikap terhadap Peraturan Perundang-undangan Kebijakan tertinggi pendidikan di negara kita dipegang oleh Departemen Pendidikan Nasional. Dalam rangka pembangunan di bidang pendidikan kita di Indonesia Pemerintah maupan Depdiknas mengeluarkan peraturan-peraturan yang dijadikan pedoman dalam kegiatan penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan oleh apratnya. Peraturan dimaksud berupa Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, Surat Edaran dan sebagainya yang meliputi pengaturan mulai dari pengadaan sarana dan prasarana Pendidikan, peningkatan mutu pendidikan, pembinaan tenaga kependidikan, pengaturan tentang kesiswaan, dan lain-lain. Untuk menjaga citra dan reputasi agar Indonesia tetap melaksanakan ketentuan-ketentuan yang merupakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan diatur dalam etika profesi atau norma yang disebut degan kode Etik Guru Indonesia. Salah satu butir yang mengatur hubungan guru dengan pemerintah berbunyi `` Guru harus memiliki komitmen kuat untuk melaksanakan program pembangunan bidang pendidikan sebagaimana ditetapkan dalam UUD 1945, UU tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-undang tentang Guru dan Dosen, dan ketentuan perudangan lainnya”. Dengan demikian setiap guru Indonesia wajib tunduk dan patuh kepada segala ketentuan-ketentuan Pemerintah, baik yang dikeluarkan oleh Depdiknasm maupun Departemen lain yang berwewenang mengatur pendidikan, di pusat maupun di daerah. 2. Sikap Terhadap Organisasi Profesi Organisasi profesi merupakan suatu sistem untuk meyepakati suatu komitmen bersama, dibentuk bersdasarka unsur-unsur anggota. Oleh karena itu seluruh anggotanya harus berindak sesuai dengan tujuan yang ditetapkan bersama. Ada hubungan timbal balik antara anggota profesi dalam melaksanakan hak dan kewajiban. UU RI Nomor 14 Tahun 2005 pasal 41 atat (3) menyebutkan ``Guru wajib menjadi anggota organisasi profesi”. Guru sebagai pekerja profesional harus memelihara dan menigkatkan mutu orgaisasi Proesi Guru sebagai sarana perjuangan, pembinaan diri, dan pengabdian. Seluruh personil organisasi profesi guru baik ketua dan unsur ketua, sekretaris dan unsur sekretaris, dan penguru; lainnya serta para anggota harus membina damengawasi para personelnya. Kewajiban membina organisasi proesi merupakan kewajiban semua anggota bersama pengurusnya. Oleh sebab itu semua, anggota dan pengurus organisasi profesi guru, wajib meningkatkan kulaitas diri masing-masing sekaligus meningkatkan kualitas orgaisasi, dibawah tanggungjawab para pengurus organisasi profesi. Dalam kenyataannya justru para pejabat itulah yang memegang peranan fungsioanal dalam melakukan tindakan pembinaan sikap organisasi, merekalah yang mengkomunikasikan segala sesuatu mengenai sikap profesi itu kepada para anggotanya dan mereka pula yang mengambil tindakan apabila diperlukan. 3. Sikap Terhadap Teman Sejawat Dalan rancangan kode etik guru di Indonesia diantaranya disebutkan bahwa Guru harus memelihar dan meningkatkan kinerja, prestasi, dan reputasi sekolah, Guru harus menciptakan suasana kekeluargaan di dalam dan di luar sekolah, dan guru harus menjunjung tinggi martabat profesionalisme dan hubungan kesejawatan dengan standar dan keafifan profesional, ini berarti bahwa : a). Guru hendaknya mencipatakan dan memelihara hubungan sesama guru dalam lingkungan kerja dan di luar lingkungan kerjanya, dan b). Guru hendaknya menciptakan dan memelihara semangat kekeluargaan dan kesetiakawanan sosial di dalam dan di luar lingkungan kerjanya. Dalam hal ini Kode Etik Guru Indonesia menunjukkan kepada kita betapa pentingya hubungan yang harmonis diciptakan dengan mewujudkan perasaan bersaudara, yang mendalam antara sesama anggota profesi. Hubungan sesama anggota profesi dapat dilihat dari dua segi, yakni hubungan formal dan hubungan kekeluargaan. Hubungan formal ialah hubungan yang perlu dilakukan dalam rangka melakukan tugas kedinasan. Sedangkan hubungan kekeluargaan ialah hubungna persaudaraan yang perlu dilakukan baik dalam lingkungan kerja maupun dalam hubunga keseluruhan dalam rangka menunjang tercapainya keberhasilan anggota profesi dalam membawaka misinya sebagai pendidik bangsa. 4. Sikap Terhadap Peserta Didik Dalam Rancangan Kode etik Guru Indonesia diantaranya dinyatakan bahwa : ``Guru harus berprilaku secara profesional dalam melasaakan tugas mendidik, mengajar membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi proses dan hasil pembelajaran, Guru harus menjunjung tinggi harga diri, integritas dan tidak sekali-kali merendahkan martabat peserta didiknya, dan Guru harus secara langsung mencurahkan usaha-usaha profesionalnya untuk membantu peserta didik dalam mengembangkan keseluruhan kepribadiannya termasuk kemampuannya untuk berkarya”. Dasar ini mengandung beberapa prinsip yang harus dipahami oleh seorang guru dalam menjalankan tugasnya sehari-hari yakni : tujuan pendidikan nasional, prinssip membimbing , dan prinsip pembentukan manusia Indonesia seutuhnya. Prinsip manusia seutuhnya memandang manusia sebagai kesatuan yang bulat, utuh, baik jasmani maupun rohani, tidak hanya berilmu tinggi tetapi juga bermoral tinggi pula. Guru dalam mendidik seharusnya tidak hanya mengutamakan pengetahuan atau perkembangan intelektual saja, tetapai juga harus memperhatikan perkembangan kepribadian peserta didik, baik jasmani, rohani, sosial,intelektual, maupaun yang lainya yang sesuai dengan hekekat pendidikan. Ini dimaksudkan agar peserta didik pada akhirnya akan dapat menjadi manusia yang mampu menghadapi tantangan-tantangan dalam kehidupannya sebagai insan dewasa. Peserta didik tidak dapat dipandang sebagai objek semata yang harus patuh kepada kehendak dan kemauan guru. 5. Sikap Terhadap Tempat Kerja Iklim sekolah yang kondusif merupakan syarat mutlak terciptanya suasana yang baik terhadap penyelenggaraan pembelajaran yang efektif dan peningkatan produktivitas. Oleh karena itu setiap personil sekolah berkepentingan dalam suasana keharmonisan hubungan untuk menciptakan iklim yang kondusif. Guru sebagai ujung tombak terdepan dalam penyelenggaraankegiatan proses belajar mengajar, berkewajiban menciptakan iklim yang kondusif untuk menumbuhkembangkan semangat belajar peserta didik. Lingkungan tempat kerja para guru yag dituliskan diatas, mengharuskan guru aktif dalam menciptakan suasana yang kondusif dengan cara, meningkatkan kompetensi pedagogik, ompetensi kepribadian, kompetensi profesioanal dan kompetensi sosial. Penciptaaan suasana yang kondusif harus dimulai dai Kepala Sekolah dan diikuti pula oleh guru-guru pada satuan pendidikan masing-masing, serta menjalin hubungan harmois dengan stakeholders seperti peserta didik, dan orang tua murid yang bergabung dalam komite sekolah. Penciptaan hubungan yang harmonis dimulai pula dengan rasa saling percaya, menghormati fungsi masing-masing personil sekolah sesuai dengan tugasnya, dan saling membahu dalam menghadapi kesulitan yang dialami sekolah. Orang tua murid tidaklah wajar jika menyerahkan sepenuhnya tanggungjawab pendidikan anaknya kepada sekolah, demikian juga dnengan pihak sekolah tidak pula hanya sekedar melepaskan tugas mengajar di sekolah. Oleh karena itu pihak sekolah sebagai penyelenggara pembelajaran harus bekerjasama dengan orangtua dan masyarakat dan sama-sama bertanggungjawab terhadap pendidikan peserta didik. Bentuk kerjasama dapat dilakuakan dengan berbagai hal, seperti mengundang orang tua siswa untuk membicarakan berbagai permasalah yang dihadapi sekolah sekaligus mencari jalan keluarnya, juga permasalahan yang dihadapi oleh peserta didik dalam kegiatan belajar mengajar, melibatkan komite sekolah membantu meringankan kesuliatan dalam penyediaan sarana dan prasarana pendidikan di sekolah, melibatkan komite sekolah dalam penyusunan Rancanan Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS), dan bentuk lainnya yang dapat disepakati bersama. 6. Sikap Terhadap Pimpinan Sebagaimana seorang anggota organisasi profesi, baik organisasi guru maupun organisasi yang lebih besar (Departemen Pendidikan Nasional) guru akan selalu berada dalam bimbingan dan pengawasan pihak atasan. Dari organisasi profesi guru ada strata kepemimpinan mulai dari Pengurus Cabang, Pengurus Daerah atau Wilayah, sampai ke pimpinan pusat. Begitu juga sebagai anggota keluarga besar Depdiknas ada pembagian pengawasan mulai dari Kepala Sekolah, Kepala Dinas Pendidikan Kecamatan, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi dan Menteri Pendidikan Nasional. Sudah jelas bahwa pimpinan suatu unit atau organisasi akan mempunyai kebijaksanaan dan arahan dalam memimpin organisasinya, dimana tiap anggota organisasi itu dituntut berusaha untuk bekerjasama dalam melaksanakan tujuan organisasi tersebut. Dapat saja kerjasama yang dituntut pimpinan tersebut diberikan berupa tuntutan akan kepatuhan dalam melaksanakan arahan an petunjuk yang diberikan berupa instruksi yang harus dikerjaan. Dalam penemuan-penemuan baru dalam bidang pendidikan seorang guru profesional akan selalu proaktif mengikutinya, selalu optimis terhadap apa yang dia lakukan berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang diperolehnya. Guru profesional tidak akan lebih tertarik pada posisi-posisi lain yang bukan guru seperti lembaga admininstrasi di kantor maupun sebaai birokrat atau jabatan struktural administratif. Guru profesional juga akan sangat senang mendiskusikan materi-materi kependidikan dengan sesama rekan sejawat. Profesi guru berhubugan dengan anak didik, yang secara alami mempunyai persamaan da perbedaa. Tugas melayani orang yang beragam sangat memerlukan kesabaran dan ketelatenan yang tinggi, terutama bila berhubungan dengan peserta didik yang masih kecil. Barang kali tidak semua orang dikaruniai sifat seperti itu, namun bila seseorang telah memilih untuk memasuki profesi guru, ia dituntut untuk belajar dan berlaku seperti itu. II.d Pengembangan Sikap Profesional Seperti yang telah dingkapkan di depan, bahwa dalam rangka meningkatkan mutu, baik mutu profesional, maupun mutu layanan guru harus pula meningkatkan sikap profesionalnya. Ini berarti bahwa sasaran-sasaran penyikapan yag telah dibicarakan harus selalu dipupuk dan dikembangkan. Penbembangan sikap profesional ini dapat dilakukan baik selagi dalam pendidikan prajabatan maupun setelah bertugas atau dalam jabatan. d.1 Pengembangan Sikap selama Pendidikan Prajabatan Dalam pendidikan prajabatan calon guru dan tenaga kepedidikan lainnya dipersiapkan dalam berbagai pengetahuan, sikap dan keterampilan yang diperlukan dalam pekerjaannya kelak. Karena tugasnya yang bersifat unik, disamping itu guru harus selalu dapat menjadi panutan bagi siswanya, dan bahkan bagi masyarkat sekelilingnya. Oleh sebab itu bagaimanapun guru bersikap terhadap pekerjaan dan jabatannya selalu menjadi perhatian siswa dan masyarakat. Pembentukan sikap yang baik tidak mungkin muncul begitu saja, tetapi harus dibina sejak calon guru memulai pendidikannya di lembaga pendidikan guru (LPTK). Berbagai usaha dan latihan, praktek-praktek percotohan dan aplikasi penerapan ilmu, keterampilan dan bahkan sikap profesional dirancang dan dilaksanakan selama calon guru bearada dalam pendidika prajabatan. Sering juga pembentukan sikap tertentu terjadi sebagai hasil sampingan dari pegetahuan yang diperoleh calon guru. Sikap teliti dan disiplin, misalnya dapat terbentuk sebagai hasil sampingan dari hasil belajar matematika yang benar, karena belajar matematika selslu menuntut keteletian dan kedisiplinan penggunaan aturan-aturan dan prosedur yang telah ditentukan. Sementara itu tentu saja pembentukan sikap dapat diberikan lebih awal pada masa memasuki lembaga pendidikan keguruan dengan memberikan pengetahuan, pemahaman, dan penghayatan khusus yang direncanakan secara terpadu dari beberapa materi-materi perkuliahan. d.2 Pengembangan Sikap selama dalam Jabatan Pengembangan sikap profesional tidak berhenti apabila calon guru selesai mendapatkan pendidikan prajabatan. Banyak usaha yang dapat dilakukan dalam rangka peningkatan sikap profesional keguruan dalam masa pengabdiannya selaku guru. Seperti telah disebutkan, bahwa pedingaktan ini dapat dilakukan dengan cara formal melalui kegiatan mengikuti penataran, lokakarya, pelatihan, workshop, seminar, atau kegiatan ilmiah lainya, ataupun dilakukan secara informal melalui media elektronik seperti televisi, radio, internet atau media cetak seperti jurnal-jurnal pendidikan, majalah ilmiah, buletin, koran, dan publikasi lainya, dapat juga melalui diskusi teman sejawat, mengikuti kegiatan kelompok kerja guru, dan dengar pendapat dengan stekehoders (orangtua siswa dan masyarakat). Kegiatan ini selain dapat meningkatkan pengetahuan keterampilan, sekaligus juga dapat meningkatkan sikap profesional keguruan sebagai wujud tanggung jawab moral mereka. III. Penutup Kesimpulan Pekerjaan guru sejak masa awal hingga dewasa ini telah mengalami perkembangan sejajar dengan berkembangnya kemajua di tengah masyarakat. Pekerjaan profesional sejajar dengna berkembangnya kemajuan di tengah masyarakat. Pekerjaan profesional dapat diartika sebagai pekerjaan yang memerlukan pendidikan khusu, memenuhi persyaratan khusu yang ditetapan oleh organisasi, dan mendapat pengakua dari negara. Satu jenis pekerjaan baru dapat dikategorikan profesional bila memenuhi ciri-ciri dalam berbagai aspek; fungsi dan signifikasi sosial, keahlian dan keterampilan disiplin ilmu tertentu, memerlukan pendidikan dan latihan, nilai-nilai profesionalnya dapat diaplikasikan kepada masyarakat, mempunyai kode etik, mempunyai tanggung jawab tertentu, diakui dan mendapat imbalan yang layak atas profesinya. Guru sebagai pekerjaan profesional memerlukan tiga jenis kompetensi ; personal, sosial dan profesional. Sementara untuk melaksanakan tugasnya guru diperlengkapi dengan kode etik guru, yang disusun dan disepakati organisasi PGRI. Dan agar guru sebagai profesi aman dalam statusnya, perlu mendapat perlindungan yang mencakup perlindungan terhadap LPTK sebagai satu-satunya lembaga pelatih dan pendidik guru, seharusnya guru hanya boleh dijabat oleh lulusan LPTK, organisasi guru (PGRI) dilibatkan dalam memberi perimbangan dalam hal-hal yang menyangkut status, pengembangan, pemberhentian, beserta pengawasan terhadap kode etik profesi guru. Sebagai seorang tenaga profesional, guru harus senantiasa proaktif meningkatkan pengetahuan, sikap, dan keterampilannya secara terus menerus. Sasaran penyikapan itu meliputi penyikapan terhadap perundang-undangan, organisasi profesi, teman sejawat, peserta didik, tempat kerja, pimpinan lembaga dan lingkungan pekerjaan. Sebagai jabatan yang harus dapat menjawab tantangan perkembangan masyarakat, jabatan guru harus pula selalu dikembangkan dan dimutakhirkan. Dlaam bersikap guru harus selalu mengadakan pembaharuan sesuai dengan tuntutan zaman yang melekat dalam tugas-tugasnya.

