Minggu, 09 Oktober 2011

Pola pengasuhan anak dan struktur kepribadian

Jenis Pola Asuh Orangtua Pada Anak
Setiap orang umumnya akan menikah dan memiliki anak. Anak adalah titipan Tuhan yang harus kita jaga dan kita didik sedemikian rupa agar setelah mereka besar dapat menjadi orang yang berguna bagi masyarakat, bangsa dan negara serta dapat membahagiakan dan membanggakan orang tua yang telah susah payah membesarkannya dengan cinta dan kasih sayang.
Masalah yang selalu dikeluhkan orang tua tentang anak mereka seakan-akan tidak pernah berakhir. Taraf pertumbuhan dan perkembangan telah menjadikan perubahan pada diri anak. Perubahan perilaku tidak akan menjadi masalah bagi orang tua apabila anak tidak menunjukkan tanda penyimpangan. Akan tetapi, apabila anak telah menunjukkan tanda yang mengarah ke hal negatif akan membuat cemas bagi sebagian orang tua.
Menurut Al-Istambuli (2002), “Kecemasan orang tua disebabkan oleh timbulnya perbuatan negatif anak yang dapat merugikan masa depannya.” Kekhawatiran orang tua ini cukup beralasan sebab anak kemungkinan akan berbuat apa saja tanpa berpikir resiko yang akan ditanggungnya. Biasanya penyesalan baru datang setelah anak menanggung segala resiko atas perbuatannya. Keadaan ini tentu akan mengancam masa si anak sendiri.
Menurut Clemes (2001) bahwa “terjadinya penyimpangan perilaku anak disebabkan kurangnya ketergantungan antara anak dengan orang tua.” Hal ini terjadi karena antara anak dan orang tua tidak pernah sama dalam segala hal. Ketergantungan anak kepada orang tua ini dapat terlihat dari keinginan anak untuk memperoleh perlindungan, dukungan, dan asuhan dari orang tua dalam segala aspek kehidupan. Selain itu, anak yang menjadi “masalah” kemungkinan terjadi akibat dari tidak berfungsinya sistem sosial di lingkungan tempat tinggalnya. Dengan kata lain perilaku anak merupakan reaksi atas perlakuan lingkungan terhadap dirinya.
Penanganan terhadap perilaku anak yang menyimpang merupakan pekerjaan yang memerlukan pengetahuan khusus tentang ilmu jiwa dan pendidikan. Orang tua dapat saja menerapkan berbagai pola asuh yang dapat diterapkan dalam kehidupan keluarga. Apabila pola-pola yang diterapkan orang tua keliru, maka yang akan terjadi bukannya perilaku yang baik, bahkan akan mempertambah buruk perilaku anak.

A. Tipe-Tipe Pola Asuh Orang Tua Kepada Anak :
1. Pola Asuh Permisif
Pola asuh permisif adalah jenis pola mengasuh anak yang cuek terhadap anak. Jadi apa pun yang mau dilakukan anak diperbolehkan seperti tidak sekolah, bandal, melakukan banyak kegiatan maksiat, pergaulan bebas negatif, matrialistis, dan sebagainya. Biasanya pola pengasuhan anak oleh orangtua semacam ini diakibatkan oleh orangtua yang terlalu sibuk dengan pekerjaan, kesibukan atau urusan lain yang akhirnya lupa untuk mendidik dan mengasuh anak dengan baik. Dengan begitu anak hanya diberi materi atau harta saja dan terserah anak itu mau tumbuh dan berkembang menjadi apa.
Anak yang diasuh orangtuanya dengan metode semacam ini nantinya bisa berkembang menjadi anak yang kurang perhatian, merasa tidak berarti, rendah diri, nakal, memiliki kemampuan sosialisasi yang buruk, kontrol diri buruk, salah bergaul, kurang menghargai orang lain, dan lain sebagainya baik ketika kecil maupun sudah dewasa.
2. Pola Asuh Otoriter
Pola asuh otoriter adalah pola pengasuhan anak yang bersifat pemaksaan, keras dan kaku di mana orangtua akan membuat berbagai aturan yang harus dipatuhi oleh anak-anaknya tanpa mau tahu perasaan sang anak. Orang tua akan emosi dan marah jika anak melakukan hal yang tidak sesuai dengan yang diinginkan oleh orang tuanya. Hukuman mental dan fisik akan sering diterima oleh anak-anak dengan alasan agar anak terus tetap patuh dan disiplin serta menghormati orang-tua yang telah membesarkannya. Anak yang besar dengan teknik asuhan anak seperti ini biasanya tidak bahagia, paranoid / selalu berada dalam ketakutan, mudah sedih dan tertekan, senang berada di luar rumah, benci orangtua, dan lain-lain. Namun di balik itu biasanya anak hasil didikan orangtua yang otoriter lebih bisa mandiri, bisa menjadi orang sesuai keinginan orang tua, lebih disiplin dan lebih bertanggungjawab dalam menjalani hidup.
3. Pola Asuh Otoritatif
Pola asuh otoritatif adalah pola asuh orangtua pada anak yang memberi kebebasan pada anak untuk berkreasi dan mengeksplorasi berbagai hal sesuai dengan kemampuan anak dengan sensor batasan dan pengawasan yang baik dari orangtua. Pola asuh ini adalah pola asuh yang cocok dan baik untuk diterapkan para orangtua kepada anak-anaknya. Anak yang diasuh dengan tehnik asuhan otoritatif akan hidup ceria, menyenangkan, kreatif, cerdas, percaya diri, terbuka pada orangtua, menghargai dan menghormati orangtua, tidak mudah stres dan depresi, berprestasi baik, disukai lingkungan dan masyarakat dan lain-lain.
B. Beberapa Tips Cara Mendidik Anak Yang Baik :
1. Baik ibu dan ayah harus kompak memilih pola asuh yang akan diterapkan kepada anak. Jangan plin-plan dan berubah-ubah agar anak tidak menjadi bingung.
2. Jadilah orangtua yang pantas diteladani anak dengan mencontohkan hal-hal positif dalam kehidupan sehari-hari. Jangan sampai anak dipaksa melakukan hal baik yang orangtuanya tidak mau melakukannya. Anak nantinya akan menghormati dan menghargai orang tuanya sehingga setelah dewasa akan menyayangi orangtua dan anggota keluarga yang lain.
3. Sesuaikan pola asuh dengan situasi, kondisi, kemampuan dan kebutuhan anak. Polas asuh anak balita tentu akan berbeda dengan pola asuh anak remaja. Jangan mendidik anak dengan biaya yang tidak mampu ditalangi orangtuanya. Usahakan anak mudah paham dengan apa yang kita inginkan tanpa merasa ada paksaan, namun atas dasar kesadaran diri sendiri.
4. Kedisiplinan tetap harus diutamakan dalam membimbing anak sejak mulai kecil hingga dewasa agar anak dapat mandiri dan dihormati serta diharga masyarakat. Hal-hal kecil seperti bangun tidur tepat waktu, membantu pekerjaan rumah tangga orangtua, belajar dengan rajin, merupakan salah satu bentuk pengajaran kedisiplinan dan tanggungjawab pada anak.
5. Kedepankan dan tanamkan sejak dini agama dan moral yang baik pada anak agar kedepannya dapat menjadi orang yang saleh dan memiliki sikap dan perilaku yang baik dan agamis. Anak yang shaleh akan selalu mendoakan orangtua yang telah melahirkan dan membesarkannya walaupun orangtuanya telah meninggal dunia.
6. Komunikasi dilakukan secara terbuka dan menyenangkan dengan batasan-batasan tertentu agar anak terbiasa terbuka pada orangtua ketika ada hal yang ingin disampaikan atau hal yang mengganggu pikirannya. Jika marah sebaiknya orangtua menggunakan ungkapan yang baik dan tidak langsung yang dapat dipahami anak agar anak tidak lantas menjadi tertutup dan menganggap orangtua tidak menyenangkan.
7. Hindari tindakan negatif pada anak seperti memarahi anak tanpa sebab, menyuruh anak seenaknya seperti pembantu tanpa batas, menjatuhkan mental anak, merokok, malas beribadah, menbodoh-bodohi anak, sering berbohong pada anak, membawa pulang stres dari kantor, memberi makan dari uang haram pada anak, enggan mengurus anak, terlalu sibuk dengan pekerjaan dan lain sebagainya.
Menurut Prayitno (2004) “Sumber-sumber permasalahan pada diri siswa banyak terletak di luar sekolah.” Hal ini disebabkan oleh anak lebih lama berada di rumah daripada di sekolah. Karena anak lebih lama berada di rumah, orangtualah yang selalu mendidik dan mengasuh anak tersebut. Dalam mengasuh anak orang tua bukan hanya mampu mengkomunikasikan fakta, gagasan, dan pengetahuan saja, melainkan membantu menumbuh-kembangkan kepribadian anak (Riyanto, 2002). Pendapat tersebut merujuk pada teori Humanistik yang menitikberatkan pendidikan bertumpu pada peserta didik. Artinya anak perlu mendapat perhatian dalam membangun sistem pendidikan. Apabila anak telah menunjukkan gejala-gejala yang kurang baik, berarti mereka sudah tidak menunjukkan niat belajar yang sesungguhnya. Kalau gejala ini dibiarkan terus akan menjadi masalah di dalam mencapai keberhasilan belajarnya.
Melalui orang tua, anak beradaptasi dengan lingkungannya dan mengenal dunia sekitarnya serta pola pergaulan hidup yang berlaku di lingkungannya. Ini disebabkan oleh orang tua merupakan dasar pertama bagi pembentukan pribadi anak. Bentuk-bentuk pola asuh orang tua sangat erat hubungannya dengan kepribadian anak setelah ia menjadi dewasa. Hal ini dikarenakan ciri-ciri dan unsur-unsur watak seorang individu dewasa sebenarnya sudah diletakkan benih-benihnya ke dalam jiwa seorang individu sejak sangat awal, yaitu pada masa ia masih kanak-kanak. Watak juga ditentukan oleh cara-cara ia waktu kecil diajar makan, diajar kebersihan, disiplin, diajar main dan bergaul dengan anak lain dan sebagainya (Koentjaraningrat, 1997). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pola asuh yang diterapkan oleh orang tua sangat dominan dalam membentuk kepribadian anak sejak dari kecil sampai anak menjadi dewasa.
Di dalam mengasuh anak terkandung pula pendidikan, sopan santun, membentuk latihan-latihan tanggung jawab dan sebagainya. Di sini peranan orang tua sangat penting, karena secara langsung ataupun tidak orangtua melalui tindakannya akan membentuk watak anak dan menentukan sikap anak serta tindakannya di kemudian hari. Masing-masing orang tua tentu saja memiliki pola asuh tersendiri dalam mengarahkan perilaku anak. Hal ini sangat dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan orang tua, mata pencaharian hidup, keadaan sosial ekonomi, adat istiadat, dan sebagainya. Dengan kata lain, pola asuh orangtua petani tidak sama dengan pola asuh orangtua pedagang. Demikian pula pola asuh orang tua berpendidikan rendah berbeda dengan pola asuh orang tua yang berpendidikan tinggi. Ada yang menerapkan dengan pola yang keras/kejam, kasar, dan tidak berperasaan. Namun, ada pula yang memakai pola lemah lembut, dan kasih sayang. Ada pula yang memakai sistem militer, yang apabila anaknya bersalah akan langsung diberi hukuman dan tindakan tegas (pola otoriter). Bermacam-macam pola asuh yang diterapkan orang tua ini sangat bergantung pada bentuk-bentuk penyimpangan perilaku anak.
Orang tua dapat memilih pola asuh yang tepat dan ideal bagi anaknya. Orang tua yang salah menerapkan pola asuh akan membawa akibat buruk bagi perkembangan jiwa anak. Tentu saja penerapan orang tua diharapkan dapat menerapkan pola asuh yang bijaksana atau menerapkan pola asuh yang setidak-tidaknya tidak membawa kehancuran atau merusak jiwa dan watak seorang anak.
Struktur Dasar Kepribadian
1. Pengertian Kepribadian
Kepribadian menunjuk pada pengaturan sikap-sikap seseorang untuk berbuat, berpikir, dan merasakan, khususnya apabila dia berhubungan dengan orang lain atau menanggapi suatu keadaan. Kepribadian mencakup kebiasaan, sikap, dan sifat yang dimiliki seseorang apabila berhubungan dengan orang lain. Konsep kepribadian merupakan konsep yang sangat luas, sehingga sulit untuk merumuskan satu definisi yang dapat mencakup keseluruhannya. Oleh karena itu, pengertian dari satu ahli dengan yang lainnya pun juga berbeda-beda. Namun demikian, definisi yang berbeda-beda tersebut saling melengkapi dan memperkaya pemahaman kita tentang konsep kepribadian.
Secara umum yang dimaksud kepribadian adalah sifat hakiki yang tercermin pada sikap seseorang yang membedakan dengan orang lain. Untuk memahami lebih jauh mengenai pengertian kepribadian, berikut ini ada beberapa definisi kepribadian yang dipaparkan oleh beberapa ahli.
a). M.A.W. Brower
Kepribadian adalah corak tingkah laku sosial yang meliputi corak kekuatan, dorongan, keinginan, opini, dan sikap-sikap seseorang.
b). Koentjaraningrat
Kepribadian adalah suatu susunan dari unsur-unsur akal dan jiwa yang menentukan tingkah laku atau tindakan seseorang.
c). Theodore R. Newcomb
Kepribadian adalah organisasi sikap-sikap yang dimiliki seseorang sebagai latar belakang terhadap perilaku.
d). Yinger
Kepribadian adalah keseluruhan perilaku dari seorang individu dengan sistem kecenderungan tertentu yang berinteraksi dengan serangkaian situasi.
e). Roucek dan Warren
Kepribadian adalah organisasi faktor-faktor biologis, psikologis, dan sosiologis yang mendasari perilaku seseorang.
Dari pengertian yang diungkapkan oleh para ahli di atas, dapat kita simpulkan secara sederhana bahwa yang dimaksud kepribadian ( personality ) merupakan ciri-ciri dan sifat-sifat khas yang mewakili sikap atau tabiat seseorang, yang mencakup pola-pola pemikiran dan perasaan, konsep diri, perangai, dan mentalitas yang umumnya sejalan dengan kebiasaan umum.
2. Unsur-Unsur dalam Kepribadian
Kepribadian seseorang bersifat unik dan tidak ada duanya. Ada beberapa unsur-unsur yang mempengaruhi kepribadian seseorang, seperti:
a). Pengetahuan
Pengetahuan seseorang bersumber dari pola pikir yang rasional, yang berisi fantasi, pemahaman, dan pengalaman mengenai bermacam-macam hal yang diperolehnya dari lingkungan yang ada di sekitarnya. Semua itu direkam dalam otak dan sedikit demi sedikit diungkapkan dalam bentuk perilakunya di masyarakat.
b). Perasaan
Perasaan merupakan suatu keadaan dalam kesadaran manusia yang menghasilkan penilaian positif atau negatif terhadap sesuatu atau peristiwa tertentu. Perasaan selalu bersifat subjektif, sehingga penilaian seseorang terhadap suatu hal atau kejadian akan berbeda dengan penilaian orang lain. Contohnya penilaian terhadap jam pelajaran yang kosong. Mungkin ada menganggap sebagai hal yang tidak menyenangkan karena merasa rugi tidak memperoleh pelajaransementara itu ada juga yang menganggap sebagai hal yang menyenangkan.
c). Dorongan Naluri
Dorongan naluri merupakan kemauan yang sudah menjadi naluri setiap manusia. Hal itu dimaksudkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup manusia, baik yang bersifat rohaniah maupun jasmaniah. Ada beberapa macam dorongan naluri, seperti: untuk mempertahankan hidup, seksual, mencari makan, bergaul dan berinteraksi dengan sesama manusia, meniru tingkah laku sesamanya, berbakti, serta keindahan bentuk, warna, suara, dan gerak.
3. Faktor-Faktor yang Membentuk Kepribadian
a). Warisan Biologis (Heredity)
Warisan biologis memengaruhi kehidupan manusia dan setiap manusia mempunyai warisan biologis yang unik, berbeda dari orang lain. Artinya tidak ada seorang pun di dunia ini yang mempunyai karakteristik fisik yang sama persis dengan orang lain, bahkan anak kembar sekalipun. Faktor keturunan berpengaruh terhadap keramah-tamahan, perilaku kompulsif (terpaksa dilakukan), dan kemudahan dalam membentuk kepemimpinan, pengendalian diri, dorongan hati, sikap, dan minat. Warisan biologis yang terpenting terletak pada perbedaan intelegensi dan kematangan biologis. Keadaan ini membawa pengaruh pada kepribadian seseorang. Tetapi banyak ilmuwan berpendapat bahwa perkembangan potensi warisan biologis dipengaruhi oleh pengalaman sosial seseorang. Bakat memerlukan anjuran, pengajaran, dan latihan untuk mengembangkan diri melalui kehidupan bersama dengan manusia lainnya.
b). Warisan Lingkungan Alam (Natural Environment)
Perbedaan iklim, topografi, dan sumber daya alam menyebabkan manusia harus menyesuaikan diri terhadap alam. Melalui penyesuaian diri itu, dengan sendirinya pola perilaku masyarakat dan kebudayaannyapun dipengaruhi oleh alam. Misalnya orang yang hidup di pinggir pantai dengan mata pencaharian sebagai nelayan mempunyai kepribadian yang berbeda dengan orang yang tinggal di daerah pertanian. Mereka memiliki nada bicara yang lebih keras daripada orang-orang yang tinggal di daerah pertanian, karena harus menyamai dengan debur suara ombak. Hal itu terbawa dalam kehidupan sehari-hari dan telah menjadi kepribadiannya.