Minggu, 09 Oktober 2011

Pola pengasuhan anak dan struktur kepribadian

Jenis Pola Asuh Orangtua Pada Anak
Setiap orang umumnya akan menikah dan memiliki anak. Anak adalah titipan Tuhan yang harus kita jaga dan kita didik sedemikian rupa agar setelah mereka besar dapat menjadi orang yang berguna bagi masyarakat, bangsa dan negara serta dapat membahagiakan dan membanggakan orang tua yang telah susah payah membesarkannya dengan cinta dan kasih sayang.
Masalah yang selalu dikeluhkan orang tua tentang anak mereka seakan-akan tidak pernah berakhir. Taraf pertumbuhan dan perkembangan telah menjadikan perubahan pada diri anak. Perubahan perilaku tidak akan menjadi masalah bagi orang tua apabila anak tidak menunjukkan tanda penyimpangan. Akan tetapi, apabila anak telah menunjukkan tanda yang mengarah ke hal negatif akan membuat cemas bagi sebagian orang tua.
Menurut Al-Istambuli (2002), “Kecemasan orang tua disebabkan oleh timbulnya perbuatan negatif anak yang dapat merugikan masa depannya.” Kekhawatiran orang tua ini cukup beralasan sebab anak kemungkinan akan berbuat apa saja tanpa berpikir resiko yang akan ditanggungnya. Biasanya penyesalan baru datang setelah anak menanggung segala resiko atas perbuatannya. Keadaan ini tentu akan mengancam masa si anak sendiri.
Menurut Clemes (2001) bahwa “terjadinya penyimpangan perilaku anak disebabkan kurangnya ketergantungan antara anak dengan orang tua.” Hal ini terjadi karena antara anak dan orang tua tidak pernah sama dalam segala hal. Ketergantungan anak kepada orang tua ini dapat terlihat dari keinginan anak untuk memperoleh perlindungan, dukungan, dan asuhan dari orang tua dalam segala aspek kehidupan. Selain itu, anak yang menjadi “masalah” kemungkinan terjadi akibat dari tidak berfungsinya sistem sosial di lingkungan tempat tinggalnya. Dengan kata lain perilaku anak merupakan reaksi atas perlakuan lingkungan terhadap dirinya.
Penanganan terhadap perilaku anak yang menyimpang merupakan pekerjaan yang memerlukan pengetahuan khusus tentang ilmu jiwa dan pendidikan. Orang tua dapat saja menerapkan berbagai pola asuh yang dapat diterapkan dalam kehidupan keluarga. Apabila pola-pola yang diterapkan orang tua keliru, maka yang akan terjadi bukannya perilaku yang baik, bahkan akan mempertambah buruk perilaku anak.

A. Tipe-Tipe Pola Asuh Orang Tua Kepada Anak :
1. Pola Asuh Permisif
Pola asuh permisif adalah jenis pola mengasuh anak yang cuek terhadap anak. Jadi apa pun yang mau dilakukan anak diperbolehkan seperti tidak sekolah, bandal, melakukan banyak kegiatan maksiat, pergaulan bebas negatif, matrialistis, dan sebagainya. Biasanya pola pengasuhan anak oleh orangtua semacam ini diakibatkan oleh orangtua yang terlalu sibuk dengan pekerjaan, kesibukan atau urusan lain yang akhirnya lupa untuk mendidik dan mengasuh anak dengan baik. Dengan begitu anak hanya diberi materi atau harta saja dan terserah anak itu mau tumbuh dan berkembang menjadi apa.
Anak yang diasuh orangtuanya dengan metode semacam ini nantinya bisa berkembang menjadi anak yang kurang perhatian, merasa tidak berarti, rendah diri, nakal, memiliki kemampuan sosialisasi yang buruk, kontrol diri buruk, salah bergaul, kurang menghargai orang lain, dan lain sebagainya baik ketika kecil maupun sudah dewasa.
2. Pola Asuh Otoriter
Pola asuh otoriter adalah pola pengasuhan anak yang bersifat pemaksaan, keras dan kaku di mana orangtua akan membuat berbagai aturan yang harus dipatuhi oleh anak-anaknya tanpa mau tahu perasaan sang anak. Orang tua akan emosi dan marah jika anak melakukan hal yang tidak sesuai dengan yang diinginkan oleh orang tuanya. Hukuman mental dan fisik akan sering diterima oleh anak-anak dengan alasan agar anak terus tetap patuh dan disiplin serta menghormati orang-tua yang telah membesarkannya. Anak yang besar dengan teknik asuhan anak seperti ini biasanya tidak bahagia, paranoid / selalu berada dalam ketakutan, mudah sedih dan tertekan, senang berada di luar rumah, benci orangtua, dan lain-lain. Namun di balik itu biasanya anak hasil didikan orangtua yang otoriter lebih bisa mandiri, bisa menjadi orang sesuai keinginan orang tua, lebih disiplin dan lebih bertanggungjawab dalam menjalani hidup.
3. Pola Asuh Otoritatif
Pola asuh otoritatif adalah pola asuh orangtua pada anak yang memberi kebebasan pada anak untuk berkreasi dan mengeksplorasi berbagai hal sesuai dengan kemampuan anak dengan sensor batasan dan pengawasan yang baik dari orangtua. Pola asuh ini adalah pola asuh yang cocok dan baik untuk diterapkan para orangtua kepada anak-anaknya. Anak yang diasuh dengan tehnik asuhan otoritatif akan hidup ceria, menyenangkan, kreatif, cerdas, percaya diri, terbuka pada orangtua, menghargai dan menghormati orangtua, tidak mudah stres dan depresi, berprestasi baik, disukai lingkungan dan masyarakat dan lain-lain.
B. Beberapa Tips Cara Mendidik Anak Yang Baik :
1. Baik ibu dan ayah harus kompak memilih pola asuh yang akan diterapkan kepada anak. Jangan plin-plan dan berubah-ubah agar anak tidak menjadi bingung.
2. Jadilah orangtua yang pantas diteladani anak dengan mencontohkan hal-hal positif dalam kehidupan sehari-hari. Jangan sampai anak dipaksa melakukan hal baik yang orangtuanya tidak mau melakukannya. Anak nantinya akan menghormati dan menghargai orang tuanya sehingga setelah dewasa akan menyayangi orangtua dan anggota keluarga yang lain.
3. Sesuaikan pola asuh dengan situasi, kondisi, kemampuan dan kebutuhan anak. Polas asuh anak balita tentu akan berbeda dengan pola asuh anak remaja. Jangan mendidik anak dengan biaya yang tidak mampu ditalangi orangtuanya. Usahakan anak mudah paham dengan apa yang kita inginkan tanpa merasa ada paksaan, namun atas dasar kesadaran diri sendiri.
4. Kedisiplinan tetap harus diutamakan dalam membimbing anak sejak mulai kecil hingga dewasa agar anak dapat mandiri dan dihormati serta diharga masyarakat. Hal-hal kecil seperti bangun tidur tepat waktu, membantu pekerjaan rumah tangga orangtua, belajar dengan rajin, merupakan salah satu bentuk pengajaran kedisiplinan dan tanggungjawab pada anak.
5. Kedepankan dan tanamkan sejak dini agama dan moral yang baik pada anak agar kedepannya dapat menjadi orang yang saleh dan memiliki sikap dan perilaku yang baik dan agamis. Anak yang shaleh akan selalu mendoakan orangtua yang telah melahirkan dan membesarkannya walaupun orangtuanya telah meninggal dunia.
6. Komunikasi dilakukan secara terbuka dan menyenangkan dengan batasan-batasan tertentu agar anak terbiasa terbuka pada orangtua ketika ada hal yang ingin disampaikan atau hal yang mengganggu pikirannya. Jika marah sebaiknya orangtua menggunakan ungkapan yang baik dan tidak langsung yang dapat dipahami anak agar anak tidak lantas menjadi tertutup dan menganggap orangtua tidak menyenangkan.
7. Hindari tindakan negatif pada anak seperti memarahi anak tanpa sebab, menyuruh anak seenaknya seperti pembantu tanpa batas, menjatuhkan mental anak, merokok, malas beribadah, menbodoh-bodohi anak, sering berbohong pada anak, membawa pulang stres dari kantor, memberi makan dari uang haram pada anak, enggan mengurus anak, terlalu sibuk dengan pekerjaan dan lain sebagainya.
Menurut Prayitno (2004) “Sumber-sumber permasalahan pada diri siswa banyak terletak di luar sekolah.” Hal ini disebabkan oleh anak lebih lama berada di rumah daripada di sekolah. Karena anak lebih lama berada di rumah, orangtualah yang selalu mendidik dan mengasuh anak tersebut. Dalam mengasuh anak orang tua bukan hanya mampu mengkomunikasikan fakta, gagasan, dan pengetahuan saja, melainkan membantu menumbuh-kembangkan kepribadian anak (Riyanto, 2002). Pendapat tersebut merujuk pada teori Humanistik yang menitikberatkan pendidikan bertumpu pada peserta didik. Artinya anak perlu mendapat perhatian dalam membangun sistem pendidikan. Apabila anak telah menunjukkan gejala-gejala yang kurang baik, berarti mereka sudah tidak menunjukkan niat belajar yang sesungguhnya. Kalau gejala ini dibiarkan terus akan menjadi masalah di dalam mencapai keberhasilan belajarnya.
Melalui orang tua, anak beradaptasi dengan lingkungannya dan mengenal dunia sekitarnya serta pola pergaulan hidup yang berlaku di lingkungannya. Ini disebabkan oleh orang tua merupakan dasar pertama bagi pembentukan pribadi anak. Bentuk-bentuk pola asuh orang tua sangat erat hubungannya dengan kepribadian anak setelah ia menjadi dewasa. Hal ini dikarenakan ciri-ciri dan unsur-unsur watak seorang individu dewasa sebenarnya sudah diletakkan benih-benihnya ke dalam jiwa seorang individu sejak sangat awal, yaitu pada masa ia masih kanak-kanak. Watak juga ditentukan oleh cara-cara ia waktu kecil diajar makan, diajar kebersihan, disiplin, diajar main dan bergaul dengan anak lain dan sebagainya (Koentjaraningrat, 1997). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pola asuh yang diterapkan oleh orang tua sangat dominan dalam membentuk kepribadian anak sejak dari kecil sampai anak menjadi dewasa.
Di dalam mengasuh anak terkandung pula pendidikan, sopan santun, membentuk latihan-latihan tanggung jawab dan sebagainya. Di sini peranan orang tua sangat penting, karena secara langsung ataupun tidak orangtua melalui tindakannya akan membentuk watak anak dan menentukan sikap anak serta tindakannya di kemudian hari. Masing-masing orang tua tentu saja memiliki pola asuh tersendiri dalam mengarahkan perilaku anak. Hal ini sangat dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan orang tua, mata pencaharian hidup, keadaan sosial ekonomi, adat istiadat, dan sebagainya. Dengan kata lain, pola asuh orangtua petani tidak sama dengan pola asuh orangtua pedagang. Demikian pula pola asuh orang tua berpendidikan rendah berbeda dengan pola asuh orang tua yang berpendidikan tinggi. Ada yang menerapkan dengan pola yang keras/kejam, kasar, dan tidak berperasaan. Namun, ada pula yang memakai pola lemah lembut, dan kasih sayang. Ada pula yang memakai sistem militer, yang apabila anaknya bersalah akan langsung diberi hukuman dan tindakan tegas (pola otoriter). Bermacam-macam pola asuh yang diterapkan orang tua ini sangat bergantung pada bentuk-bentuk penyimpangan perilaku anak.
Orang tua dapat memilih pola asuh yang tepat dan ideal bagi anaknya. Orang tua yang salah menerapkan pola asuh akan membawa akibat buruk bagi perkembangan jiwa anak. Tentu saja penerapan orang tua diharapkan dapat menerapkan pola asuh yang bijaksana atau menerapkan pola asuh yang setidak-tidaknya tidak membawa kehancuran atau merusak jiwa dan watak seorang anak.
Struktur Dasar Kepribadian
1. Pengertian Kepribadian
Kepribadian menunjuk pada pengaturan sikap-sikap seseorang untuk berbuat, berpikir, dan merasakan, khususnya apabila dia berhubungan dengan orang lain atau menanggapi suatu keadaan. Kepribadian mencakup kebiasaan, sikap, dan sifat yang dimiliki seseorang apabila berhubungan dengan orang lain. Konsep kepribadian merupakan konsep yang sangat luas, sehingga sulit untuk merumuskan satu definisi yang dapat mencakup keseluruhannya. Oleh karena itu, pengertian dari satu ahli dengan yang lainnya pun juga berbeda-beda. Namun demikian, definisi yang berbeda-beda tersebut saling melengkapi dan memperkaya pemahaman kita tentang konsep kepribadian.
Secara umum yang dimaksud kepribadian adalah sifat hakiki yang tercermin pada sikap seseorang yang membedakan dengan orang lain. Untuk memahami lebih jauh mengenai pengertian kepribadian, berikut ini ada beberapa definisi kepribadian yang dipaparkan oleh beberapa ahli.
a). M.A.W. Brower
Kepribadian adalah corak tingkah laku sosial yang meliputi corak kekuatan, dorongan, keinginan, opini, dan sikap-sikap seseorang.
b). Koentjaraningrat
Kepribadian adalah suatu susunan dari unsur-unsur akal dan jiwa yang menentukan tingkah laku atau tindakan seseorang.
c). Theodore R. Newcomb
Kepribadian adalah organisasi sikap-sikap yang dimiliki seseorang sebagai latar belakang terhadap perilaku.
d). Yinger
Kepribadian adalah keseluruhan perilaku dari seorang individu dengan sistem kecenderungan tertentu yang berinteraksi dengan serangkaian situasi.
e). Roucek dan Warren
Kepribadian adalah organisasi faktor-faktor biologis, psikologis, dan sosiologis yang mendasari perilaku seseorang.
Dari pengertian yang diungkapkan oleh para ahli di atas, dapat kita simpulkan secara sederhana bahwa yang dimaksud kepribadian ( personality ) merupakan ciri-ciri dan sifat-sifat khas yang mewakili sikap atau tabiat seseorang, yang mencakup pola-pola pemikiran dan perasaan, konsep diri, perangai, dan mentalitas yang umumnya sejalan dengan kebiasaan umum.
2. Unsur-Unsur dalam Kepribadian
Kepribadian seseorang bersifat unik dan tidak ada duanya. Ada beberapa unsur-unsur yang mempengaruhi kepribadian seseorang, seperti:
a). Pengetahuan
Pengetahuan seseorang bersumber dari pola pikir yang rasional, yang berisi fantasi, pemahaman, dan pengalaman mengenai bermacam-macam hal yang diperolehnya dari lingkungan yang ada di sekitarnya. Semua itu direkam dalam otak dan sedikit demi sedikit diungkapkan dalam bentuk perilakunya di masyarakat.
b). Perasaan
Perasaan merupakan suatu keadaan dalam kesadaran manusia yang menghasilkan penilaian positif atau negatif terhadap sesuatu atau peristiwa tertentu. Perasaan selalu bersifat subjektif, sehingga penilaian seseorang terhadap suatu hal atau kejadian akan berbeda dengan penilaian orang lain. Contohnya penilaian terhadap jam pelajaran yang kosong. Mungkin ada menganggap sebagai hal yang tidak menyenangkan karena merasa rugi tidak memperoleh pelajaransementara itu ada juga yang menganggap sebagai hal yang menyenangkan.
c). Dorongan Naluri
Dorongan naluri merupakan kemauan yang sudah menjadi naluri setiap manusia. Hal itu dimaksudkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup manusia, baik yang bersifat rohaniah maupun jasmaniah. Ada beberapa macam dorongan naluri, seperti: untuk mempertahankan hidup, seksual, mencari makan, bergaul dan berinteraksi dengan sesama manusia, meniru tingkah laku sesamanya, berbakti, serta keindahan bentuk, warna, suara, dan gerak.
3. Faktor-Faktor yang Membentuk Kepribadian
a). Warisan Biologis (Heredity)
Warisan biologis memengaruhi kehidupan manusia dan setiap manusia mempunyai warisan biologis yang unik, berbeda dari orang lain. Artinya tidak ada seorang pun di dunia ini yang mempunyai karakteristik fisik yang sama persis dengan orang lain, bahkan anak kembar sekalipun. Faktor keturunan berpengaruh terhadap keramah-tamahan, perilaku kompulsif (terpaksa dilakukan), dan kemudahan dalam membentuk kepemimpinan, pengendalian diri, dorongan hati, sikap, dan minat. Warisan biologis yang terpenting terletak pada perbedaan intelegensi dan kematangan biologis. Keadaan ini membawa pengaruh pada kepribadian seseorang. Tetapi banyak ilmuwan berpendapat bahwa perkembangan potensi warisan biologis dipengaruhi oleh pengalaman sosial seseorang. Bakat memerlukan anjuran, pengajaran, dan latihan untuk mengembangkan diri melalui kehidupan bersama dengan manusia lainnya.
b). Warisan Lingkungan Alam (Natural Environment)
Perbedaan iklim, topografi, dan sumber daya alam menyebabkan manusia harus menyesuaikan diri terhadap alam. Melalui penyesuaian diri itu, dengan sendirinya pola perilaku masyarakat dan kebudayaannyapun dipengaruhi oleh alam. Misalnya orang yang hidup di pinggir pantai dengan mata pencaharian sebagai nelayan mempunyai kepribadian yang berbeda dengan orang yang tinggal di daerah pertanian. Mereka memiliki nada bicara yang lebih keras daripada orang-orang yang tinggal di daerah pertanian, karena harus menyamai dengan debur suara ombak. Hal itu terbawa dalam kehidupan sehari-hari dan telah menjadi kepribadiannya.