c). Warisan Sosial (Social Heritage) atau Kebudayaan
Manusia, alam, dan kebudayaan mempunyai hubungan yang sangat erat dan saling memengaruhi. Manusia berusaha untuk mengubah alam agar sesuai dengan kebudayaannya guna memenuhi kebutuhan hidup. Misalnya manusia membuka hutan untuk dijadikan lahan pertanian. Sementara itu kebudayaan memberikan andil yang besar dalam memberikan warna kepribadian anggota masyarakatnya.
d). Pengalaman Kelompok Manusia (Group Experiences)
Kehidupan manusia dipengaruhi oleh kelompoknya. Kelompok manusia, sadar atau tidak sadar telah mempengaruhi anggota-anggotanya, dan para anggotanya menyesuaikan diri terhadap kelompoknya. Setiap kelompok mewariskan pengalaman khas yang tidak diberikan oleh kelompok lain kepada anggotanya, sehingga timbullah kepribadian khas anggota masyarakat tersebut.
e). Pengalaman Unik ( Unique Experience )
Setiap orang mempunyai kepribadian yang berbeda dengan orang lain, walaupun orang itu berasal dari keluarga yang sama, dibesarkan dalam kebudayaan yang sama, serta mempunyai lingkungan fisik yang sama pula. Walaupun mereka pernah mendapatkan pengalaman yang serupa dalam beberapa hal, namun berbeda dalam beberapa hal lainnya. Mengingat pengalaman setiap orang adalah unik dan tidak ada pengalaman siapapun yang secara sempurna menyamainya. Menurut Paul B. Horton, pengalaman tidaklah sekedar bertambah, akan tetapi menyatu. Pengalaman yang telah dilewati memberikan warna tersendiri dalam kepribadian dan menyatu dalam kepribadian itu, setelah itu baru hadir pengalaman berikutnya.
Selain kelima faktor pembentuk kepribadian yang telah kita bahas di atas, F.G. Robbins dalam Sumadi Suryabrata (2003), mengemukakan ada lima faktor yang menjadi dasar kepribadian, yaitu:
a). Sifat Dasar
Sifat dasar merupakan keseluruhan potensi yang dimiliki seseorang yang diwarisi dari ayah dan ibunya. Dalam hal ini, Robbins lebih menekankan pada sifat biologis yang merupakan salah satu hal yang diwariskan dari orang tua kepada anaknya.

b). Lingkungan Prenatal
Lingkungan prenatal merupakan lingkungan dalam kandungan ibu. Pada periode ini individu mendapatkan pengaruh tidak langsung dari ibu. Maka dari itu, kondisi ibu sangat menentukan kondisi bayi yang ada dalam kandungannya tersebut, baik secara fisik maupun secara psikis. Banyak peristiwa yang sudah ada membuktikan bahwa seorang ibu yang pada waktu mengandung mengalami tekanan psikis yang begitu hebatnya, biasanya pada saat proses kelahiran bayi ada gangguan atau dapat dikatakan tidak lancar.
c). Perbedaan Individual
Perbedaan individu merupakan salah satu faktor yang memengaruhi proses sosialisasi sejak lahir. Anak tumbuh dan berkembang sebagai individu yang unik, berbeda dengan individu lainnya, dan bersikap selektif terhadap pengaruh dari lingkungan.
d). Lingkungan
Lingkungan meliputi segala kondisi yang ada di sekeliling individu yang memengaruhi proses sosialisasinya. Proses sosialisasi individu tersebut akan berpengaruh pada kepribadiannya.
e). Motivasi
Motivasi adalah dorongan-dorongan, baik yang datang dari dalam maupun luar individu sehingga menggerakkan individu untuk berbuat atau melakukan sesuatu. Dorongandorongan inilah yang akan membentuk kepribadian individu sebagai warna dalam kehidupan bermasyarakat.
4. Teori-Teori Perkembangan Kepribadian
Ada beberapa teori yang membahas mengenai perkembangan kepribadian dalam proses sosialisasi. Teori-teori tersebut antara lain:
a). Teori Tabula Rasa
Pada tahun 1690, John Locke mengemukakan Teori Tabula Rasa dalam bukunya yang berjudul " An Essay Concerning Human Understanding." Menurut teori ini, manusia yang baru lahir seperti batu tulis yang bersih dan akan menjadi seperti apa kepribadian seseorang ditentukan oleh pengalaman yang didapatkannya. Teori ini mengandaikan bahwa semua individu pada waktu lahir mempunyai potensi kepribadian yang sama. Kepribadian seseorang setelah itu semata-mata hasil pengalaman-pengalaman sesudah lahir (Haviland, 1989:398). Perbedaan pengalaman yang dialami seseorang itulah yang menyebabkan adanya bermacam-macam kepribadian dan adanya perbedaan kepribadian antara individu yang satu dengan individu yang lain.
Teori tersebut tidak dapat diterima seluruhnya. Kita tahu bahwa setiap orang memiliki kecenderungan khas sebagai warisan yang dibawanya sejak lahir yang akan memengaruhi kepribadiannya pada waktu dewasa. Akan tetapi juga harus diingat bahwa warisan genetik hanya menentukan potensi kepribadian setiap orang. Tumbuh dan berkembangnya potensi itu tidak seperti garis lurus, namun ada kemungkinan terjadi penyimpangan. Kepribadian seseorang tidak selalu berkembang sesuai dengan potensi yang diwarisinya. Warisan genetik itu memang memengaruhi kepribadian, tetapi tidak mutlak menentukan sifat kepribadian seseorang. Pengalaman hidup, khususnya pengalaman-pengalaman yang diperoleh pada usia dini, sangat menentukan kepribadian individu.
b). Teori Cermin Diri
Teori Cermin Diri (The Looking Glass Self) ini dikemukakan oleh Charles H. Cooley. Teori ini merupakan gambaran bahwa seseorang hanya bisa berkembang dengan bantuan orang lain. Setiap orang menggambarkan diri mereka sendiri dengan cara bagaimana orang-orang lain memandang mereka. Misalnya ada orang tua dan keluarga yang mengatakan bahwa anak gadisnya cantik. Jika hal itu sering diulang secara konsisten oleh orang-orang yang berbedabeda, akhirnya gadis tersebut akan merasa dan bertindak seperti seorang yang cantik. Teori ini didasarkan pada analogi dengan cara bercermin dan mengumpamakan gambar yang tampak pada cermin tersebut sebagai gambaran diri kita yang terlihat orang lain.
Gambaran diri seseorang tidak selalu berkaitan dengan fakta-fakta objektif. Misalnya, seorang gadis yang sebenarnya cantik, tetapi tidak pernah merasa yakin bahwa dia cantik, karena mulai dari awal hidupnya selalu diperlakukan orang tuanya sebagai anak yang tidak menarik. Jadi, melalui tanggapan orang lainlah, seseorang ditentukan apakah dia cantik atau jelek, hebat atau bodoh, dermawan atau pelit, dan yang lainnya. Ada tiga langkah dalam proses pembentukan cermin diri.
1) Imajinasi tentang pandangan orang lain terhadap diri seseorang, seperti bagaimana pakaian atau tingkah lakunya di mata orang lain.
2) Imajinasi terhadap penilaian orang lain tentang apa yang terdapat pada diri masing-masing orang. Misalnya, pakaian yang dipakai.
3) Perasaan seseorang tentang penilaian-penilaian itu, seperti bangga, kecewa, gembira, atau rendah diri.
Teori ini memiliki kelemahan, yaitu: Pertama, pandangan Cooley dinilai lebih cocok untuk memahami kelompok tertentu saja di dalam masyarakat yang memang berbeda dengan kelompok-kelompok lainnya. Misalnya anak-anak belasan tahun, memang peka menerima pendapat orang lain tentang dirinya. Sedangkan orang dewasa tidak mengacuhkan atau menghiraukan pandangan orang lain, apabila memang tidak cocok dengan dirinya. Kedua, teori ini dianggap terlalu sederhana. Cooley tidak menjelaskan tentang suatu kepribadian dewasa yang bisa menilai tingkah laku orang lain dan juga dirinya.
c). Teori Diri Antisosial
Teori ini dikemukakan oleh Sigmund Freud. Dia berpendapat bahwa diri manusia mempunyai tiga bagian, yaitu id, superego, dan ego.
1) Id adalah pusat nafsu serta dorongan yang bersifat naluriah, tidak sosial, rakus, dan antisosial.
2) Ego adalah bagian yang bersifat sadar dan rasional yang mengatur pengendalian superego terhadap id. Ego secara kasar dapat disebut sebagai akal pikiran.
3) Superego adalah kompleks dari cita-cita dan nilai-nilai sosial yang dihayati seseorang serta membentuk hati nurani atau disebut sebagai kesadaran sosial.
Gagasan pokok teori ini adalah bahwa masyarakat atau lingkungan sosial selamanya akan mengalami konflik dengan kedirian dan selamanya menghalangi seseorang untuk mencapai kesenangannya. Masyarakat selalu menghambat pengungkapan agresi, nafsu seksual, dan dorongan-dorongan lainnya atau dengan kata lain, id selalu berperang dengan superego . Id biasanya ditekan tetapi sewaktu-waktu ia akan lepas menantang superego, sehingga menyebabkan beban rasa bersalah yang sulit dipikul oleh diri. Kecemasan yang mencekam diri seseorang itu dapat diukur dengan bertitik tolak pada jauhnya superego berkuasa terhadap id dan ego . Dengan cara demikian, Freud menekankan aspek-aspek tekanan jiwa dan frustasi sebagai akibat hidup berkelompok.


d). Teori Ralph dan Conton
Teori ini mengatakan bahwa setiap kebudayaan menekankan serangkaian pengaruh umum terhadap individu yang tumbuh di bawah kebudayaan itu. Pengaruh-pengaruh ini berbeda antara kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lain, tetapi semuanya merupakan bagian dari pengalaman bagi setiap orang yang termasuk dalam masyarakat tertentu (Horton, 1993:97). Setiap masyarakat akan memberikan pengalaman tertentu yang tidak diberikan oleh masyarakat lain kepada anggotanya. Dari pengalaman sosial itu timbul pembentukan kepribadian yang khas dari masyarakat tersebut.
e). Teori Subkultural Soerjono Soekanto
Teori ini mencoba melihat kaitan antara kebudayaan dan kepribadian dalam ruang lingkup yang lebih sempit, yaitu kebudayaan khusus (subcultural). Dia menyebutkan ada beberapa tipe kebudayaan khusus yang memengaruhi kepribadian, yaitu
• Kebudayaan Khusus Atas Dasar Faktor Kedaerahan
Di sini dijumpai kepribadian yang berbeda dari individu-individu yang merupakan anggota suatu masyarakat tertentu, oleh karena masing-masing tinggal di daerah-daerah yang berlainan dengan kebudayaan khusus yang berbeda pula.
• Cara Hidup di Kota dan di Desa yang Berbeda
Ciri khas yang dapat dilihat pada anggota masyarakat yang hidup di kota besar adalah sikap individualistik. Sedangkan orang desa lebih menampakkan diri sebagai masyarakat yang mempunyai sikap gotongroyong yang sangat tinggi.
• Kebudayaan Khusus Kelas Sosial
Dalam kenyataan di masyarakat, setiap kelas sosial mengembangkan kebudayaan yang saling berbeda, yang pada akhirnya menghasilkan kepribadian yang berbeda pula pada masing-masing anggotanya. Misalnya kebiasaan orang-orang yang berasal dari kelas atas dalam mengisi waktu liburannya ke luar negeri. Kebiasaan tersebut akan menghasilkan kepribadian yang berbeda dengan kelas sosial lainnya di masyarakat.