c). Warisan Sosial (Social Heritage) atau Kebudayaan
Manusia, alam, dan kebudayaan mempunyai hubungan yang sangat erat dan saling memengaruhi. Manusia berusaha untuk mengubah alam agar sesuai dengan kebudayaannya guna memenuhi kebutuhan hidup. Misalnya manusia membuka hutan untuk dijadikan lahan pertanian. Sementara itu kebudayaan memberikan andil yang besar dalam memberikan warna kepribadian anggota masyarakatnya.
d). Pengalaman Kelompok Manusia (Group Experiences)
Kehidupan manusia dipengaruhi oleh kelompoknya. Kelompok manusia, sadar atau tidak sadar telah mempengaruhi anggota-anggotanya, dan para anggotanya menyesuaikan diri terhadap kelompoknya. Setiap kelompok mewariskan pengalaman khas yang tidak diberikan oleh kelompok lain kepada anggotanya, sehingga timbullah kepribadian khas anggota masyarakat tersebut.
e). Pengalaman Unik ( Unique Experience )
Setiap orang mempunyai kepribadian yang berbeda dengan orang lain, walaupun orang itu berasal dari keluarga yang sama, dibesarkan dalam kebudayaan yang sama, serta mempunyai lingkungan fisik yang sama pula. Walaupun mereka pernah mendapatkan pengalaman yang serupa dalam beberapa hal, namun berbeda dalam beberapa hal lainnya. Mengingat pengalaman setiap orang adalah unik dan tidak ada pengalaman siapapun yang secara sempurna menyamainya. Menurut Paul B. Horton, pengalaman tidaklah sekedar bertambah, akan tetapi menyatu. Pengalaman yang telah dilewati memberikan warna tersendiri dalam kepribadian dan menyatu dalam kepribadian itu, setelah itu baru hadir pengalaman berikutnya.
Selain kelima faktor pembentuk kepribadian yang telah kita bahas di atas, F.G. Robbins dalam Sumadi Suryabrata (2003), mengemukakan ada lima faktor yang menjadi dasar kepribadian, yaitu:
a). Sifat Dasar
Sifat dasar merupakan keseluruhan potensi yang dimiliki seseorang yang diwarisi dari ayah dan ibunya. Dalam hal ini, Robbins lebih menekankan pada sifat biologis yang merupakan salah satu hal yang diwariskan dari orang tua kepada anaknya.

b). Lingkungan Prenatal
Lingkungan prenatal merupakan lingkungan dalam kandungan ibu. Pada periode ini individu mendapatkan pengaruh tidak langsung dari ibu. Maka dari itu, kondisi ibu sangat menentukan kondisi bayi yang ada dalam kandungannya tersebut, baik secara fisik maupun secara psikis. Banyak peristiwa yang sudah ada membuktikan bahwa seorang ibu yang pada waktu mengandung mengalami tekanan psikis yang begitu hebatnya, biasanya pada saat proses kelahiran bayi ada gangguan atau dapat dikatakan tidak lancar.
c). Perbedaan Individual
Perbedaan individu merupakan salah satu faktor yang memengaruhi proses sosialisasi sejak lahir. Anak tumbuh dan berkembang sebagai individu yang unik, berbeda dengan individu lainnya, dan bersikap selektif terhadap pengaruh dari lingkungan.
d). Lingkungan
Lingkungan meliputi segala kondisi yang ada di sekeliling individu yang memengaruhi proses sosialisasinya. Proses sosialisasi individu tersebut akan berpengaruh pada kepribadiannya.
e). Motivasi
Motivasi adalah dorongan-dorongan, baik yang datang dari dalam maupun luar individu sehingga menggerakkan individu untuk berbuat atau melakukan sesuatu. Dorongandorongan inilah yang akan membentuk kepribadian individu sebagai warna dalam kehidupan bermasyarakat.
4. Teori-Teori Perkembangan Kepribadian
Ada beberapa teori yang membahas mengenai perkembangan kepribadian dalam proses sosialisasi. Teori-teori tersebut antara lain:
a). Teori Tabula Rasa
Pada tahun 1690, John Locke mengemukakan Teori Tabula Rasa dalam bukunya yang berjudul " An Essay Concerning Human Understanding." Menurut teori ini, manusia yang baru lahir seperti batu tulis yang bersih dan akan menjadi seperti apa kepribadian seseorang ditentukan oleh pengalaman yang didapatkannya. Teori ini mengandaikan bahwa semua individu pada waktu lahir mempunyai potensi kepribadian yang sama. Kepribadian seseorang setelah itu semata-mata hasil pengalaman-pengalaman sesudah lahir (Haviland, 1989:398). Perbedaan pengalaman yang dialami seseorang itulah yang menyebabkan adanya bermacam-macam kepribadian dan adanya perbedaan kepribadian antara individu yang satu dengan individu yang lain.
Teori tersebut tidak dapat diterima seluruhnya. Kita tahu bahwa setiap orang memiliki kecenderungan khas sebagai warisan yang dibawanya sejak lahir yang akan memengaruhi kepribadiannya pada waktu dewasa. Akan tetapi juga harus diingat bahwa warisan genetik hanya menentukan potensi kepribadian setiap orang. Tumbuh dan berkembangnya potensi itu tidak seperti garis lurus, namun ada kemungkinan terjadi penyimpangan. Kepribadian seseorang tidak selalu berkembang sesuai dengan potensi yang diwarisinya. Warisan genetik itu memang memengaruhi kepribadian, tetapi tidak mutlak menentukan sifat kepribadian seseorang. Pengalaman hidup, khususnya pengalaman-pengalaman yang diperoleh pada usia dini, sangat menentukan kepribadian individu.
b). Teori Cermin Diri
Teori Cermin Diri (The Looking Glass Self) ini dikemukakan oleh Charles H. Cooley. Teori ini merupakan gambaran bahwa seseorang hanya bisa berkembang dengan bantuan orang lain. Setiap orang menggambarkan diri mereka sendiri dengan cara bagaimana orang-orang lain memandang mereka. Misalnya ada orang tua dan keluarga yang mengatakan bahwa anak gadisnya cantik. Jika hal itu sering diulang secara konsisten oleh orang-orang yang berbedabeda, akhirnya gadis tersebut akan merasa dan bertindak seperti seorang yang cantik. Teori ini didasarkan pada analogi dengan cara bercermin dan mengumpamakan gambar yang tampak pada cermin tersebut sebagai gambaran diri kita yang terlihat orang lain.
Gambaran diri seseorang tidak selalu berkaitan dengan fakta-fakta objektif. Misalnya, seorang gadis yang sebenarnya cantik, tetapi tidak pernah merasa yakin bahwa dia cantik, karena mulai dari awal hidupnya selalu diperlakukan orang tuanya sebagai anak yang tidak menarik. Jadi, melalui tanggapan orang lainlah, seseorang ditentukan apakah dia cantik atau jelek, hebat atau bodoh, dermawan atau pelit, dan yang lainnya. Ada tiga langkah dalam proses pembentukan cermin diri.
1) Imajinasi tentang pandangan orang lain terhadap diri seseorang, seperti bagaimana pakaian atau tingkah lakunya di mata orang lain.
2) Imajinasi terhadap penilaian orang lain tentang apa yang terdapat pada diri masing-masing orang. Misalnya, pakaian yang dipakai.
3) Perasaan seseorang tentang penilaian-penilaian itu, seperti bangga, kecewa, gembira, atau rendah diri.
Teori ini memiliki kelemahan, yaitu: Pertama, pandangan Cooley dinilai lebih cocok untuk memahami kelompok tertentu saja di dalam masyarakat yang memang berbeda dengan kelompok-kelompok lainnya. Misalnya anak-anak belasan tahun, memang peka menerima pendapat orang lain tentang dirinya. Sedangkan orang dewasa tidak mengacuhkan atau menghiraukan pandangan orang lain, apabila memang tidak cocok dengan dirinya. Kedua, teori ini dianggap terlalu sederhana. Cooley tidak menjelaskan tentang suatu kepribadian dewasa yang bisa menilai tingkah laku orang lain dan juga dirinya.
c). Teori Diri Antisosial
Teori ini dikemukakan oleh Sigmund Freud. Dia berpendapat bahwa diri manusia mempunyai tiga bagian, yaitu id, superego, dan ego.
1) Id adalah pusat nafsu serta dorongan yang bersifat naluriah, tidak sosial, rakus, dan antisosial.
2) Ego adalah bagian yang bersifat sadar dan rasional yang mengatur pengendalian superego terhadap id. Ego secara kasar dapat disebut sebagai akal pikiran.
3) Superego adalah kompleks dari cita-cita dan nilai-nilai sosial yang dihayati seseorang serta membentuk hati nurani atau disebut sebagai kesadaran sosial.
Gagasan pokok teori ini adalah bahwa masyarakat atau lingkungan sosial selamanya akan mengalami konflik dengan kedirian dan selamanya menghalangi seseorang untuk mencapai kesenangannya. Masyarakat selalu menghambat pengungkapan agresi, nafsu seksual, dan dorongan-dorongan lainnya atau dengan kata lain, id selalu berperang dengan superego . Id biasanya ditekan tetapi sewaktu-waktu ia akan lepas menantang superego, sehingga menyebabkan beban rasa bersalah yang sulit dipikul oleh diri. Kecemasan yang mencekam diri seseorang itu dapat diukur dengan bertitik tolak pada jauhnya superego berkuasa terhadap id dan ego . Dengan cara demikian, Freud menekankan aspek-aspek tekanan jiwa dan frustasi sebagai akibat hidup berkelompok.


d). Teori Ralph dan Conton
Teori ini mengatakan bahwa setiap kebudayaan menekankan serangkaian pengaruh umum terhadap individu yang tumbuh di bawah kebudayaan itu. Pengaruh-pengaruh ini berbeda antara kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lain, tetapi semuanya merupakan bagian dari pengalaman bagi setiap orang yang termasuk dalam masyarakat tertentu (Horton, 1993:97). Setiap masyarakat akan memberikan pengalaman tertentu yang tidak diberikan oleh masyarakat lain kepada anggotanya. Dari pengalaman sosial itu timbul pembentukan kepribadian yang khas dari masyarakat tersebut.
e). Teori Subkultural Soerjono Soekanto
Teori ini mencoba melihat kaitan antara kebudayaan dan kepribadian dalam ruang lingkup yang lebih sempit, yaitu kebudayaan khusus (subcultural). Dia menyebutkan ada beberapa tipe kebudayaan khusus yang memengaruhi kepribadian, yaitu
• Kebudayaan Khusus Atas Dasar Faktor Kedaerahan
Di sini dijumpai kepribadian yang berbeda dari individu-individu yang merupakan anggota suatu masyarakat tertentu, oleh karena masing-masing tinggal di daerah-daerah yang berlainan dengan kebudayaan khusus yang berbeda pula.
• Cara Hidup di Kota dan di Desa yang Berbeda
Ciri khas yang dapat dilihat pada anggota masyarakat yang hidup di kota besar adalah sikap individualistik. Sedangkan orang desa lebih menampakkan diri sebagai masyarakat yang mempunyai sikap gotongroyong yang sangat tinggi.
• Kebudayaan Khusus Kelas Sosial
Dalam kenyataan di masyarakat, setiap kelas sosial mengembangkan kebudayaan yang saling berbeda, yang pada akhirnya menghasilkan kepribadian yang berbeda pula pada masing-masing anggotanya. Misalnya kebiasaan orang-orang yang berasal dari kelas atas dalam mengisi waktu liburannya ke luar negeri. Kebiasaan tersebut akan menghasilkan kepribadian yang berbeda dengan kelas sosial lainnya di masyarakat.


• Kebudayaan Khusus Atas Dasar Agama
Agama juga mempunyai pengaruh yang besar untuk membentuk kepribadian individu. Adanya mazhab-mazhab tertentu dalam suatu agama dapat melahirkan kepribadian yang berbeda-beda di kalangan anggotaanggota mazhab yang berlainan itu.
• Kebudayaan Khusus Atas Dasar Pekerjaan atau Keahlian
Pekerjaan atau keahlian yang dimiliki seseorang juga mempunyai pengaruh terhadap kepribadiannya. Contohnya kepribadian seorang guru pasti berbeda dengan militer. Profesi-profesi tersebut mempunyai cara yang berbeda dalam mendidik anak dan cara bergaul.





















DAFTAR PUSTAKA
Al-Istanbuli, Mahmud Mahdi. 2002. Mendidik Anak Nakal. Bandung: Pustaka.
Clemes, Harris. 2001. Mengajarkan Disiplin Kepada Anak. Jakarta. Mitra Utama.
Riyanto, Theo. 2002. Pembelajaran Sebagi Proses Bimbingan Pribadi. Jakarta: Gramediaa Widiasarana Indonesia.
http://tarmizi.wordpress.com/2009/01/26/pola-asuh-orang-tua-dalam-mengarahkan-perilaku-anak/
http://organisasi.org
http://alfinnitihardjo.ohlog.com/pembentukan-kepribadian.oh112680.html

Minggu, 29 Mei 2011

Contoh RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran)

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

Nama Sekolah : SMA N 1 Tercinta
Mata Pelajaran : Sosiologi
Kelas/Semester : XI/3

Standar Kompetensi : 1.1 Mengamati dan memahami Stratifikasi sosial dalam kehidupan bermasyarakat

Kompetensi Dasar : 1.1 Mendeskripsikan stratifikasi sosial dan menguraikan hubungannya dengan status atau kelas sosial dalam kehidupan masyarakat.

Indikator : * Mendefinisikan Stratifikasi sosial dan dinamika sosial
• Menjelaskan faktor yang mendorong terjadinya Stratifikasi sosial dan dinamika sosial
• Menjelaskan hubungan antara Stratifikasi sosial dan Keteraturan sosial

Alokasi Waktu : 6 x 40 menit (4 x pertemuan)

A. Tujuan Pembelajaran
Setelah proses pembelajaran, siswa diharapkan dapat :
1. Mendeskripsikan pengertian Stratifikasi Sosial, hubungannya dengan kelas sosial, kasta dan faktor-faktor pendorong terjadinya stratifikasi sosial.
2. Mendeskripsikan status sosial dan jenis-jenis status sosial dalam masyarkat
3. Mengidentifikasi bentuk-bentuk stratifikasi yang mendorong terciptanya lembaga, kelompok, dan organisasi sosial dan membandingkan dengan kasta yang ada di India.

B. Materi Pembelajaran
1. Hakekat Stratifikasi sosial
2. Faktor-faktor Pendorong Stratifikasi sosial
3. Status, Peranan dan Hubungan individu dalam Stratifikasi sosial
4. Bentuk-bentuk Stratifikasi sosial

C. Metode Pembelajaran
1. Informasi
2. Kerja mandiri
3. Eksplorasi
4. Diskusi






D. Langkah-langkah Pembelajaran
1. Pertemuan I

No. Kegiatan Pembelajaran Alokasi
Waktu Keterangan
1. Pendahuluan
a. Apersepsi
Guru mempersiapkan kelas untuk pembelajaran (mengabsen, dan memeriksa kebersihan kelas)
b. Memotivasi
Guru menjelaskan materi tentang Stratifikasi sosial dalam masyarakat.
c. Rambu-rambu belajar
Guru menjelaskan kompetensi yang akan dicapai oleh siswa dalam pembelajaran tersebut
10 menit
2. Kegiatan Inti
a. Siswa menulis pengalaman di masyarakat yang berkaitan dengan kelas sosial atau pengetahuan mengenai kasta yang terdapat di Indonesia atau di lingkungan sekitar mereka.
b. Guru menjelaskan hakikat stratifikasi sosial dan faktor-faktor pendorong stratifikasi sosial.
c. Siswa mengerjakan tugas “Uji Penguasaan Materi” pada halaman 50 dan 55.
d. Siswa mengumpulkan tugasnya untuk dinilai oleh guru.
e. Siswa mendiskusikan bentuk-bentuk dan faktor-faktor yang mendorong terjadinya stratifikasi sosial.
f. Siswa membacakan hasil diskusinya di depan kelas. Siswa yang lain bisa menanggapi hasil diskusi kelompok.
g. Guru membuat kesimpulan tentang hasil diskusi kelompok.. 60 menit
3. Kegiatan Akhir
a. Refleksi
Siswa dan guru membuat rangkuman tentang hakekat stratifikasi sosial, Prinsip stratifikasi sosial dan faktor-faktor pendorong stratifikasi sosial dalam masyakat. Siswa mencatat beberapa hal yang penting.
b. Penugasan
Guru memberi tugas kepada siswa untuk membaca materi yang akan dipelajari pada pertemuan yang berikut. 5 menit
2. Pertemuan II
No. Kegiatan Pembelajaran Alokasi
Waktu Keterangan
1. Pendahulua
a. Apresepsi
Guru mempersiapkan kelas untuk pembelajaran (mengabsen dan memeriksa kebersihan kelas). Guru mempersiapkan kondisi fisik dan mental siswa untuk mengikuti pelajaran.
b. Motivasi
Guru menjelaskan pentingya Status dalam pembentukan kelas di tengah-tengah masyarakat. 10 menit
2. Kegiatan Inti
a. Siswa mendengar penjelasan guru tentang penngertian status sosial dan jenis-jenis status sosial yang terdapat dalam kehidupan bermasyarakat.
b. Siswa mngerjakan tugas yang ada pada uji penguasaan materi dalam buku halaman 62.
c. Siswa mengumpulkan hasil pekerjaannya kepada guru utuk dinilai.
d. Siswa mendiskusikan studi kasus yang ada dalam buku halaman 68.
e. Siswa membacakan haisil diskusinya di depan kelas, Guru bertugas sebagai pemandu diskusi secara klasikal.
f. Guru membuat kesimpulan berdasarkan hasil diskusi siswa 60 menit
3. Kegiatan Akhir
a. Refleksi
Siswa dan guru membuat rangkuman tentang hakekat Status sosial dan Jenis status sosial dalam kehidupan bermasyarakat..
b. Penilaian
Guru memberi penilaian terhadap pekerjaan siswa secara mandiri, dan hasil diskusi kelompok.
c. Penugasan
Guru memberi tugas kepada siswa untuk membaca materi yang akan dipelajari pada pertemuan yang berikut. 5 menit