• Kebudayaan Khusus Atas Dasar Agama
Agama juga mempunyai pengaruh yang besar untuk membentuk kepribadian individu. Adanya mazhab-mazhab tertentu dalam suatu agama dapat melahirkan kepribadian yang berbeda-beda di kalangan anggotaanggota mazhab yang berlainan itu.
• Kebudayaan Khusus Atas Dasar Pekerjaan atau Keahlian
Pekerjaan atau keahlian yang dimiliki seseorang juga mempunyai pengaruh terhadap kepribadiannya. Contohnya kepribadian seorang guru pasti berbeda dengan militer. Profesi-profesi tersebut mempunyai cara yang berbeda dalam mendidik anak dan cara bergaul.





















DAFTAR PUSTAKA
Al-Istanbuli, Mahmud Mahdi. 2002. Mendidik Anak Nakal. Bandung: Pustaka.
Clemes, Harris. 2001. Mengajarkan Disiplin Kepada Anak. Jakarta. Mitra Utama.
Riyanto, Theo. 2002. Pembelajaran Sebagi Proses Bimbingan Pribadi. Jakarta: Gramediaa Widiasarana Indonesia.
http://tarmizi.wordpress.com/2009/01/26/pola-asuh-orang-tua-dalam-mengarahkan-perilaku-anak/
http://organisasi.org
http://alfinnitihardjo.ohlog.com/pembentukan-kepribadian.oh112680.html

Minggu, 29 Mei 2011

Contoh RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran)

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

Nama Sekolah : SMA N 1 Tercinta
Mata Pelajaran : Sosiologi
Kelas/Semester : XI/3

Standar Kompetensi : 1.1 Mengamati dan memahami Stratifikasi sosial dalam kehidupan bermasyarakat

Kompetensi Dasar : 1.1 Mendeskripsikan stratifikasi sosial dan menguraikan hubungannya dengan status atau kelas sosial dalam kehidupan masyarakat.

Indikator : * Mendefinisikan Stratifikasi sosial dan dinamika sosial
• Menjelaskan faktor yang mendorong terjadinya Stratifikasi sosial dan dinamika sosial
• Menjelaskan hubungan antara Stratifikasi sosial dan Keteraturan sosial

Alokasi Waktu : 6 x 40 menit (4 x pertemuan)

A. Tujuan Pembelajaran
Setelah proses pembelajaran, siswa diharapkan dapat :
1. Mendeskripsikan pengertian Stratifikasi Sosial, hubungannya dengan kelas sosial, kasta dan faktor-faktor pendorong terjadinya stratifikasi sosial.
2. Mendeskripsikan status sosial dan jenis-jenis status sosial dalam masyarkat
3. Mengidentifikasi bentuk-bentuk stratifikasi yang mendorong terciptanya lembaga, kelompok, dan organisasi sosial dan membandingkan dengan kasta yang ada di India.

B. Materi Pembelajaran
1. Hakekat Stratifikasi sosial
2. Faktor-faktor Pendorong Stratifikasi sosial
3. Status, Peranan dan Hubungan individu dalam Stratifikasi sosial
4. Bentuk-bentuk Stratifikasi sosial

C. Metode Pembelajaran
1. Informasi
2. Kerja mandiri
3. Eksplorasi
4. Diskusi






D. Langkah-langkah Pembelajaran
1. Pertemuan I

No. Kegiatan Pembelajaran Alokasi
Waktu Keterangan
1. Pendahuluan
a. Apersepsi
Guru mempersiapkan kelas untuk pembelajaran (mengabsen, dan memeriksa kebersihan kelas)
b. Memotivasi
Guru menjelaskan materi tentang Stratifikasi sosial dalam masyarakat.
c. Rambu-rambu belajar
Guru menjelaskan kompetensi yang akan dicapai oleh siswa dalam pembelajaran tersebut
10 menit
2. Kegiatan Inti
a. Siswa menulis pengalaman di masyarakat yang berkaitan dengan kelas sosial atau pengetahuan mengenai kasta yang terdapat di Indonesia atau di lingkungan sekitar mereka.
b. Guru menjelaskan hakikat stratifikasi sosial dan faktor-faktor pendorong stratifikasi sosial.
c. Siswa mengerjakan tugas “Uji Penguasaan Materi” pada halaman 50 dan 55.
d. Siswa mengumpulkan tugasnya untuk dinilai oleh guru.
e. Siswa mendiskusikan bentuk-bentuk dan faktor-faktor yang mendorong terjadinya stratifikasi sosial.
f. Siswa membacakan hasil diskusinya di depan kelas. Siswa yang lain bisa menanggapi hasil diskusi kelompok.
g. Guru membuat kesimpulan tentang hasil diskusi kelompok.. 60 menit
3. Kegiatan Akhir
a. Refleksi
Siswa dan guru membuat rangkuman tentang hakekat stratifikasi sosial, Prinsip stratifikasi sosial dan faktor-faktor pendorong stratifikasi sosial dalam masyakat. Siswa mencatat beberapa hal yang penting.
b. Penugasan
Guru memberi tugas kepada siswa untuk membaca materi yang akan dipelajari pada pertemuan yang berikut. 5 menit
2. Pertemuan II
No. Kegiatan Pembelajaran Alokasi
Waktu Keterangan
1. Pendahulua
a. Apresepsi
Guru mempersiapkan kelas untuk pembelajaran (mengabsen dan memeriksa kebersihan kelas). Guru mempersiapkan kondisi fisik dan mental siswa untuk mengikuti pelajaran.
b. Motivasi
Guru menjelaskan pentingya Status dalam pembentukan kelas di tengah-tengah masyarakat. 10 menit
2. Kegiatan Inti
a. Siswa mendengar penjelasan guru tentang penngertian status sosial dan jenis-jenis status sosial yang terdapat dalam kehidupan bermasyarakat.
b. Siswa mngerjakan tugas yang ada pada uji penguasaan materi dalam buku halaman 62.
c. Siswa mengumpulkan hasil pekerjaannya kepada guru utuk dinilai.
d. Siswa mendiskusikan studi kasus yang ada dalam buku halaman 68.
e. Siswa membacakan haisil diskusinya di depan kelas, Guru bertugas sebagai pemandu diskusi secara klasikal.
f. Guru membuat kesimpulan berdasarkan hasil diskusi siswa 60 menit
3. Kegiatan Akhir
a. Refleksi
Siswa dan guru membuat rangkuman tentang hakekat Status sosial dan Jenis status sosial dalam kehidupan bermasyarakat..
b. Penilaian
Guru memberi penilaian terhadap pekerjaan siswa secara mandiri, dan hasil diskusi kelompok.
c. Penugasan
Guru memberi tugas kepada siswa untuk membaca materi yang akan dipelajari pada pertemuan yang berikut. 5 menit


3. Pertemuan III
No. Kegiatan Pembelajaran Alokasi
Waktu Keterangan
1. Pendahuluan
a. Apersepsi
Guru mempersiapkan kelas untuk pembelajaran (mengabsen dan memeriksa kebersihan kelas).
b. Memotivasi
Guru menjelaskan pentingnya status atau kelas dalam kehidupan sosial masyarakat saat ini. 10 menit
2. Kegiatan Inti
a. Siswa mendengarkan penjelasan guru tentang kasta yang merupakan salah satu bentuk dari stratifikasi sosial di India.
b. Siswa secara mandiri mencari ahan tentang bentuk stratifikasi sosial dari sumber lain.
c. Siswa mengerjakan soal yang ada dalam uji penguasaan materi.
d. Siswa mendiskusikan studi kasus yang ada dalam buku halaman 75.
e. Siswa membacakan hasil diskusinya di depan kelas. Guru memandu diskusi secara klasikal. 70 menit
3. Kegiatan Akhir
a. Refleksi
Siswa dan guru membuat rangkuman tentang kasta sebagai bentuk stratififkasi atau kelas sosial dalam kehidupan sosial di India.
b. Penilaian
Guru memberi penilaian terhadap pekerjaan sisw secara mandiri, dan hasil diskusi kelompok.
c. Penugasan
Guru memberi tugas kepada sisw untuk mempersiapkan diri untuk ulangan blok. 5 menit


4. Pertemuan IV
No. Kegiatan Pembelajaran Alokasi
Waktu Keterangan
1. Pendahuluan
a. Apresiasi
Guru mempersiapkan kelas untuk ulangan blok.
b. Memotivasi
Guru menjelaskan tujuan ulangan blok 10 menit
2. Kegiatan Inti
a. Guru membagikan soal yang telah disiapkan oleh guru.
b. Siswa mengerjakan soal yang telah dibagikan oleh guru.
c. Siswa mengumpulkan pekerjaannya kepada guru untuk dinilai. 65 menit
3. Kegatan Akhir
a. Refleksi
Siswa dan Guru membahas bersama soal-soal yang telah dikerjakan.
b. Penilaian
Guru memberi penilaian terhadap ulangan blok siswa.
c. Penugasan
Guru memberi tugas kepada siswa untuk mengulangi materi yang telah menjadi bahan ulangan blok.
10 menit

5. Sumber Pembelajaran
1. Buku Sosiologi SMA Kelas XI Yudhistira halaman 50 – 75
2. Masalah-masalah sosial di masyarakat yang terkait dengan status sosial
3. Media massa seperti majalah, Koran, dan buku-buku tambahan


6. Media
1. Papan Tulis
2. Lembar Soal
3. Transparan Konsep
4. Power Point
5. LCD

7. Penilaian
1. Mengerjakan latihan Uji Penguasaan Materi halaman 50 - 55, 62, dan 75
2. Melakukan pengamatan terhadap masyarakat yang menunjukkan status atau kelas dalam kehidupan sosialnya pada halam 68.
3. Penilaian hasil diskusi

No. Nama ASPEK PENILAIAN Total NIlai Presentasi
Sikap Keaktifan Wawasan Kemampuan
Mengemukakan
Pendapat Kerjasama


Keterangan ; Nilai maksimal 20

No. Nama Siswa Aspek yang Dinilai Skor/Jumlah
1 2 3 4 5 6


Aspek yang dinilai :
1. Kemampuan menyampaikan pendapat
2. Kemampuan memberikan argumentasi
3. Kemampuan memberikan kritik
4. Kemampuan mengajukan pertanyaan
5. Kemampuan menggunakan bahasa yang baik
6. Kelancaran berbicara

Penskoran : Jumlah Skor :
A. Tidak Baik Skor 1 24 – 30 = Sangat Baik
B. Kurang Baik Skor 2 18 – 23 = Baik
C. Cukup Baik Skor 3 12 – 17 = Cukup
D. Baik Skor 4 6 – 11 = Kurang
E. Sangat Baik Skor 5

FORMAT PENILAIAN PROSES DISKUSI
No. Nama Siswa Keterangan Penilaian Jumlah Skor
1 2 3 4 5
1.
2.
3.


Keterangan :
1. Aktivitas dalam kelompok Rentang Skor :
2. Tanggung Jawab Individu 12 – 15 = Sangat Baik
3. Pemikiran 9 – 11 = Baik
4. Keberanian berpendapat 6 – 8 = Cukup
5. Keberanian tampil 3 – 5 = Kurang



Mengetahui JAKARTA,_____________


Kepala Sekolah SMA Guru Bidang Studi

Rabu, 13 April 2011

Soal Sosiologi Stratifikasi Sosial

Soal Sosiologi Kelas XI
Stratifikasi Sosial


1. Pengertian stratifikasi sosial menurut Chinoy adalah…
a. Stratifikasi sosial sebagai sistem kategori penjenjangan manusia dalam suatu masyarakat ke dalam suatu jenjang urutan dari atas ke bawah/hirarkis.
b. Stratifikasi atau pelapisan sebagai ketidaksamaan antara kelompok-kelompok manusia yang distrukturkan.
c. Stratifikasi adalah proses, struktur dan sekaligus masalah. Stratifikasi juga dapat dilihat sebagai masalah dimana ketidaksamaan soisial bertahan dalam masyarakat.
d. Stratifikasi sosial sebagai pembedaan anggota masyarakat berdasarkan status yang dimilikinya.
e. Stratifikasi sebagai penjenjangan masyarakat menjadi hubungan atasan-bawahan atau dasar kekuasaan, kekayaan dan kehormatan.

2. Pengertian Stratifikasi sosial menurut Kamanto Sunarto (2004 : 10) adalah…
a. Stratifikasi sosial sebagai pembedaan anggota masyarakat berdasarkan status yang dimilikinya.
b. Stratifikasi sebagai penjenjangan masyarakat menjadi hubungan atasan-bawahan atau dasar kekuasaan, kekayaan dan kehormatan.
c. Stratifikasi adalah proses, struktur dan sekaligus masalah. Stratifikasi juga dapat dilihat sebagai masalah dimana ketidaksamaan soisial bertahan dalam masyarakat.
d. Stratifikasi sosial sebagai sistem kategori penjenjangan manusia dalam suatu masyarakat ke dalam suatu jenjang urutan dari atas ke bawah/hirarkis.
e. Stratifikasi atau pelapisan sebagai ketidaksamaan antara kelompok-kelompok manusia yang distrukturkan.

3. Di bawah ini yang merupakan salah satu prinsip dasar stratifikasi sosial adalah…
a. Stratifikasi sosial tidak ada dalam masyarakat primitif.
b. Stratifikasi sosial merupakan ciri khas dari masyarat dan bukan sekedar refleksi dari perbedaan individual.
c. Stratifikasi sosial tampak jelas pada sistem feudal
d. Stratifikasi sosial erat kaitannya dengan sistem perbudakan
e. Stratifikasi sosal adalah susunan kehidupan masyarakat yang terdiri atas pola-pola hubungan-hubungan dan kedudukan-kedudukan yang memberikan kerangka organisasi masyarakat.

4. Di bawah ini yang merupakan jenis stratifikasi sosial adalah..
a. Sistem Kasta, sistem feudal dan sistem perbudakan
b. Kelas sosial, sistem feodal, sistem kasta
c. Perbedaan sosial dan sistem kasta
d. Sistem primitive, sistem feodal, kelas sosial dan sistem kasta
e. Sistem primitif, sistem feodal, sistem perbudakan, sistem kasta, sistem kelas dan sistem sosialisme Negara.

5. Keanggotaan dalam kasta ditentukan oleh :
a. Kekayaan
b. Kekuasaan
c. Kelahiran
d. Kelahiran dan prestise
e. Prestise dan kekayaan

6. Suatu proses stratifikasi yang membatasi kemungkinan pindahnya seseorang dari satu lapisan ke lapisan yang lain baik ke bawah maupun ke atas dinamakan…
a. Stratifikasi sosial
b. Open social Stratification
c. Closed sosial stratification
d. Sistem mobilitas sosial
e. Kelas masyarakat





7. Kedudukan seseorang dalam masyarakat tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan rohaniah dan kemampuan, keududukan tersebut diperoleh karena kelahiran disebut...
a. Assigned Status
b. Achieved Status
c. Status
d. Asscribed Status
e. Pernan sosial

8. Dasar dari inti lapisan masyarakat adalah tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban, kewajiban dan tanggungjawab nilai-nilai sosial pengaruhnya diantara anggota masyarakat merupakan inti lapisan sosil yang dikemukakan oleh :
a. Pitrim A. Sorokin
b. Emili Durkheim
c. Koentjaraningrat
d. Selo Soemardjan
e. Max Weber

9. Vilfredo Pareto, Gaetano Mosca, dan Robert Michels memberikan pengertian bahwa asas umum yang menjadi dasar bagi terbentuknya stratifikasi sosial, khususnya yang berkaitan dengan kekuasaan politik, adalah :
a. Kekuasaan politik tidak dapat didistribusikan secara merata
b. Kekuasaan politik dapat didistribusikan secara merata
c. Kekuasaan politik tidak dapat disampaikan secara menyeluruh
d. Kekuasaan politik dapat disampaikan secara menyeluruh
e. Kekuasaan politik dapat disampaikan secara merata

10. Di bawah ini merupakan faktor-faktor yang menyebabkan munculnya stratifikasi sosial dalam masyarakat, kecuali :
a. Adanya distribusi hak-hak istimewa dan wewenang
b. Prestise dan penghargaan
c. Faktor kebudayaan yang berbeda
d. Lambang-lambang kedudukan
e. Mudah atau sukarnya bertukar kedudukan

Senin, 11 April 2011

Peranan Antropologi dalam Pembangungan

PERAN SERTA ANTROPOLOGI DALAM MENGAKAJI MASALAH-MASALAH EKONOMI PEMBANGUNAN DI INDONESIA

Sebuah bibiliografi beranotasi yang memuat 2.493 judul karangan dan buku mengenai sekitar 40 masalah yang menyangkut pembangunan ekonomi, berjudul Development Change, susunan A.A Spitz (1967), sangat besar manfaatnya untuk memperoleh pandangan yang luas mengenai masalah-masalah ekonomi pembangunan, yang biasanya diperhatikan serta diteliti oleh para ahli ekonomi pembangunan dan ilmu-ilmu bantu lainnya. Bibiliografi itu juga menunjukkan peranan Antropologi dalam kajian masalah-masalah ekonomi pembangunan.
Adapun pendapat mengenai ruang lingkup ekonomi pembangunan yang seperti disebutkan oleh M. Bohnet dan H. Reichelt, dalam buku mereka, Apllied Research and Its Impact on Economic Development (1972). Mereka beranggapan bahwa ekonomi pembangunan, meliputi tidak kurang dari lima masalah untuk dikaji, yaitu : (1) masalah dualisme ekonomi yang ada antara ekonomi rakyat pedesaan dan ekonomi nasional berdasarkan perdagangan internasional, yang bertujuan mencapai taraf ekonomi industri; (2) masalah perdagangan internasional itu sendiri;(3) masalah strategi pembangunan ekonomi; (4) masalah manusia dari sikap mental manusia-manusia yang harus membangun ekonominya ; (5) konsepesi Marxisme dalam pembangunan nasional.
Antropologi dapat berperan serta dalam mengkaji masalah-masalah ekonomi pembangunan, keculai mungkin dalam masalah perdagangan internasional tepatnya pada butir (2) di atas, lebih-lebih kalau pembangunan nasional tidak hanya dikonsepsikan sebagai pembangunan ekonominya saja, tetapi juga sebagai pembangunan semesta yang menyangkut semua sektor kehidupan nasional, termasuk sektor kehidupan sosial, politik, agama dan budaya. Walaupun antropologi ekonomi pembangunan adalah ilmu terapan, dalam arti bahwa hasil kajiannya dapat segera dimanfaatkan oleh para perencana pembangunan untuk mengubah pengertian mereka mengenai masalah yang mereka hadapi, namun ilmu itu juga mempunyai aspek teori dan metodologi kajiannya.
Kemudian mengenai pembangunannya sendiri tentu juga ada masalah strategi atau kebijaksanaan pelaksanaannya, dan masalah mengenai sektor-sektor serta unsur-unsur apa yang ada dalam masyarakat yang akan dibangun, berikut masalah-masalah untuk dikaji antropologi ekonomi pembangunan (antropologi pembangunan) :


A. Masalah teori dan metodologi pembangunan
• Masalah dualisme ekonomi, atau kesenjangan antara ekonomi pedesaan dan ekonomi industri di Negara-negara yang sedang membangun.
• Masalah kesenjangan kemajuan sosial-budaya antara berbagai golongan sosial dan bagian-bagian tertentu dalam Negara-negara yang sedang membangun
• Masalah merangsang orientasi nilai budaya dan jiwa wiraswasta yang mendorong kemakmuran
• Masalah peranan agama dalam pembangunan.
B. Masalah kebijaksanaan pembangunan
• Aspek manusia dalam model-model perencanaan pembangunan
• Masalah arah pembangunan yang berbeda daripada arah pembangunan yang menuju ke masyarakat serupa masyarkat Eropa atau Amerika.
• Kajian antropologi mengenai pembangunan ekonomi Marxisme
• Aspek manusia dari pembangunan padat karya, atau pembangunan padat modal

C. Masalah sektor-sektor serta unsur-unsur yang dibangun dan akibat sosial budaya
• Masyarakat desa
• Penduduk (migrasi, urbanisasi, transmigrasi, dan KB)
• Lingkungan
• Kepemimpinan dalam pembangunan
• Perubahan sosial budaya akibat pembangunan
• Pendidikan sebagai masalah khusus dalam pembangunan
• Aspek manusia dalam reorganisasi administrasi dan pemerintahan
• Masyarakat majemuk dan integrasi nasional

Ke 16 masalah di atas dalam kenyataan kehidupan masyarakat tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan saling berkaitan. Masalah dualisme ekonomi misalnya, berkaitan dengan masalah orientasi nilai budaya dan jiwa kewirawastaan dalam pembangunan. Selanjutnya, masalah tersebut terakhir juga berkaitan dengan masalah manusia dalam model-model perencanaan pembangunan dan pembangunan padat karya, masalah pembangunan masyarakat desa, masalah perubahan sosial budaya akibat pembangunan, dan masalah pendidikan sebagai masalah khusus dalam pembangunan.
Masalah merangsang orientasi nilai budaya dan jiwa wiraswasta yang mendorong kemakmuran juga dapat kita perkirakan mempunyai kaitan-kaitan dengan masalah-masalah lain. Dalam hal ini antropologi terapan dapat menjalankan peranan yang penting. Penelitian yang terkenal mengenai masalah jiwa kewiraswastaan dalm pembangunan dilakukan oleh E. Hargen (1962) dan D.C Mc. Clelland (1961). Hagen menyarankan suatu teori umum mengenai aspek manusia dalam pembangunan, sedangkan McClelland, ahli psikologi, telah mengembangkan konsep mengenai hasrat kuat untuk mencapai kemajuan (achievement orientation) dalam mentalitas manusia sebagai dasar dari kemajuan masyarakat. McClelland juga meneliti masalah kuat lemahnya hasrat yang ada pada petani-petani di India, sedang ahli antropologi yang melakukan penelitian terhadap masalah yang sama adalah T.S Epstein (1962;1973).
Masalah peranan agama dalam pembangunan , menyangkut masalah aspek manusia dalam model-model perencanaan pembangunan, dan dengan sendirinya juga menyangkut serangkaian masalah lain. Kita mengetahui bahwa konsepsi mengenai peranan agama dalam pembangunan dikembangkan oleh ahli sosiologi Max Weber, dalam kajiannya yang terkenal mengenai pengaruh suatu agama yang bersifat puritan dan ketat, seperti agama Protestan Calvinis, pada pembentukan modal di Negara-negara Eropa Barat sejak abad ke-17. Antropologi pembangunan dapat juga mengambil peranan yang bermakna dalam penelitian-penelitian yang mengikuti konsepsi Max Weber, seperti penilaian yang dilaksanakan oleh C. Geertz di Jawa Timur dan Bali.
Masalah aspek manusia dalam model-model perencanaan pembangunan tentu berkaitan dengan masalah arah pembangunan yang berbeda daripada arah pembangunan yang menuju ke masyarakat serupa masyarakat Eropa Barat atau Amerika, Aspek manusia dari pembangunan padat karya, atau pembangunan padat modal, Masyarakat desa, Kepemimpinan dalam pembangunan, dan masalah Perubahan sosial budaya akibat pembangunan. Model pambangunan dalam rencana pembangunan nasional di berbagai Negara yang baru berkembang agaknya dikonsepsikan oleh ahli sejarah ekonomi W.W Rostow, yang ditulisnya dalam bukunya yang terkenal, Stages of Economic Growth (1961). Model itu mengkonsepsikan pembangunan ekonomi sebagai suatu proses yang berlangsung melalui lima tahap pertumbuhan, yang dikiaskannya ibarat sebuah pesawat terbang yang akan mulai terbang, yaitu 1) tahap traditional society, atau masyarakat tradisional, dimana pembangunan ekonomi diasumsikan akan dimulai ; 2) tahap preconditions for take-off, yakni tahap dimana masyarakat tradisional tadi mempersiapkan diri (melakukan ancang-ancang) untuk terbang, jadi untuk memasuki tahap industrialisasi, 3) tahap teke-off, tahap dimana semua faktor ekonomi sudah cukup kuat bagi ekonominya untuk tumbuh sendiri ; 4) tahap drive to maturity, atau tahap dimana ekonomi itu sudah mampu untuk berkembang menjadi makmur atas kekuatannya sendiri ; dan 5) tahap age of mass-consumption atau tahap dimana rakyat banyak telah menikmati hasil produksi massanya sendiri.
Terutama pada tahap 1 dan 2 di atas, terdapat banyak masalah untuk diteliti dengan pendekatan antropologi. Dalam tahap 1 segala macam hambatan berupa adat istiadat dan sikap mental yang kolot, pranata-pranata sosial dan unsur-unsur kebudayaan tradisional, harus digeser atau disesuaikan dengan keperluan hidup dalam masyarakat masa kini. Sementara itu tahap 2 mulai dilakukan, dimana hasil surplus produksi pertanian yang meningkat harus dapat dialihkan ke tangan golongan-golongan sosial yang memiliki kemampuan untuk mengubah surplus tadi menjadi modal kerja untuk membangun dengan menginvestasikan secara berhasil guna dan berdaya guna ke dalam usaha-usaha nonpertanian, sehingga diperoleh modal yang lebih besar lagi.
Golongan sosial yang mampu mengubah surplus produksi pertanian menjadi modal kerja untuk pembangunan usaha-usaha non pertanian adalah golongan sosial yang warganya terdiri dari banyak orang dengan sikap mental berwiraswasta yang bergerak dalam bidang perdagangan, jasa komuniksi, dan industri. Penelitian untuk mendapat lebih banyak pengertian mengenai hambatan dan dorongan yang memperlambat atau mempercepat proses pergeseran itu, dapat dilakukan dengan pendekatan antropologi.
Dalam berbagai masalah khusus yang menyangkut proses penggeseran dan penyesuaian dalam adat-istiadat dan sikap mental kolot, dan pranata-pranata sosial serta unsur-unsur kebudayaan tradisional dengan kehidupan masa kini, memang telah sangat banyak dilakukan penelitian antropologi, sering kali berupa kerjasama interdisiplin dengan para ahli psikologi, sosiologi, ilmu politik, dan ilmu-ilmu sosial lain. Contoh dari masalah khusus tadi adalah misalnya cara untuk menumbuhkan suatu sikap mental pada warga masyarakat tradisional untuk hidup hemat. Untuk dapat melakukannya, para perancang pembangunan perlu mengetahui arti dan sebab-sebab mengapa seseorang dianggap tidak hemat dalam kenyataan hidup masyarakat tradisional. Masalah serupa ini hanya dapat dipahami dengan penelitian pendekatan antropologi.
Masalah aspek manusia dari pembangunan padat karya, atau pembangunan padat modal, jelas merupakan masalah yang layak pula untuk diteliti dengan pendekatan antropologi ekonomi. Beberapa ahli antropologi malahan telah memperlihatkan bahwa asumsi dari berbagai ahli ekonomi pembangunan mengenai adanya kelebihan tenaga kerja tetapi kekurangan modal dalam masyarakat yang berada pada tahap persiapan untuk pembangunan tidak selamanya benar. R. Firth telah menunjukkan bahwa di Tikopea atau di Malaysia tenaga kerja malah kurang. Demikian juga D. Pitt menguraikan bahwa masyarakat Samoa yang mulai melakukan pembangunan ekonomi juga sangat kekurangan tenaga kerja (Pitt, 1970). Ahli antropologi H.K Schneider juga menunjukan bahwa dalam masyarakat tradisional di Negara-negara baru yang sedang mulai berkembang di Afrika Timur dan Selatan, masalahnya bukanlah kekurangan modal, karena modal dalam bentuk ternak terdapat dalam jumlah yang melimpah. Untuk dapat mengubah sistem peternakan tradisional menjadi peternakan modern, masalahnya disana adalah tenaga, yang jumlahnya sangat sedikit.
Masalah pembangunan masyarakat desa, sudah sejak zamannya pemerintah-pemerintah colonial dipermasalahkan dalam ilmu-ilmu sosial terapat, termasuk antropologi terapan. Pada zaman itu sektor-sektor masyarakat desa yang dibangun oleh pemerintah jajahan adalah sektor produksi pertanian, termasuk pembangunan prasarana jalan dan irigasi, pembangunan kesehatan rakyat, dan penyediaan kredit untuk rakyat, guna meningkatkan produksi pertanian mereka. Sesudah Perang Dunia II, pembangunan masyarakat desa pada umumnya merupakan program yang khas, yang tidak ketinggalan dalam setiap rencana pembangunan nasional. Sektor-sektor dan unsur-unsur yang dibangun biasanya juga lebih banyak dan lebih luas sifatnya, daripada dalam upaya pembangunan masyarakat desa di zaman colonial. Seperti apa yang tertulis dalam buku E.R Batten, Communities and Their Development (1957), pembangunan masyarakat desa dalam Negara-negara baru yang sedang berkembang meliputi upaya peningkatan produksi pertanian dengan bibit unggul, penigkatan teknologi pemupukan dan pemberantasan hama, serta perbaikan sistem irigasi, upaya untuk melakukan perbaikan prasarana jaringan jalan dan lingkungan, upaya penyempurnaan administrasi desa, upaya untuk mengembangkan gerakan koperasi, penyempurnaan sistem pendidikan umum dan pendidikan, agama, dan peningkatan kesehatan masyarakat. Melihat sektor-sektor dan unsur-unsur khusus tersebut, maka jelas bahwa hampir semua cabang spesialisasi antropologi dapat bermanfaat dalam penelitian – penelitian untuk pembangunan masyarakat desa, seperti diuraikan oleh W. Goodenough dalam Cooperation in Change (1936) pada dasarnya merupakan upaya untuk mengubah adat istiadat, kepercayaan, sikap mental, orientasi nilai budaya penduduk, jadi berkaitan erat dengan masalah merangsang orientasi nilai budaya dan jiwa wiraswasta yang mendorong kemakmuran, maka penelitian terhadap masalah-masalah itu memang hanya dapat dilaksanakan dengan baik oleh para ahli antropologi. Kecuali itu upaya pembangunan masyarakat desa juga erat kaitannya dengan masalah Penduduk (migrasi, urbanisasi, transmigrasi, dan KB, lingkungan, kepemimpinan dalam pembangunan, perubahan sosial budaya akibat pembangunan, dan pendidikan sebagai masalah khusus dalam pembangunan.