3. Pertemuan III
No. Kegiatan Pembelajaran Alokasi
Waktu Keterangan
1. Pendahuluan
a. Apersepsi
Guru mempersiapkan kelas untuk pembelajaran (mengabsen dan memeriksa kebersihan kelas).
b. Memotivasi
Guru menjelaskan pentingnya status atau kelas dalam kehidupan sosial masyarakat saat ini. 10 menit
2. Kegiatan Inti
a. Siswa mendengarkan penjelasan guru tentang kasta yang merupakan salah satu bentuk dari stratifikasi sosial di India.
b. Siswa secara mandiri mencari ahan tentang bentuk stratifikasi sosial dari sumber lain.
c. Siswa mengerjakan soal yang ada dalam uji penguasaan materi.
d. Siswa mendiskusikan studi kasus yang ada dalam buku halaman 75.
e. Siswa membacakan hasil diskusinya di depan kelas. Guru memandu diskusi secara klasikal. 70 menit
3. Kegiatan Akhir
a. Refleksi
Siswa dan guru membuat rangkuman tentang kasta sebagai bentuk stratififkasi atau kelas sosial dalam kehidupan sosial di India.
b. Penilaian
Guru memberi penilaian terhadap pekerjaan sisw secara mandiri, dan hasil diskusi kelompok.
c. Penugasan
Guru memberi tugas kepada sisw untuk mempersiapkan diri untuk ulangan blok. 5 menit


4. Pertemuan IV
No. Kegiatan Pembelajaran Alokasi
Waktu Keterangan
1. Pendahuluan
a. Apresiasi
Guru mempersiapkan kelas untuk ulangan blok.
b. Memotivasi
Guru menjelaskan tujuan ulangan blok 10 menit
2. Kegiatan Inti
a. Guru membagikan soal yang telah disiapkan oleh guru.
b. Siswa mengerjakan soal yang telah dibagikan oleh guru.
c. Siswa mengumpulkan pekerjaannya kepada guru untuk dinilai. 65 menit
3. Kegatan Akhir
a. Refleksi
Siswa dan Guru membahas bersama soal-soal yang telah dikerjakan.
b. Penilaian
Guru memberi penilaian terhadap ulangan blok siswa.
c. Penugasan
Guru memberi tugas kepada siswa untuk mengulangi materi yang telah menjadi bahan ulangan blok.
10 menit

5. Sumber Pembelajaran
1. Buku Sosiologi SMA Kelas XI Yudhistira halaman 50 – 75
2. Masalah-masalah sosial di masyarakat yang terkait dengan status sosial
3. Media massa seperti majalah, Koran, dan buku-buku tambahan


6. Media
1. Papan Tulis
2. Lembar Soal
3. Transparan Konsep
4. Power Point
5. LCD

7. Penilaian
1. Mengerjakan latihan Uji Penguasaan Materi halaman 50 - 55, 62, dan 75
2. Melakukan pengamatan terhadap masyarakat yang menunjukkan status atau kelas dalam kehidupan sosialnya pada halam 68.
3. Penilaian hasil diskusi

No. Nama ASPEK PENILAIAN Total NIlai Presentasi
Sikap Keaktifan Wawasan Kemampuan
Mengemukakan
Pendapat Kerjasama


Keterangan ; Nilai maksimal 20

No. Nama Siswa Aspek yang Dinilai Skor/Jumlah
1 2 3 4 5 6


Aspek yang dinilai :
1. Kemampuan menyampaikan pendapat
2. Kemampuan memberikan argumentasi
3. Kemampuan memberikan kritik
4. Kemampuan mengajukan pertanyaan
5. Kemampuan menggunakan bahasa yang baik
6. Kelancaran berbicara

Penskoran : Jumlah Skor :
A. Tidak Baik Skor 1 24 – 30 = Sangat Baik
B. Kurang Baik Skor 2 18 – 23 = Baik
C. Cukup Baik Skor 3 12 – 17 = Cukup
D. Baik Skor 4 6 – 11 = Kurang
E. Sangat Baik Skor 5

FORMAT PENILAIAN PROSES DISKUSI
No. Nama Siswa Keterangan Penilaian Jumlah Skor
1 2 3 4 5
1.
2.
3.


Keterangan :
1. Aktivitas dalam kelompok Rentang Skor :
2. Tanggung Jawab Individu 12 – 15 = Sangat Baik
3. Pemikiran 9 – 11 = Baik
4. Keberanian berpendapat 6 – 8 = Cukup
5. Keberanian tampil 3 – 5 = Kurang



Mengetahui JAKARTA,_____________


Kepala Sekolah SMA Guru Bidang Studi

Rabu, 13 April 2011

Soal Sosiologi Stratifikasi Sosial

Soal Sosiologi Kelas XI
Stratifikasi Sosial


1. Pengertian stratifikasi sosial menurut Chinoy adalah…
a. Stratifikasi sosial sebagai sistem kategori penjenjangan manusia dalam suatu masyarakat ke dalam suatu jenjang urutan dari atas ke bawah/hirarkis.
b. Stratifikasi atau pelapisan sebagai ketidaksamaan antara kelompok-kelompok manusia yang distrukturkan.
c. Stratifikasi adalah proses, struktur dan sekaligus masalah. Stratifikasi juga dapat dilihat sebagai masalah dimana ketidaksamaan soisial bertahan dalam masyarakat.
d. Stratifikasi sosial sebagai pembedaan anggota masyarakat berdasarkan status yang dimilikinya.
e. Stratifikasi sebagai penjenjangan masyarakat menjadi hubungan atasan-bawahan atau dasar kekuasaan, kekayaan dan kehormatan.

2. Pengertian Stratifikasi sosial menurut Kamanto Sunarto (2004 : 10) adalah…
a. Stratifikasi sosial sebagai pembedaan anggota masyarakat berdasarkan status yang dimilikinya.
b. Stratifikasi sebagai penjenjangan masyarakat menjadi hubungan atasan-bawahan atau dasar kekuasaan, kekayaan dan kehormatan.
c. Stratifikasi adalah proses, struktur dan sekaligus masalah. Stratifikasi juga dapat dilihat sebagai masalah dimana ketidaksamaan soisial bertahan dalam masyarakat.
d. Stratifikasi sosial sebagai sistem kategori penjenjangan manusia dalam suatu masyarakat ke dalam suatu jenjang urutan dari atas ke bawah/hirarkis.
e. Stratifikasi atau pelapisan sebagai ketidaksamaan antara kelompok-kelompok manusia yang distrukturkan.

3. Di bawah ini yang merupakan salah satu prinsip dasar stratifikasi sosial adalah…
a. Stratifikasi sosial tidak ada dalam masyarakat primitif.
b. Stratifikasi sosial merupakan ciri khas dari masyarat dan bukan sekedar refleksi dari perbedaan individual.
c. Stratifikasi sosial tampak jelas pada sistem feudal
d. Stratifikasi sosial erat kaitannya dengan sistem perbudakan
e. Stratifikasi sosal adalah susunan kehidupan masyarakat yang terdiri atas pola-pola hubungan-hubungan dan kedudukan-kedudukan yang memberikan kerangka organisasi masyarakat.

4. Di bawah ini yang merupakan jenis stratifikasi sosial adalah..
a. Sistem Kasta, sistem feudal dan sistem perbudakan
b. Kelas sosial, sistem feodal, sistem kasta
c. Perbedaan sosial dan sistem kasta
d. Sistem primitive, sistem feodal, kelas sosial dan sistem kasta
e. Sistem primitif, sistem feodal, sistem perbudakan, sistem kasta, sistem kelas dan sistem sosialisme Negara.

5. Keanggotaan dalam kasta ditentukan oleh :
a. Kekayaan
b. Kekuasaan
c. Kelahiran
d. Kelahiran dan prestise
e. Prestise dan kekayaan

6. Suatu proses stratifikasi yang membatasi kemungkinan pindahnya seseorang dari satu lapisan ke lapisan yang lain baik ke bawah maupun ke atas dinamakan…
a. Stratifikasi sosial
b. Open social Stratification
c. Closed sosial stratification
d. Sistem mobilitas sosial
e. Kelas masyarakat





7. Kedudukan seseorang dalam masyarakat tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan rohaniah dan kemampuan, keududukan tersebut diperoleh karena kelahiran disebut...
a. Assigned Status
b. Achieved Status
c. Status
d. Asscribed Status
e. Pernan sosial

8. Dasar dari inti lapisan masyarakat adalah tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban, kewajiban dan tanggungjawab nilai-nilai sosial pengaruhnya diantara anggota masyarakat merupakan inti lapisan sosil yang dikemukakan oleh :
a. Pitrim A. Sorokin
b. Emili Durkheim
c. Koentjaraningrat
d. Selo Soemardjan
e. Max Weber

9. Vilfredo Pareto, Gaetano Mosca, dan Robert Michels memberikan pengertian bahwa asas umum yang menjadi dasar bagi terbentuknya stratifikasi sosial, khususnya yang berkaitan dengan kekuasaan politik, adalah :
a. Kekuasaan politik tidak dapat didistribusikan secara merata
b. Kekuasaan politik dapat didistribusikan secara merata
c. Kekuasaan politik tidak dapat disampaikan secara menyeluruh
d. Kekuasaan politik dapat disampaikan secara menyeluruh
e. Kekuasaan politik dapat disampaikan secara merata