Kedudukan Antropologi dalam Pembangunan Indonesia
Apabila kita perhatikan peranan antropologi dalam rangka semua masalah pembangunan terurai di atas, maka tampak bahwa peranannya yang utama adalah dalam hal penelitian terhadap masalah-masalah itu, guna membantu perencanaan pembangunan yang biasanya dilaksanakan bersama oleh para ahli dalam berbagai disiplin ilmiah, oleh para pelaksana pembangunan yang bekerja dalam badan-badan perencanaan nasional atau daerah. Di banyak Negara, penelitian untuk perencanaan pembangunan biasanya dilakukan oleh Universitas atau lembaga penelitian Negara dan swasta.
Sebelum suatu rencana pembangunan yang biasanya berwujud sebuah naskah resmi yang terdiri dari beberapa jilid, diserahkan kepada pemerintah untuk dilaksakan, rencana itu dibahas terlebih dahulu di Dewan Perwakilan Rakyat Nasional atau oleh Dewan Perwakilan Daerah, oleh golongan-golongan politik. Dalam taraf ini bukan kualitas ilmiahnya yang menentukan wujud dari rencana pembangunanny, tetapi nilai politiknya, dan para wakil kekuatan-kekuatan politik itulah yang mengadakan perubahan-perubahan, pengurangan, atau penambahan terhadap naskah tadi.
Pada tahap berikutnya, naskah yang telah mengalami perubahan itu diserahkan kepada pemerintah untuk dilaksanakan oleh departemen-departemen yang bersangkutan. Bab dalam rencana yang menyangkut pembangunan prasarana fisik diserahkan kepada Departemen Pekerjaan Umum; bab mengenai pembangunan pertanian kepada Departemen Pertanian; bab mengenai pembangunan kesehatan rakyat kepada Departemen Kesehatan; bab mengenai pembangunan agama kepada Departemen Agama, dan sebagainya, sedang pelaksanaan program-program untuk meningkatkan integrasidan persatuan nasional tentu menjadi tugas Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Pada taraf pelaksanaan pembangunan nasional, kegiatan penelitian perlu diadakan lagi. Sebelum suatu proyek pembangunan dilaksanakan secara konkret di suatu lokasi tertentu, misalnya untuk mendirikan sebuah pabrik pemerasan dan pengalengan kelapa sawit perlu diadakan penelitian kelayakan, untuk mengetahui apakah lokasinya layak dan cocok dipandang dari sudut kesiapan prasarana fisiknya, jaraknya dari pusat sumber energi, sarana transportasi, pelabuhan dan sebagainya; tetapi perlu diteliti pula keadaan sosialnya, seperti keadaan lingkungan sosialnya sebagai sumber tenaga kerja, mutu tenaga kerjanya, sikap penduduk terhadap kemajuan, dan sebagainya. Terutama mengenai soal-soal tersebut tersebut terakhir ini, antropologi dapat melakukan penelitian yang bermakna.
Pada taraf sewaktu proyek pembangunan itu telah berjalan, perlu diadakan penelitian mengenai akibat sosial dari pembangunan suatu industri, yaitu perubahan sosial budaya yang positif, dan akibat-akibat sampingannya yang negative, sepertin terjadinya pencemaran alam atau ketegangan-ketegangan etnik antara angkatan kerja industri itu atau angkatan kerja pendatang dan penduduk asli, yang sering kali berlatar belakang kebudayaan yang berbeda. Dalam soal-soal tersebut ilmu antropologi mampu melakukan penelitian yang bermakna. Sebenarnya apabila kita perhatikan bahwa peranan antropologi dalam pembangunan terutama berada dalam penelitian masalah-masalah pembangunan, maka menurut nalar tidak ada perbedaan antara antropologi dan antropologi pembangunan, atau antara antropologi dan antropologi terapan, karena semua hasil penelitian antropologi umum maupun bidang-bidang antropologi spesialisasi dapat digunakan untuk menambah data dan pengertian yang perlu untuk penyempurnaan pembangunan yang direncanakan dan dilaksanakan orang lain.
Lebih relevan untuk pembangunan adalah misalnya hasil penelitian antropologi terhadap beragam adat-istiadat dan pola makan dalam kebudayaan berbagai suku-suku bangsa yang hidup di Indonesia. Topik penelitian antardisiplin antropologi dan ilmu gizi yang dilakukan secara nasional oleh Departemen kesehatan dalam tahun 1985-1986 ini bersifat terapan, karena hasilnya dapat langsung dimanfaatkan untuk perencanaan program peningkatan gizi makanan rakyat Indonesia dan program mendiversifikasi makanan rakyat dalam Replita IV.
Contoh penelitian antropologi dengan hasil yang paling relevan bagi pembangunan adalah peneletian untuk mengetahui dari desa-desa mana orang pedalaman Irian yang sekarang tinggal di pantai itu berasal, jalan-jalan setapak dan sungai-sungai mana yang dulu mereka lalui, dan dimanakah mereka berkemah dalam perjalanan mereka ke daerah pantai. Keterangan semacam itu dapat dipergunakan secara langsung untuk merencanakan pembangunan sisitem komunikasi rakyat di Irian Jaya.
Dengan singkat, secara teori dan metodologi perbedaan antara antropologi dan antropologi terapan (atau antropologi pembangunan) sebenarnya tidak ada. Topic penelitiannya saja yang membuat suatu penelitian antropologi kelihatan lebih bersifat terapan daripada lainnya, karena yang satu bersifat kurang relevan, sedang yang lain lebih relevan untuk upaya perencanaan pembangunan yang mendesak.

Sumber :
Koentjaraningrat. Sejarah Teori AntropologiII.1990.Jakarta: Universitas Indonesia
www.google.com (peranan antropologi dalam ekonomi pembangunan Indonesia)

Jumat, 08 April 2011

Hutan Desa

Pengelolaa Hutan Desa Sebagai Salah Satu Alternatif Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Terutama dalam Kaitannya dengan Wacana Otonomi, Khususnya Otonomi Desa

Pendahuluan
Hutan merupakan sumber daya alam anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa yang tidak terhingga nilainya. Sebagai anugerah tersebut hutan mempunyai nilai filosofi yang sangat dalam bagi kepentingan umat manusia. Namun demikian nilai filosofi hutan tersebut terus menerus mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena pengelolaan hutan selama ini kurang memperhatikan arti hakekat yang terkandung pada filosofi hutan sehingga kelestarian lingkungan hidup menjadi terganggu.

Masalah, Kondisi Hutan
Permasalahan yang dihadapi sector kehutanan saat ini adalah kondisi hutan yang mengalami degradasi cukup tajam. Kondisi ini mengakibatkan hutan tidak mampu lagi menjadi penyangga bagi kelestarian alam. Berbagai bencana alam yang terjadi belakangan ini menunjukkan keseimbangan dan kelestarian alam yang semakin terganggu.
Pengelolaan hutan saat ini lebih mengejar profit yaitu mencari keuntungan ekonomi semata, dan bahkan Negara secara sentralistis mengeksploitir hutan sehingga fungsi social kepentingan umum terabaikan.
Pengelolaan hutan yang dilakukan selama ini menimbulkan konflik kepentingan antara pusat dengan daerah dan masyarakat setempat. Kebijakan-kebijakan yang diambil selalu mendahulukan kepetingan pusat dan sering mengabaikan kepentingan masyarakat daerah, sehingga pengelolaan hutan yang semula bertujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi untuk mensejaterahkan masyarakat hanya mensejahterahkan segelintir orang.
Kesalahan pengelolaan hutan oleh pusat dan penyalaghgunaan HPH oleh beberapa pengusaha telah mengakibatkan luas hutan berkurang drastic dan kerusakan hutan semakin parah. Setiap tahunnya terjadi degradasi hutan sebesar 1,7 Ha, sehingga di Sumatera luas hutan tinggal 27% dan Kalimantan 34%. Penyebab kerusakan lainnya adalah penebangan liar (illegal), kebakaran dan penjarahan hutan yang dilakukan masyarakat maupun perusahaan swasta. Jika diidentifikasi lebih lanjut penyebab dari kondisi kehutanan saat ini adalah kekeliruan pusat dalam menetapkan kebijakan dan regulasi bidang kehutanan. Penyusunan rencana kegiatan dan penetapan kebijakan pengelolaan kehutanan selayaknya melibatkan pemerintah dan masyarakat daerah.

Otonomi Daerah
Undang-undang nomor 22tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah membawa nuansa dan semagat baru dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia. Dengan otonomi daerah yang luas dan utuh yang diberikan kepada kabupaten/kota serta otonomi daerah terbatas kepada Propinsi, UU nomor 22 tahun 1999 mengakui hak-hak yang dimiliki dalam mengelola segala aspirasi, tuntutan dan kebutuhan masyarakatnya. Hal ini juga sekaligus mendorong timbul tumbuhnya kreativitas daerah dalam mengelola segala sumber daya yang terdapat di daerah untuk kepentingan dan kesejahteraan seluruh masyarakatnya.
Otonomi daerah menunjang nilai dan prinsip dari demokrasi. Dengan otonomi daerah yang luas dan utuh yang dimiliki kabupaten/kota maka segala petensi keanekaragaman yang dimiliki daerah akan dapat dikembangkan dan dimanfaatkan semaksimal mungkin demi kesejahteraan masyarakat, karena kekayaan dan keanekaragaman sumber daya alam yang dimiliki setiap daerah merupakan asset yang tidak ternilai harganya. Pengelolaan kekayaan sumber daya alam daerah khususnya bidang kehutanan membutuhkan dukungan dari penyelenggaraan otonomi daerah yang luas dan utuh. Desentralisasi kebijakan dan pengelolaan kehutanan akan dapat mendorong peran serta masyarakat menggali dan memanfaatkan serta menjaga kelestarian sumber daya secara optimal.

Desentralisasi Kehutanan
Pengelolaan hutan yang bersifat sentralistik selama ini telah membaa dampak yang sangat merugikan bagi kelestarian alam dan lingkungan serta system social di tengah masyarakat daerah. Sejalan dengan semangat otonomi daerah yang telah dimulai dilaksanakan dalam penyelenggaraan pemerintahan saat ini maka diperlukan juga adanya desentralisasi pengelolaan kehutanan. Melalui desentralisasi kehutanan dapat dilakukan perencanaan dan penetapan regulasi pengelolaan hutan secara lebih spesifik sesuai dengan karakteristik masing-masing daerah.
Diberikannya kewenangan kepada daerah dalam mengelola hutan berarti mendukung penyelenggaraan otonomi daerah dimana diakuinya hak-hak daerah untuk mengelola sumber daya alam yang dimilikinya. Keterlibatan dan keikutsertaan daerah dalam pengelolaan hutan dalam kerangka desentralisasi kehutanan diharapkan dapat meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan. Karena pemerintah daerah bertanggung jawab kepada masyarakat melalui institusi perwakilan rakyat, maka setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah dalam pengelolaan hutan akan diawasi oleh masyarakat. Maka kemungkinan lahirnya kebijakan pengelolaan hutan yang membahayakan kelestarian dan keseimbangan alam dapat dieleminir. Dengan desentralisasi kehutanan diharapkan dapat dijawab berbagai permasalahan dalam pengelolaan hutan yang dialamai selama ini. Melalui desentralisasi kehutanan dapat dilakukan perencanaan dan penetapan regulasi pengelolaan hutan secara lebih spesifik sesuai dengan karakteristik masing-masing daerah. Hal itu dimungkinkan dengan dilibatkan dan diberikannya wewenang yang memadai bagi daerah (pemerinta, masyarakat dan dunia usaha) dalam perencanaan, penetapan regulasi dan pengelolaan hutan tersebut.
Untuk dapat mewujudkan desentralisasi pengelolaan kehutanan sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah maka perlu dilakukan peninjauan kembali terhadap kebijakan dan regulasi tentang kehutanan yang ada selama ini. Di samping menyesuaikan kebijakan dan regulasi lama yang ditetapkan sebelum lahirnya UU no. 22 tahun 1999 juga mungkin perlu peninjauan kembali terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 1998 tentang Perhutani dan Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan sehingga dapat sesuai dan sejalan dengan jiwa dan semangat UU 22/1999. Akhirnya dapat kita simpulakan bahwa pengelolaan hutan selama ini :
• Menimbulkan degradasi sumber daya alam hutan dari kuantitas maupun kualitas hutan yang akhirnya mendatangkan dampak negatif terhadap lingkungan yang memicu terjadinya bencana alam.
• Menimbulkan berbagai konflik kepentingan antaa pusat-daerah dan pemerintah-masyarakat
• Menimbulkan monopoli pegusahaan kehutanan di kalangan pengusaha besar.

Permasalah tersebut merupakan dampak yang ditimbulkan pengelolaan hutan yang bersifat sentralistik. Di level undang-undang, diakui banyak pihak terdapat beberapa kontradiksi dalam Undang-undang Nomor 22/1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU kehutanan. Semangat otonomi daerah bahkan secara implicit sampai desa, dimana daerah Kabupaten mampu mengelola wilayahnya sendiri, termasuk kawasan hutannya, tidak terjadi pada Undang-undang Kehutanan, dimana perijinan masih dominant berada di tangan Menteri.
Bntuk dan model penelolaan hutan Adat, hutan Kampung, Simpuluk (Kalimantan) Parak (sebagai salah satu asset Nagari di Sumbar), Repong Damar, Hutan Pekon, Hutan Desa dll, sudah eksis dan sebagai sumber penghidupan dan perekonomian lokal. Berbagai model pengelolaan hutan oleh masyarakat tersebut, di samping berbasis individu juga kental dengan semangat komunalisme, karena merupakan asset wilayah desa, kampong atau nagari. Aset-aset tersebut jika dicermati adalah sebagai sumber kekayaan desa yang diharapkan mampu mendorong percepatan pembaharuan des dan masyarakatnya.


Otonomi Desa
Setelah sekian tahun berjalan, sampai saat ini masyarakat desa masih belum menerima dampak positif dari desentralisasi. Apalagi dalam pengelolaan sumber daya alam, terutama untuk kawasan suaka alam dan kawasan konservasi yang merupakan hak prerogratif pemerintah pusat, sehingga masyarakat seringkali hanya menjadi objek. Pada saat desa diberi otonomi penuh, maka yang akan terjadi adalah konflik antara Bupati dengan Kepala Desa. Selain itu apabila desa diberikan diberikan keleluasaan untuk membuat BUMDes dan BUMDes diberikan keleluasaan untuk membuat kerjasama dengan pihak luar, maka BUMDes bisa menjadi jalur bagi masuknya modal asing. Apabila ini terjadi maka bagaimana akan mewujudkan kesejahteraan sebanyak-banyak rakyat? Bebarapa pemikiran yang mengkhwatirkan dampak dari globalisasi dan terbukanya transaksi Desa dengan pihak luar, cukup beralasan. Jika transaksi tanpa kendali dalam koteks desa secara otonom mempunyai kewenangan penuh dalam menentukan dirinya sendii.

Apakah Itu Hutan Desa?
Desa sejak dahulu tidak sekedar dipahami sebagai pemerintah desa , tetapi seperti Negara juga mecakup wilayah, masyarakat, dan juga pengakuan dari luar, dalam hal ini Negara. Desa biasanya mempunyai wilayah pengakuan desa yang dikelola baik sebagai sumber pendapatan ekonomi, konservasi maupaun kedaulatan desa. Wilayah itu bisa berwujud hutan dan atau tanah desa atau sering disebut tanah ulayat atau tanah adat. Kemudian karena kondisi social politik Negara yang kemudian menetapkan semua wilayah hutan yang secara formal tidak dibebani hak milik menjadi kawasan hutan Negara, mengakibatkan wilayah pengakuan desa pun secara otomatis diambil alih oleh Negara menjadi yang kita kenal sekarang adalah Hutan Negara. Padahal kalau kita baca monografi desa-desa pasti masih terdapat hutan-hutan yang masuk wilayah administrasi desanya. Tetapi ralitanya desa dan masyarakatnya hanya menjadi penonton dan kena getah petama kali jika terjadi masalah pada hutan-hutan tersebut.
Konfigurasi penyeragaman seperti terlihat dalam UU No. 05 tahun 1974 yang disusul pelemahan desa menjadi hanya sekedar wilayah administrasi terkecil di bawah kecamatan yang tidak mempunyai kekuasaan mengatur diri sendiri, mengakibatkan berubahnya struktur, posisi bahkan wilayah desa. Terjadi banyak pemekaran dan atau penggabungan desa-desa yang sering kali memandang fakator asal-usul dan kesejarahan, sehingga praktis identitas dwsa asal sebagai suatu wilayah otonom menjadi kabur dan bahkan hilang.


Sejak tumbangnya pemerintahan Orde Baru, kemudian memasuki era Reformasi timbul semangat dan tuntutan baik dari arus bawah maupun tekanan internasional untuk melakukan tata pemerintahan yang baik dan demokrtatis pada semua sector. Wacana otonomi daerah mulai diimplementasikan dengan dikeluarkannya UU no. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU no. 25 tahun 1999, tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Undang-undang kehutanan meski belum sepenuhnya ideal tetapi sudah ditetapkan dan menjadi acuan pengelolaan hutan Indonesia. Undang-undang kehutanan yang pada konsideren juga mengacu pada Undang-undang Agraria dan Undang-undang pemeritahan daerah, meski tida konsisten tetapi sedikit banyak terdapat semangat pengelolaan hutan berbasis masyarakat dan penyerahan sebagian urusan kepada daerah kabupaten.
Awang (2003) membagi pengertian Hutan Desa dari beberapa sisi pandang, yaitu :
(a) dilihat dari aspek territorial, hutan desa adalah hutan yang masuk dalam wilayah administrasi sebuah desa definitive dan ditetapkan oleh kesepakatan masyarakat
(b) dilihat dari aspek status, hutan desa adalah kawasan hutan Negara yang terletak pada wilayah administrasi desa tertentu dan ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan desa.
(c) Dilihat dari aspek pengeloaan, hutan desa adalah kawasan hutan milik rakyat dan milik pemerintah (hutan Negara) yang terdapat dalam satu wilayah administrasi desa tertentu dan ditetapkan secara bersama-sama antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat sbaai hutan desa yang dikelola oleh organisasi masyarakat desa.

Sementara Dama (1999) pada awal menggulirkan konse hutan desa mendefinisikan hutan desa seagai kawasan hutan Negara yang masuk dalam wilayah desa tertentu dan dikelola oleh masyarakat desa tertentu. Satu defenisi yang masih cenderung mengikuti bahasa undang-undang. Dalam perjalanannya ketika berinteraksi langsung di lapangan, membicarakan pengelolaan hutan di desamemang harus holistic dan integrasi dengan pembangunan pedesaan. Sebagai satu kesatuan wilayah maka dari aspek status pengeloaan hutan desa harus mencakup status hutan Negara dan hutan rakyat yang ada di desa tersebut. Lembaga dan actor pengelola akan tergantung pada kesiapan dan kondisi masing-masing lokasi. Yang pasti masyarakat desalah sebagai actor utama pengelola, meskipun nantinya berbetuk kelompok tani, badan hukum perkumpulan, koperasi dan lain sebagainya.
Pada tingkat peraturan, seperti Kepmendagri No. 64 / 1999 dan juga berbagai peraturan turunan PP No. 25/2000, menyebutkan hutan desa sebagai salah satu sumber kekayaan desa. Penyebutan tanpa penjelasan tersebut di samping menimbulkan berbagai pertanyaan tetapi juga menjadi peluang untuk mengimplementasikan konsep hutan desa, tidak mesti menunggu definisi baku dari pemerintah, tetapi bisa berangkat dari kesepakatan masing-masing elemen desa, yang mestinaya bisa diperkuat hanya dengan peraturan desa.

Mensejahterahkan Masyarakat Pedesaan dengan Hutan Desa
Masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan mendapat akses legal untuk mengelola hutan negar dimana mereka hidup dan bersosialisasi. Hutan Negara yang dapat dikelola oleh masyarakat pedesaan disebut Hutan Desa. Pemberian akses ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Kehutanan No: P.49/Menhut-II/2008, tentang hutan desa, yang ditetapkan pada tanggal 28 Agustus 2008. Adapun kawasan hutan yang dapat ditetapkan sebagai areal kerja hutan desa adalah hutan lindung dan hutan produksi yang belum dibebani hak pengelolaan atau ijin pemanfaatan, dan berada dalam wilayah administrasi desa yang bersangkutan. Penetapan areal kerja hutan desa dilakukan oleh Menteri Kehutanan berdasarkan usulan Bupati/Waikota
Untuk dapat mengelola hutan desa, Kepala Desa membentuk Lembaga Desa yang nantinya bertugas mengelola hutan desa yang secara fungsional berada dalam organisasi desa. Yang perlu dipahami adalah hak pengelolaan hutan desa ini bukan merupakan kepemilikan atas kawasan hutan, karena itu dilarang memindahtangankan atau mengagunkan, atau mengubah status dan fungsi kawasan hutan. Intinya hak pengelolaan hutan desa dilarang digunakan untuk kepentingan di luar rencana pengelolaan hutan, dan harus dikelola berdasarkan kaidah-kaidah pengelolaan hutan lestari. Lembaga Desa yang akan mengelola hutan desa mengajukan permohonan hak pengelolaan kepada Gubernur melalui Bupati/Walikota. Apabila disetujui, hak pengelolaan hutan desa diberikan untuk jangka waktu paling lama 35 tahun, dan dapat diperpanjang setelah dilakukan evaluasi yang dilakukan paling lama setiap lima tahun sekali.
Apabila di areal Hak Pengelolaan Hutan Desa terdapat hutan alam yang berpotensi hasil hutan kayu, maka Lembaga Desa dapat mengaujkan permohonan Inin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) hutan alam dalm Hutan Desa. Dan apabila areal hak Pengelolaan Hutan Desa dapat dikembangkan hutan tanaman, maka Lembaga Desa dapat mengajukan permohonan IUPHHK Hutan Tanaman dalam Huan Desa. Namun dalam pemanfaatannya mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam maupun hutan tanaman. Selain itu pemungutan dibatasi paling banyak 50m3 tiap lembaga desa pertahun.
Dengan mendapat hak pengelolaan hutan desa, masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan bepotensi sangat besar dalam meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Hal ini dimungkinkan karena pemegang hak pengelolaan hutan desa berhak memanfaatkan kawasa, jasa lingkungan, pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Namun untuk di hutan lindung tidak diijinkan memanfaatkan dan memungut hasil hutan kayu. Dalam memanfaatkan kawasan hutan desa, baik yang berada di kawasan hutan lindung maupun hutan produksi masyarakat dapat melakukan bebagai kegiatan usaha, yaitu budidaya tanaman obat, tanaman hias, jamur, lebah, penangkaran satwa liar atau budidaya pakan tenak. Sedangkan dalam pemanfaatan jada lingkungan dapat melalui kegiatan usaha jasa aliran air, pemanfaatan air, wisata alam, perlindungan keanekaragaman hayati, penyelamatan dan perlindungan lingkungan, atau penyerapan dan penyimpanan karbon.
Hasil identifikasi desa yang berada di dalam dan di sekitar kawasan hutan tahun 2007 yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan dan Biro Pusat Statistik di 15 Propinsi, yaitu Sumut, Sumbar, Riau, Sumsel, Bangka Belitung, Jateng, Bali, NTB, NTT, Kalbar, Kalteng, Kaltim, Kalsel, Sultra, dan Maluku, terdapat 31.957 desa. Dengan rincian 1.305 desa terdapat di dalam kawasan, 7.943 berada di tepi kawasan hutan, dan 22.709 berada di luar kawasan hutan. Dengan hasil identifikasi ini, ke depan diharapkan penerbitan Peratuan Menteri tetang Hutan Desa ini dapat diimplementasikan sesuai dengan harapan, yaitu membeikan akses kepada masyarakat setempat melalui lembaga desa, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat secara berkelanjutan.