10. Di bawah ini merupakan faktor-faktor yang menyebabkan munculnya stratifikasi sosial dalam masyarakat, kecuali :
a. Adanya distribusi hak-hak istimewa dan wewenang
b. Prestise dan penghargaan
c. Faktor kebudayaan yang berbeda
d. Lambang-lambang kedudukan
e. Mudah atau sukarnya bertukar kedudukan

Senin, 11 April 2011

Peranan Antropologi dalam Pembangungan

PERAN SERTA ANTROPOLOGI DALAM MENGAKAJI MASALAH-MASALAH EKONOMI PEMBANGUNAN DI INDONESIA

Sebuah bibiliografi beranotasi yang memuat 2.493 judul karangan dan buku mengenai sekitar 40 masalah yang menyangkut pembangunan ekonomi, berjudul Development Change, susunan A.A Spitz (1967), sangat besar manfaatnya untuk memperoleh pandangan yang luas mengenai masalah-masalah ekonomi pembangunan, yang biasanya diperhatikan serta diteliti oleh para ahli ekonomi pembangunan dan ilmu-ilmu bantu lainnya. Bibiliografi itu juga menunjukkan peranan Antropologi dalam kajian masalah-masalah ekonomi pembangunan.
Adapun pendapat mengenai ruang lingkup ekonomi pembangunan yang seperti disebutkan oleh M. Bohnet dan H. Reichelt, dalam buku mereka, Apllied Research and Its Impact on Economic Development (1972). Mereka beranggapan bahwa ekonomi pembangunan, meliputi tidak kurang dari lima masalah untuk dikaji, yaitu : (1) masalah dualisme ekonomi yang ada antara ekonomi rakyat pedesaan dan ekonomi nasional berdasarkan perdagangan internasional, yang bertujuan mencapai taraf ekonomi industri; (2) masalah perdagangan internasional itu sendiri;(3) masalah strategi pembangunan ekonomi; (4) masalah manusia dari sikap mental manusia-manusia yang harus membangun ekonominya ; (5) konsepesi Marxisme dalam pembangunan nasional.
Antropologi dapat berperan serta dalam mengkaji masalah-masalah ekonomi pembangunan, keculai mungkin dalam masalah perdagangan internasional tepatnya pada butir (2) di atas, lebih-lebih kalau pembangunan nasional tidak hanya dikonsepsikan sebagai pembangunan ekonominya saja, tetapi juga sebagai pembangunan semesta yang menyangkut semua sektor kehidupan nasional, termasuk sektor kehidupan sosial, politik, agama dan budaya. Walaupun antropologi ekonomi pembangunan adalah ilmu terapan, dalam arti bahwa hasil kajiannya dapat segera dimanfaatkan oleh para perencana pembangunan untuk mengubah pengertian mereka mengenai masalah yang mereka hadapi, namun ilmu itu juga mempunyai aspek teori dan metodologi kajiannya.
Kemudian mengenai pembangunannya sendiri tentu juga ada masalah strategi atau kebijaksanaan pelaksanaannya, dan masalah mengenai sektor-sektor serta unsur-unsur apa yang ada dalam masyarakat yang akan dibangun, berikut masalah-masalah untuk dikaji antropologi ekonomi pembangunan (antropologi pembangunan) :


A. Masalah teori dan metodologi pembangunan
• Masalah dualisme ekonomi, atau kesenjangan antara ekonomi pedesaan dan ekonomi industri di Negara-negara yang sedang membangun.
• Masalah kesenjangan kemajuan sosial-budaya antara berbagai golongan sosial dan bagian-bagian tertentu dalam Negara-negara yang sedang membangun
• Masalah merangsang orientasi nilai budaya dan jiwa wiraswasta yang mendorong kemakmuran
• Masalah peranan agama dalam pembangunan.
B. Masalah kebijaksanaan pembangunan
• Aspek manusia dalam model-model perencanaan pembangunan
• Masalah arah pembangunan yang berbeda daripada arah pembangunan yang menuju ke masyarakat serupa masyarkat Eropa atau Amerika.
• Kajian antropologi mengenai pembangunan ekonomi Marxisme
• Aspek manusia dari pembangunan padat karya, atau pembangunan padat modal

C. Masalah sektor-sektor serta unsur-unsur yang dibangun dan akibat sosial budaya
• Masyarakat desa
• Penduduk (migrasi, urbanisasi, transmigrasi, dan KB)
• Lingkungan
• Kepemimpinan dalam pembangunan
• Perubahan sosial budaya akibat pembangunan
• Pendidikan sebagai masalah khusus dalam pembangunan
• Aspek manusia dalam reorganisasi administrasi dan pemerintahan
• Masyarakat majemuk dan integrasi nasional

Ke 16 masalah di atas dalam kenyataan kehidupan masyarakat tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan saling berkaitan. Masalah dualisme ekonomi misalnya, berkaitan dengan masalah orientasi nilai budaya dan jiwa kewirawastaan dalam pembangunan. Selanjutnya, masalah tersebut terakhir juga berkaitan dengan masalah manusia dalam model-model perencanaan pembangunan dan pembangunan padat karya, masalah pembangunan masyarakat desa, masalah perubahan sosial budaya akibat pembangunan, dan masalah pendidikan sebagai masalah khusus dalam pembangunan.
Masalah merangsang orientasi nilai budaya dan jiwa wiraswasta yang mendorong kemakmuran juga dapat kita perkirakan mempunyai kaitan-kaitan dengan masalah-masalah lain. Dalam hal ini antropologi terapan dapat menjalankan peranan yang penting. Penelitian yang terkenal mengenai masalah jiwa kewiraswastaan dalm pembangunan dilakukan oleh E. Hargen (1962) dan D.C Mc. Clelland (1961). Hagen menyarankan suatu teori umum mengenai aspek manusia dalam pembangunan, sedangkan McClelland, ahli psikologi, telah mengembangkan konsep mengenai hasrat kuat untuk mencapai kemajuan (achievement orientation) dalam mentalitas manusia sebagai dasar dari kemajuan masyarakat. McClelland juga meneliti masalah kuat lemahnya hasrat yang ada pada petani-petani di India, sedang ahli antropologi yang melakukan penelitian terhadap masalah yang sama adalah T.S Epstein (1962;1973).
Masalah peranan agama dalam pembangunan , menyangkut masalah aspek manusia dalam model-model perencanaan pembangunan, dan dengan sendirinya juga menyangkut serangkaian masalah lain. Kita mengetahui bahwa konsepsi mengenai peranan agama dalam pembangunan dikembangkan oleh ahli sosiologi Max Weber, dalam kajiannya yang terkenal mengenai pengaruh suatu agama yang bersifat puritan dan ketat, seperti agama Protestan Calvinis, pada pembentukan modal di Negara-negara Eropa Barat sejak abad ke-17. Antropologi pembangunan dapat juga mengambil peranan yang bermakna dalam penelitian-penelitian yang mengikuti konsepsi Max Weber, seperti penilaian yang dilaksanakan oleh C. Geertz di Jawa Timur dan Bali.
Masalah aspek manusia dalam model-model perencanaan pembangunan tentu berkaitan dengan masalah arah pembangunan yang berbeda daripada arah pembangunan yang menuju ke masyarakat serupa masyarakat Eropa Barat atau Amerika, Aspek manusia dari pembangunan padat karya, atau pembangunan padat modal, Masyarakat desa, Kepemimpinan dalam pembangunan, dan masalah Perubahan sosial budaya akibat pembangunan. Model pambangunan dalam rencana pembangunan nasional di berbagai Negara yang baru berkembang agaknya dikonsepsikan oleh ahli sejarah ekonomi W.W Rostow, yang ditulisnya dalam bukunya yang terkenal, Stages of Economic Growth (1961). Model itu mengkonsepsikan pembangunan ekonomi sebagai suatu proses yang berlangsung melalui lima tahap pertumbuhan, yang dikiaskannya ibarat sebuah pesawat terbang yang akan mulai terbang, yaitu 1) tahap traditional society, atau masyarakat tradisional, dimana pembangunan ekonomi diasumsikan akan dimulai ; 2) tahap preconditions for take-off, yakni tahap dimana masyarakat tradisional tadi mempersiapkan diri (melakukan ancang-ancang) untuk terbang, jadi untuk memasuki tahap industrialisasi, 3) tahap teke-off, tahap dimana semua faktor ekonomi sudah cukup kuat bagi ekonominya untuk tumbuh sendiri ; 4) tahap drive to maturity, atau tahap dimana ekonomi itu sudah mampu untuk berkembang menjadi makmur atas kekuatannya sendiri ; dan 5) tahap age of mass-consumption atau tahap dimana rakyat banyak telah menikmati hasil produksi massanya sendiri.
Terutama pada tahap 1 dan 2 di atas, terdapat banyak masalah untuk diteliti dengan pendekatan antropologi. Dalam tahap 1 segala macam hambatan berupa adat istiadat dan sikap mental yang kolot, pranata-pranata sosial dan unsur-unsur kebudayaan tradisional, harus digeser atau disesuaikan dengan keperluan hidup dalam masyarakat masa kini. Sementara itu tahap 2 mulai dilakukan, dimana hasil surplus produksi pertanian yang meningkat harus dapat dialihkan ke tangan golongan-golongan sosial yang memiliki kemampuan untuk mengubah surplus tadi menjadi modal kerja untuk membangun dengan menginvestasikan secara berhasil guna dan berdaya guna ke dalam usaha-usaha nonpertanian, sehingga diperoleh modal yang lebih besar lagi.
Golongan sosial yang mampu mengubah surplus produksi pertanian menjadi modal kerja untuk pembangunan usaha-usaha non pertanian adalah golongan sosial yang warganya terdiri dari banyak orang dengan sikap mental berwiraswasta yang bergerak dalam bidang perdagangan, jasa komuniksi, dan industri. Penelitian untuk mendapat lebih banyak pengertian mengenai hambatan dan dorongan yang memperlambat atau mempercepat proses pergeseran itu, dapat dilakukan dengan pendekatan antropologi.
Dalam berbagai masalah khusus yang menyangkut proses penggeseran dan penyesuaian dalam adat-istiadat dan sikap mental kolot, dan pranata-pranata sosial serta unsur-unsur kebudayaan tradisional dengan kehidupan masa kini, memang telah sangat banyak dilakukan penelitian antropologi, sering kali berupa kerjasama interdisiplin dengan para ahli psikologi, sosiologi, ilmu politik, dan ilmu-ilmu sosial lain. Contoh dari masalah khusus tadi adalah misalnya cara untuk menumbuhkan suatu sikap mental pada warga masyarakat tradisional untuk hidup hemat. Untuk dapat melakukannya, para perancang pembangunan perlu mengetahui arti dan sebab-sebab mengapa seseorang dianggap tidak hemat dalam kenyataan hidup masyarakat tradisional. Masalah serupa ini hanya dapat dipahami dengan penelitian pendekatan antropologi.
Masalah aspek manusia dari pembangunan padat karya, atau pembangunan padat modal, jelas merupakan masalah yang layak pula untuk diteliti dengan pendekatan antropologi ekonomi. Beberapa ahli antropologi malahan telah memperlihatkan bahwa asumsi dari berbagai ahli ekonomi pembangunan mengenai adanya kelebihan tenaga kerja tetapi kekurangan modal dalam masyarakat yang berada pada tahap persiapan untuk pembangunan tidak selamanya benar. R. Firth telah menunjukkan bahwa di Tikopea atau di Malaysia tenaga kerja malah kurang. Demikian juga D. Pitt menguraikan bahwa masyarakat Samoa yang mulai melakukan pembangunan ekonomi juga sangat kekurangan tenaga kerja (Pitt, 1970). Ahli antropologi H.K Schneider juga menunjukan bahwa dalam masyarakat tradisional di Negara-negara baru yang sedang mulai berkembang di Afrika Timur dan Selatan, masalahnya bukanlah kekurangan modal, karena modal dalam bentuk ternak terdapat dalam jumlah yang melimpah. Untuk dapat mengubah sistem peternakan tradisional menjadi peternakan modern, masalahnya disana adalah tenaga, yang jumlahnya sangat sedikit.
Masalah pembangunan masyarakat desa, sudah sejak zamannya pemerintah-pemerintah colonial dipermasalahkan dalam ilmu-ilmu sosial terapat, termasuk antropologi terapan. Pada zaman itu sektor-sektor masyarakat desa yang dibangun oleh pemerintah jajahan adalah sektor produksi pertanian, termasuk pembangunan prasarana jalan dan irigasi, pembangunan kesehatan rakyat, dan penyediaan kredit untuk rakyat, guna meningkatkan produksi pertanian mereka. Sesudah Perang Dunia II, pembangunan masyarakat desa pada umumnya merupakan program yang khas, yang tidak ketinggalan dalam setiap rencana pembangunan nasional. Sektor-sektor dan unsur-unsur yang dibangun biasanya juga lebih banyak dan lebih luas sifatnya, daripada dalam upaya pembangunan masyarakat desa di zaman colonial. Seperti apa yang tertulis dalam buku E.R Batten, Communities and Their Development (1957), pembangunan masyarakat desa dalam Negara-negara baru yang sedang berkembang meliputi upaya peningkatan produksi pertanian dengan bibit unggul, penigkatan teknologi pemupukan dan pemberantasan hama, serta perbaikan sistem irigasi, upaya untuk melakukan perbaikan prasarana jaringan jalan dan lingkungan, upaya penyempurnaan administrasi desa, upaya untuk mengembangkan gerakan koperasi, penyempurnaan sistem pendidikan umum dan pendidikan, agama, dan peningkatan kesehatan masyarakat. Melihat sektor-sektor dan unsur-unsur khusus tersebut, maka jelas bahwa hampir semua cabang spesialisasi antropologi dapat bermanfaat dalam penelitian – penelitian untuk pembangunan masyarakat desa, seperti diuraikan oleh W. Goodenough dalam Cooperation in Change (1936) pada dasarnya merupakan upaya untuk mengubah adat istiadat, kepercayaan, sikap mental, orientasi nilai budaya penduduk, jadi berkaitan erat dengan masalah merangsang orientasi nilai budaya dan jiwa wiraswasta yang mendorong kemakmuran, maka penelitian terhadap masalah-masalah itu memang hanya dapat dilaksanakan dengan baik oleh para ahli antropologi. Kecuali itu upaya pembangunan masyarakat desa juga erat kaitannya dengan masalah Penduduk (migrasi, urbanisasi, transmigrasi, dan KB, lingkungan, kepemimpinan dalam pembangunan, perubahan sosial budaya akibat pembangunan, dan pendidikan sebagai masalah khusus dalam pembangunan.












Kedudukan Antropologi dalam Pembangunan Indonesia
Apabila kita perhatikan peranan antropologi dalam rangka semua masalah pembangunan terurai di atas, maka tampak bahwa peranannya yang utama adalah dalam hal penelitian terhadap masalah-masalah itu, guna membantu perencanaan pembangunan yang biasanya dilaksanakan bersama oleh para ahli dalam berbagai disiplin ilmiah, oleh para pelaksana pembangunan yang bekerja dalam badan-badan perencanaan nasional atau daerah. Di banyak Negara, penelitian untuk perencanaan pembangunan biasanya dilakukan oleh Universitas atau lembaga penelitian Negara dan swasta.
Sebelum suatu rencana pembangunan yang biasanya berwujud sebuah naskah resmi yang terdiri dari beberapa jilid, diserahkan kepada pemerintah untuk dilaksakan, rencana itu dibahas terlebih dahulu di Dewan Perwakilan Rakyat Nasional atau oleh Dewan Perwakilan Daerah, oleh golongan-golongan politik. Dalam taraf ini bukan kualitas ilmiahnya yang menentukan wujud dari rencana pembangunanny, tetapi nilai politiknya, dan para wakil kekuatan-kekuatan politik itulah yang mengadakan perubahan-perubahan, pengurangan, atau penambahan terhadap naskah tadi.
Pada tahap berikutnya, naskah yang telah mengalami perubahan itu diserahkan kepada pemerintah untuk dilaksanakan oleh departemen-departemen yang bersangkutan. Bab dalam rencana yang menyangkut pembangunan prasarana fisik diserahkan kepada Departemen Pekerjaan Umum; bab mengenai pembangunan pertanian kepada Departemen Pertanian; bab mengenai pembangunan kesehatan rakyat kepada Departemen Kesehatan; bab mengenai pembangunan agama kepada Departemen Agama, dan sebagainya, sedang pelaksanaan program-program untuk meningkatkan integrasidan persatuan nasional tentu menjadi tugas Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Pada taraf pelaksanaan pembangunan nasional, kegiatan penelitian perlu diadakan lagi. Sebelum suatu proyek pembangunan dilaksanakan secara konkret di suatu lokasi tertentu, misalnya untuk mendirikan sebuah pabrik pemerasan dan pengalengan kelapa sawit perlu diadakan penelitian kelayakan, untuk mengetahui apakah lokasinya layak dan cocok dipandang dari sudut kesiapan prasarana fisiknya, jaraknya dari pusat sumber energi, sarana transportasi, pelabuhan dan sebagainya; tetapi perlu diteliti pula keadaan sosialnya, seperti keadaan lingkungan sosialnya sebagai sumber tenaga kerja, mutu tenaga kerjanya, sikap penduduk terhadap kemajuan, dan sebagainya. Terutama mengenai soal-soal tersebut tersebut terakhir ini, antropologi dapat melakukan penelitian yang bermakna.
Pada taraf sewaktu proyek pembangunan itu telah berjalan, perlu diadakan penelitian mengenai akibat sosial dari pembangunan suatu industri, yaitu perubahan sosial budaya yang positif, dan akibat-akibat sampingannya yang negative, sepertin terjadinya pencemaran alam atau ketegangan-ketegangan etnik antara angkatan kerja industri itu atau angkatan kerja pendatang dan penduduk asli, yang sering kali berlatar belakang kebudayaan yang berbeda. Dalam soal-soal tersebut ilmu antropologi mampu melakukan penelitian yang bermakna. Sebenarnya apabila kita perhatikan bahwa peranan antropologi dalam pembangunan terutama berada dalam penelitian masalah-masalah pembangunan, maka menurut nalar tidak ada perbedaan antara antropologi dan antropologi pembangunan, atau antara antropologi dan antropologi terapan, karena semua hasil penelitian antropologi umum maupun bidang-bidang antropologi spesialisasi dapat digunakan untuk menambah data dan pengertian yang perlu untuk penyempurnaan pembangunan yang direncanakan dan dilaksanakan orang lain.
Lebih relevan untuk pembangunan adalah misalnya hasil penelitian antropologi terhadap beragam adat-istiadat dan pola makan dalam kebudayaan berbagai suku-suku bangsa yang hidup di Indonesia. Topik penelitian antardisiplin antropologi dan ilmu gizi yang dilakukan secara nasional oleh Departemen kesehatan dalam tahun 1985-1986 ini bersifat terapan, karena hasilnya dapat langsung dimanfaatkan untuk perencanaan program peningkatan gizi makanan rakyat Indonesia dan program mendiversifikasi makanan rakyat dalam Replita IV.
Contoh penelitian antropologi dengan hasil yang paling relevan bagi pembangunan adalah peneletian untuk mengetahui dari desa-desa mana orang pedalaman Irian yang sekarang tinggal di pantai itu berasal, jalan-jalan setapak dan sungai-sungai mana yang dulu mereka lalui, dan dimanakah mereka berkemah dalam perjalanan mereka ke daerah pantai. Keterangan semacam itu dapat dipergunakan secara langsung untuk merencanakan pembangunan sisitem komunikasi rakyat di Irian Jaya.
Dengan singkat, secara teori dan metodologi perbedaan antara antropologi dan antropologi terapan (atau antropologi pembangunan) sebenarnya tidak ada. Topic penelitiannya saja yang membuat suatu penelitian antropologi kelihatan lebih bersifat terapan daripada lainnya, karena yang satu bersifat kurang relevan, sedang yang lain lebih relevan untuk upaya perencanaan pembangunan yang mendesak.

Sumber :
Koentjaraningrat. Sejarah Teori AntropologiII.1990.Jakarta: Universitas Indonesia
www.google.com (peranan antropologi dalam ekonomi pembangunan Indonesia)