Kesimpulan
Pengelolaan hutan yang bersifat sentralistik selama ini telah membawa dampak yang sangat merugikan bagi kelestariam alam dan lingkungan serta system social di tengah masyarakat daerah. Sejalan dengan semangat otonomi daerah yang telah mulai dilaksanakan dalam penyelenggaraan pemerintahan saat ini maka diperlukan juga adanya desentralisasi pengelolaan hutan.
Dengan Desentralisasi kehutanan diharapkan dapat dijawab berbagai permasalahan dalam pengelolaan hutan yang dialami selama ini. Melalui desentralisasi kehutanan dapat dilakukan perencanaan dan penetapan regulasi pengelolaan hutan secara lebih spesifik sesuai dengan karakteristik masing-masing daerah. Hal itu dimungkinkan dengan dilibatkan dan diberikannya wewenang yang memadai bagi daerah dalam perencanaan, penetapan regulasi dan pengelolaan hutan tersebut. Pemberian akses ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 49/Menhut-II/2008, tentang Hutan Desa, yang ditetapkan pada tanggal 28 Agustus 2008. Adapun kawasan hutan yang dapat ditetapkan sebagai areal kerja hutan desa adalah hutan lindung dan hutan produksi yang belum dibebani hak pengelolaan atau ijin pemanfaatan, dan berada dalam wilayah administrasi desa yang bersangkutan.

Upacara Cuci Negeri Soya

MENGENAL UPACARA ADAT “CUCI NEGERI”
DI SOYA MALUKU

Sejarah adat cuci negeri soya

Dengan kawasan yang 93% areanya berupa laut serta sejumlah pulau besar maupun kecil mencapai 1.422. Maluku ibarat refleksi kepulauan Indonesia kecil yang berbeda dari provinsi lain. Lepas dari kerusuhan yang bernuansa SARA pada 1999 silam, kota ini mulai bangkit menata diri untuk kembali siap menerima wisatawan.
Jika harus mengekslorasi seluruh pulau, katakanlah satu hari untuk setiap pulau, dibutuhkan waktu hampir empat tahun sebelum semuanya terjelajahi. Sebagai langkah awal kita bisa memilih Ambon, sebagai ibukota provinsi ini, sebagai lembar pembuka bagi anda untuk menjelajahi pulau-pulau lain karena tidak pernah ada kata cukup buat Maluku!
Setelah menempuh perjalanan melalui udara, akhirnya kita sampai di Bandara Pattimura, Ambon. Bandaa yang terletak di kawasan Laha ini berjarak sekitar 50km dari kota Ambon. Menelusuri Teluk Ambon yang tenang, di kiri kanan jalan masih terlihat bekas bangunan tempat ibadah maupun rumah tinggal yang hancur dan ditinggalkan akibat kerusuhan. Selainbekas tersebut sebagai bukti nyata, rasanya tidak percaya kalau kerusuhan besar itu pernah terjadi di negeri ini. Melewati Pasar Amans, pasar terbesar di Ambon yang terletak di pinggir pantai, dinamika kota ini mulai terasa. Pada pedagang berbaur dan berinteraksi menjajakan aneka sayur dan ikan segar.
Setelah check in dan beristirahat sejenak di hotel, kita bisa memulai perjalanan ke Desa Soya yang hanya berjarak 5km dari kota Ambon. Desa Soya adalah desa adat tertua di Ambon, tiba di Soya berarti anda berada pada sebuah ujung di mana jalan tak lagi dapat dilalui mobil. Gereja, balai pertemuan serta rumah raja benuansa hijau dan kuning gading dalam suasana desa yang asri. Raja merupakan simbol pemerintahan pada desa-desa adat yang masih diakui hingga kini oleh masyarakat Ambon. Bersama pendeta dan guru, mereka menjadi pilar penyokong perkembangan kawasannya. Biasanya rumah raja terletak satu kawasan dengan gereja dan balai pertemuan rakyat.
Gereja Soya sendiri baru selesai direnovasi pada 2004 lalu karena hancur saat kerusuhan 2002. Tidak ada yang tahu kapan tepatnya gereja ini dibangun, namun nisan yang tertanam pada dinding di ruang belakang tercatat 1817 bisa menjadi gambaran umur gereja ini. Naiklah ke Puncak Sirimau, menelusuri anak tangga batu sejauh 500m di mana anda dapat memandang kota Ambon dari puncak tertingginya. Di sini terdapat pula Tempayan Soya, tempayan tanah liat yang tertanam di tanah dan selalu terisi air. Tidak sembarangan orang yang bisa mengambil air yang digunakan masyarakat untuk melakukan kegiatan
Cuci Negeri menjelang perayaan Natal ini. Izin harus diberikan oleh tetua adat Soya jika tidak ingin sesuatu yang buruk menimpa. Percaya atau tidak, seorang pemuda pernah tersesat dan tidak bisa menemukan jalan kembali karena telah mengambil air tempayan tanpa izin. Ia baru ditemukan dua hari kemudian setelah pemuka Soya menggelar upacara adat.
Keunikan lain desa ini adalah baileo, tempat pertemuan adat satu-satunya di maluku yang terletak di ruangan terbuka, biasanya dibuat dalam bangunan rumah adat. Dengan batu-batu yang tersusun sejak zaman dahulu sebagai tempat duduk raja serta ketua adat perwakilan berbagai marga, di sinilah berbagai upacara adat penting seperti pelantikan raja, pembacaan pidato pertanggungjawaban tahunan raja hingga diskusi segala permasalahan desa digelar hingga kini.
Masjid Tua Yang Berpindah Sendiri ke Desa lain yang tak kalah menarik adalah Kaitetu di Hila, sekitar 40km arah utara kota Ambon tempat Masjid Wapaue yang dibangun pada 1414. Setelah melewati kawasan Telagakodok, sepanjang pantai mulai dari Hitu, anda akan melalui kampung-kampung nelayan Muslim. Pemandangan Selat Seram dengan deretan kapal-kapal yang berlabuh terlihat begitu indah dari ketinggian. Di daerah Wakal, rumah beratap seng dan jerami terletak benar-benar di pinggir pantai. Iri rasanya membayangkan bagaimana setiap hari penduduk di sini bisa puas menikmati jernihnya laut dengan gradasi warna hijau dan birunya. Sebelum tiba di Hila, di sisi kanan jalan anda mendapat Benteng Amsterdam, bekas gudang rempah-rempah Portugis yang diambil alih oleh Belanda. Sayangnya, sejak kerusuhan benteng pinggir pantai ini dibiarkan tidak terawat padahal kondisi benteng sendiri masih cukup kokoh dengan beberapa meriam menghadap laut. Kawanan burung gereja memanfaatkan menara benteng yang tinggi sebagai tempat bersarangnya. Masjid Wapaue terletak tidak jauh dari benteng ini. Masjid berusia nyaris enam abad tersebut hingga kini masih digunakan masyarakat Muslim Kaitetu untuk beribadah. Ada cerita unik di balik keberadaan masjid yang dibangun tanpa menggunakan paku ini. Awalnya masjid dibangun di atas Gunung wawane, pegunungan di balik desa ini. Karena bangsa Belanda yang datang sejak 1580 di kawasan ini kerap mengganggu kedamaian penduduk saat melaksanakan ibadah, pada 1614 masjid dipindahkan dan didirikan kembali di daerah Tehala, 6km arah timur Gunung Wawane. Kawasan yang banyak ditumbuhi pohon mangga hutan atau wapaue dalam bahasa setempat.
Pada 1646, Belanda berhasil menguasai seluruh kawasan ini, karena alasan politis, seluruh penduduk yang tinggal di daerah pegunungan diharuskan turun ke daerah pesisir, termasuk masyarakat tehala. Anehnya di suatu pagi saat masyarakat terbangun dari tidur, Masjid Wapaue yang ditinggal di Tehala tiba-tiba telah ikut turun lengkap dengan segala perlengkapannya. Entah mukjizat atau konstruksi masjid yang tanpa paku memungkinkan masyarakat kala itu melakukan bongkar-pasang. Pastinya, dalam masjid mungil beratap rumbia ini, terdapat beberapa peninggalan yang masih bisa anda lihat seperti Al-Quran tulisan tangan di atas kulit kayu yang kerap diikutsertakan dalam Festival Istiqlal di Jakarta, timbangan zakat dari batu karang, tongkat Kyai Irak, serta bedug kayu tua yang telah ada sejak awal pendirian masjid dan masih dipergunakan hingga kini.

Pesona Bawah Laut Ambon

Kunjungan ke Ambon tidak akan lengkap bila anda tidak mencoba aktivitas airnya. Ambon menawarkan banyak pilihan pantai untuk sekedar bermain air, berenang dengan santai, snorkeling hingga meyelam. Salah satu tempat menyelam yang bisa dikunjungi adalah Tanjung Setan, spot penyelaman berarus tenang di Ambon saat angin timur berhembus (April-Oktober). Sebaliknya saat angin barat berhembus (November-Maret) pilihan datang dari pantai-pantai di bagian selatan seperti Namalatu, Pintu Kota dan Hukurila.
Dunia bawah laut memang menawarkan sesuatu yang sangat berbeda, hilir-mudik ikan dengan warna-warni karang membuat mata sayang untuk berkedip. Ada barrel sponge berdiameter 60cm, karang daun (gorgonians), aneka siput laut (nudibranch), kerang (oyster) yang cangkangnya terbuka dan tertutup, rombongan ikan lema, bubble coral, pari yang melintas cepat, Ambonese Lion fish dan masih banyak lagi. Ubur-ubur (jellyfish) transparan dengan warna orange di tengahnya yang melintas di depan mata.
Pilihan aktivitas lainnya datang dari Pantai Natsepa, sekitar 13km utara kota Ambon. Selain hamparan pasir putih panjang yang menyenangkan untuk bermain atau berenang. Satu hal yang tidak boleh dilewatkan di sini adalah rujaknya. Dijajakan pada warung yang berjajar di tepi pantai, bumbu rujak yang kental dan kaya kacang membuat lidah tak rela menyisakan hingga jilatan terakhir. Sagu gula dan pisang goreng besarnya juga jangan sampai dilewatkan. Es kelapa muda segar menjadi menu penutup yang sempurna.
Untuk urusan laut, Ambon memang tiada duanya. Dari Natsepa, anda bisa melanjutkan perjalanan sekitar 25km ke arah utara. Di sini anda akan kembali menemukan pantai berpasir putih dengan gradasi hijau muda yang sayang untuk dilewatkan yaitu Pantai Liang. ketika hari cerah, dari jety anda bisa melihat dengan jelas siluet Pulau seram, pulau terbesar di Maluku, termasuk ferry-ferry pengangkut penumpang dari dan ke pulau itu. Di jarak yang lebih dekat ada Pulau Pombo dan Pulau Dua. Jika datang saat bukan hari libur,pantai ini bisa jadi milik anda pribadi karena tidak ada orang lain yang datang.
Anda bisa bersantai sambil berharap lumba-lumba muncul di kejauhan. Liang memang menjadi lintasan rutin mamalia cerdas ini, sayangnya waktunya tidak menentu.
Untuk mendapatkan matahari tenggelam, pantai-pantai di kawasan selatan jagonya. Sambil menunggu matahari terbenam, pada arah yang sama dengan pantai-pantai tersebut di sekitar Amahusu, terdapat Museum Siwalima yang bisa dikunjungi. Siwalima sendiri berarti "satu untuk semua, semua untuk satu" semangat yang mempersatukan orang Maluku dan biasa diimplikasikan pada tiang baileo, sembilan tiang untuk panjang dan lima tiang untuk lebarnya.
Museum Siwalima terdiri dari dua bangunan. Bagian atas yang menghadap Teluk Ambon berisi gambaran kehidupan masyarakat Maluku, mulai dari pakaian, rumah adat, senjata, kerajinan, peninggalan Portugis dan belanda termasuk alat magis yang digunakan saat kepercayaan animisme dan dinamisme masih dianut sebelum agama masuk. Bangunan bagian bawah menampilkan Kehidupan Laut Maluku. Tiga fosil paus besar yang menyita hampir seluruh ruangan akan menarik perhatian anda. Yang terbesar 25m, fosil Paus Biru (Balaenoptera musculus), jenis paus terpanjang di dunia yang terdampar di Pulau Buru pada 1987. Paus yang sama dalam ukuran lebih kecil, 15m ditemukan di daerah Suli pada 2003. Yang paling kecil 11m, yaitu paus bergigi, ditemukan terdampar di Pantai Latuhalat 1990.
Perjalanan bisa dilanjutkan menuju ke Aerlow untuk mengunjungi Pintu Kota. Menghadap langsung ke Laut Banda, Pintu Kota menawarkan sensasi gemuruh ombak besarnya. Sebuah karang raksasa dengan lubang di tengah ibarat pintu pasti manjadi asal nama tempat ini. Untuk mereka yang suka menyelam, sekitar 50m lepas pantai dari pintu tersebut terdapat pintu yang sama di bawah laut. Kawasan ini menjadi titik penyelaman yang luar biasa bagi para penyelam yang telah berpengalaman karena arusnya yang kuat.
Naiklah ke atas bukit karang untuk menyaksikan batu-batu raksasa laksana paus yang muncul dan tenggelam saat ombak besar bergulung. Memandang ombak keras dan karang-karang besar ini, akan mengingatkan kita pada Tanah Lot di Bali. Sementara pemandangan hijau perbukitan di belakang seakan mengantar kita ke Samosir di Toba, perpaduan yang sangat unik!
Perjalanan terakhir, kita bisa menuju Tanjung Nusaniwe. Tempat ini merupakan ujung terluar Pulau Ambon bagian selatan, di depannya membentang Tanjung Alang, ujung Pulau Ambon di bagian utara. Berdiri di titik ini berarti anda berada di pintu masuk laut kota Ambon. Di Tanjung Nusaniwe ini, sedikit di tengah lautnya terdapat Batu Konde, yang bentuknya mirip konde namun kini bagian belakangnya patah karena terus-menerus diterpa ombak yang keras. Batu ini tercipta akibat letusan Gunung Banda. jangan coba berenang di tempat ini, karena arusnya keras dan laut di sini langsung dalam namun memancing merupakan pilihan yang aman. Bila anda beruntung, saat berdiri di sini anda bisa melihat beberapa ikan cakalang (tongkol) besar yang melompat ke atas permukaan air karena adanya pertemuan arus.
Mengenal Budaya Upacara Adat ‘Cuci Negeri’ di Soya
Upacara Adat “Cuci Negeri” sejak dulu menarik perhatian banyak wisatawan baik dalam maupun luar negeri, serta para ilmuan. Menurut sumber yang ada, pada waktu dulu Upacara Adat Cuci Negeri berlangsung selama lima hari berturut-turut. Segera setelah musim Barat (bertiupnya angin barat) yang jatuh pada bulan Desember, Upacara Cuci Negeri dimulai. Mereka percaya bahwa dengan bertiupnya angin barat akan membawa serta datuk-datuk. Pada malam hari menjelang hari pertama dengan dipimpin oleh “Upu Nee” initiator), para pemuda berkumpul di Samorele. Mereka mengenakan “cidaku” (Cawat), sedangkan mukanya dicat hitam (guna penyamaran). Sebaliknya, semua wanita dilarang keluar rumah.
Para pemuda dengan dipimpin oleh Upu Nee menuju ke Sirimau tempat bersemayam Upulatu yang didampingi oleh seekor Naga. Upu Nee berjalan mendahului rombongan dan memberitahukan Upulatu bahwa, para pemuda akan datang dari clan-clan dimana mereka berasal.
Menjelang tengah malam, para pemuda yang ada didudukan dalam posisi bertolak belakang. Dalam keadaan seperti itu, datanglah Naga menelan mereka, dan menyimpan mereka selama lima hari dalam perutnya. Pada tengah hari pada hari kelima, Naga kemudian memuntahkan mereka. Masing-masing orang dari mereka kemudian menerima tanda, suatu lukisan berbentuk segi tiga pada dahi, dada, dan perut. Sementara itu, para wanita dan orang-orang tua telah membersihkan Samasuru dan Negeri.
Menjelang tengah hari, turunlah Upulatu bersama pemuda-pemuda tadi dari tempat Naga menuju Samasuru. Di sana, keluarganya telah menunggu. Dalam prosesi tersebut, lagu-lagu tua dan suci dinyanyikan (suhat) Raja / Upulatu mengambil tempat pada batu tempat duduknya (PETERANA) dan berbicaralah Raja dari tempat itu (Batu Stori Peterana) sambil menengadahkan mukanya ke Gunung Sirimau.

Sejarah mengenai jasa-jasa pekerjaan-pekerjaan besar dari para datuk-datuk, sifat kepahlawanan mereka diceritakan kepada semua orang yang sedang berkumpul. Permohonan-permohonan dinaikan kepada Ilahi (dalam bentuk KAPATA) yang antara lain berkisa kepada penyelamatan Negeri Soya beserta penduduknya dari bahaya, penyakit menular dan mohon kelimpahan berkah, Taufik dan Hidayat-Nya kepada semua orang. Selesai ini semua, semua orang pun berdiri dan dua orang wanita (Mata Ina) yang tertua dari keluarga (Rumah Tau), Upulatu melilitkan sebuah pita yang berwarna putih melingkari orang itu (Kain Gandong Sekarang).
Dari cerita tua ini, nampak jelas pengaruh dari Upacara Tanda ala KAKEHANG di Seram Barat. Dapat ditarik kesimpulan bahwa pada waktu dulu Upacara Adat di Baileo (Samasuru) dilakukan untuk merayakan para pemuda yang lulus dari upacara initiati di puncak Gunung Sirimau tersebut. Kemudian setelah masuknya agama Kristen yang dibawa oleh orang Portugis dan Belanda maka penyelenggaraan upacara ini mengalami perubahan bentuk. Selanjutnya dengan cara evolusi yang terjadi di dalam masyarakat yang meliputi segi pendidikan, kerohanian, sosial, dan lain-lain, sebagaimana penyelenggaraannya dalam bentuk sekarang.
Maksud Dan Tujuan
Maksud dari penyelenggaraan dan perayaan upacara adat tiap tahun di Negeri Soya oleh penduduk serta semua orang yang merasa hubungan keluarganya dengan Negeri Soya bukan semata-mata didasarkan oleh sifatnya yang tradisionil, tetapi lebih dari itu, dimaksudkan untuk memelihara, dan atau menghidupkan secara terus menerus kepada generasi sekarang maupun yang akan datang, berkenaan dengan, sifat dan nilai-nilainya yang positif.
Tidak dapat disangkal bahwa dari keseluruhan upacara adat ini, terdapat sejumlah hal penting antara lain, persatuan, musyawarah, gotong royong, kebersihan, dan toleransi. Unsur-unsur tersebut di atas yang menjadikan upacara adat cuci negeri dapat bertahan sampai saat ini. Maksud perayaan penyelenggaraan setiap kali menjelang akhir tahun tersebut dapatlah dijelaskan bahwa datuk-datuk/para leluhur dahulu memilih waktu pelaksanaan upacara adat tersebut tepat di bulan Desember, saat permulaan musim barat (waktu bertiup angin darat). Menurut kepercayaan mereka pada waktu itu, arwah leluhur biasanya kembali dari tempat-tempat peristirahatannya ke tempat-tempat dimana mereka pernah hidup.
Disamping itu, ada kepercayaan bahwa sehabis musim timur/hujan, biasanya keadaan yang diakibatkan selama musim hujan itu sangat banyak, antara lain : tanah longsor, rumah-rumah bocor, pagar dan jembatan rusak, sumur-sumur menjadi kotor dan banyak lagi hal-hal lain yang harus dibersihkan, dibetulkan, diperbaharui. Untuk membenahi hal-hal yang diakibatkan oleh kejadian alam tersebut, maka para datuk-datuk menyelenggarakan upacara serta aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan penataan negeri dari berbagai kerusakan yang terjadi.
Dengan masuknya agama Kristen yang dibawa oleh Bangsa Barat, maka beberapa hal yang berbau animisme dan dinamisme ditanggalkan dan disesuaikan dengan ajaran Kristen seperti: meniadakan persiapan-persiapan untuk menyambut arwah-arwah leluhur. Makna kegiatan ini juga kemudian dikaitkan dengan ajaran Kristen dalam kaitannya dengan persiapan-persiapan perayaan Natal. Makna dari cuci negeri ini lebih ditonjolkan dengan maksud untuk mempersiapkan masyarakat dalam menyambut Anak Natal.
Upacara Cuci Negeri dengan demikian lebih bersifat menyucikan diri dari perasaan perseteruan, kedengkian, curiga-mencurigai (Simbolnya pada : turun mencuci tangan, kaki, dan muka di air Wai Werhalouw dan Unuwei). Dari segi keagamaan, penyelenggaraan ini yang kebetulan berlangsung pada awal bulan Desember mempunyai makna yang luas dalam menyongsong dan menyambut hari Raya Natal, Kunci Tahun dan Tahun Baru. Kesibukan di hari-hari ini sekaligus merupakan hari-hari atau minggu advent untuk persiapan perayaan hari raya berikutnya dengan keadaan yang cukup baik.
Adapun proses jalannya upacara adat “Cuci Negeri” dapat dijelaskan sebagai berikut :
Rapat Saniri Besar
Upacara Adat Cuci Negeri biasanya diselenggarakan pada setiap minggu kedua bulan Desember. Sebelum pelaksanaan upacara, pada tanggal 1 Desember selalu diadakan Rapat Saniri Besar, dimana berkumpul semua orang laki-laki yang dewasa, bersama Badan Saniri Negeri, serta Tua-Tua Adat untuk bermusyawarah membicarakan persoalan Negeri. Dalam musyawarah ini, terjadi dialog antara pemerintah dan rakyat secara langsung mengenai berbagai hal yang telah dipersiapkan oleh Saniri atas dasar Surat Masuk maupun yang langsung disampaikan oleh rakyat yang hadir pada saat itu. Pada rapat inilah, masalah upacara adat dibicarakan.
Pembersihan Negeri
Pada hari Rabu minggu kedua bulan Desember semua rakyat diwajibkan keluar untuk membersihkan negeri secara gotong royong. Pembersihan tersebut dimulai dari depan Gereja sampai ke Batu Besar, pekuburan, dan Baileo. Dalam kerja ini, Seorang wanita yang baru saja kawin dengan seorang pemuda Negeri Soya diterima sebagai “Mata Ina Baru” yang wajib mengambil bagian dalam upacara ini untuk menunjukkan ketaatannya kepada adat Negeri Soya. Berkenaan dengan pembersihan Baileo, proses ini diawali oleh Kepala Soa Adat yang biasanya disebut “pica baileo”. Proses ini kemudian dilanjutkan oleh setiap anak negeri Soya yang hadir pada saat itu. Yang menonjol dari suasana pembersihan negeri ini adalah suasana gotong royong, kekeluargaan, dan persatuan.
Naik Ke Gunung Sirimau
Pada hari Kamis malam minggu kedua, sekumpulan orang laki-laki yang berasal dari Rumah Tau tertentu (Soa Pera) berkumpul di Teong Tunisou untuk selanjutnya naik ke Puncak Gunung Sirimau. Dengan iringan pukulan tifa, gong, dan tiupan “Kuli Bia” (kulit siput). Di sana, mereka membersihkan Puncak Gunung Sirimau sambil menahan haus dan lapar.
Turun dari Gunung Sirimau dan Penyambutan di Rulimena
Keesokan harinya, Jumat sore, orang-orang laki-laki yang sejak malam berada di puncak Gunung Sirimau turun dari Gunung Sirimau. Mereka kemudian disambut untuk pertama kalinya di Soa Erang (Teung Rulimena). Di sana mereka dijamu dengan sirih pinang, serta sopi.. Setelah itu rombongan menuju baileu. Di Baileo mereka disambut oleh Mata Ina dengan gembiranya.
Upacara “Naik Baileo” Samasuru
Mempersiapkan upacara Naik Baileo, rombongan “mata Ina” (ibu-ibu) dengan iringan tifa gong, pergi menjemput Upulatu (Raja) serta membawanya ke Baileo, semen-tara seluruh rakyat telah ber-kumpul di Baileo menantikan Raja dan rombongan. Di pintu Baileo, Upulatu disambut oleh seorang Mata Ina dengan ucapan selamat datang serta kata-kata penghormatan sebagai berikut :: “Tabea Upulatu Jisayehu, Nyora Latu Jisayehu, Guru Latu Jisayehu.
Upu Wisawosi, Selamat datang - Silahkan Masuk ” - Raja kemudian memasuki Baileu dan saat itu upacara segera dimulai.
Dengan iringan tifa dan gong yang bersemangat, para “Mata Ina” secara simbolik membersihkan baileu dengan sapu lidi dan gadihu, suatu tanda berakhirnya pembersihan negeri secara keseluruhan. Setelah itu, Upulatu melanjutkan acara dengan menyampaikan titahnya kepada rakyat. Titah itu mempunyai arti yang besar bagi rakyat, yang oleh rakyat dipan-dang sebagai suatu pidato tahun-an yang disampaikan oleh Raja. Tita Upulatu kemudian dilanjut-kan oleh Pendeta (Guru Latu) yang selanjutnya dikuti dengan penjelasan tentang arti Kain Gan-dong oleh salah seorang Kepala Soa yang tertua. Selanjutnya Kepala Soa Adat melaksanakan tugasnya dengan “Pasawari Adat” atau “Kapata”, suatu ucapan dalam bahasa tanah yang dimaksudkan untuk memintakan dari Allah perlindungan bagi negeri, jauhkan penyakit-penyakit, memberikan panen yang cukup, serta pertambahan jiwa untuk negeri. Sesudah itu segera tifa dibunyikan dan “suhat” (Nyanyian Adat) mulai dinyanyikan. Pada garis besarnya nyanyian tersebut mengisahkan peringatan kepada Latu Selemau serta datuk-datuk yang telah membentuk negeri ini, penghormatan kepada tugu-tugu peringatan dari kedatangan Rumah-Tau (Teung serta penghargaan kepada air yang memberi hidup) (Wai Werhalouw dan Unuwei).
Kunjungan ke Wai Werhalouw dan Uniwei
Sambil menyanyi, rombongan terbagi dua, sebagian menuju air Unuwei, (anak Soa Erang dan Rakyat lainnya). Di sana setiap orang mencuci tangan, kaki, dll, kemudian rombongan yang datang dari air Unuwei berkumpul di Soa Erang (Teung Rulimena) sambil menantikan rombongan dari Wai Werhalouw (Soa Pera).
Persatuan Dalam “Kain Gandong”
Di Teung Tunisouw, telah dipersiapkan Kain Gandong yang kedua ujungnya dipegang oleh dua orang “Mata Ina” yang tertua dari Soa Pera membentuk huruf U menantikan rombongan yang naik dari Wai Werhalouw. Setelah rombongan ini masuk ke dalam Kain Gandong, maka Kain Gandong diputar-putar sebanyak tiga kali (sebutan orang Soya: Dibailele) mengelilingi rombongan, kemudian menuju rumah Upulatu Yisayehu. Dari sini, rombongan dari Tunisou melanjutkan perjalan-an menuju Soa Erang (Rulimena) untuk menjemput rombongan. di Soa Erang, rombongan dari Tunisou dielu-elukan oleh rombong-an Soa Erang yang kemudian menyatukan diri dalam Kain Gandong. Di tempat itu pula Kain Gandong diputar-putar sebanyak tiga kali mengelilingi rombongan yang telah bersatu tersebut. Rombongan Soa Pera dijamu oleh rombongan Soa Erang dengan hidangan ala kadarnya sebagai penghormatan dan rasa persatuan. Disamping itu, disediakan juga satu meja persatuan dengan makanan adat bagi para tamu yang tidak pergi ke Unuwei. Selanjutnya kedua rombongan yang telah bersatu dalam Kain Gandong tersebut sambil bersuhat menuju kembali ke rumah Upulatu.
Kembali Ke Rumah Upu Latu
Di rumah Upulatu, rombongan kemudian menggendong Upulatu dan istrinya dan orang tua-tua lainnya ke dalam kain gandong sambil berpantun. Dengan demikian lengkaplah seluruh unsur dalam negeri sebagai satu kesatuan. Prosesi ini menandai berakhirnya seluruh rangkaian upacara. Prosesi ini kemudian dibubarkan, dan Kain Gandong disimpan di rumah Upulatu. Para tamu yang ada kemudian dijamu dengan makanan adat di rumah Upulatu.
Pesta Negeri
Upacara Cuci Negeri akan menjadi lengkap dengan pesta negeri yang merupakan suatu ungkapan suka-cita, kebersamaan, dan kekeluargaan, atas semua proses upacara cuci negeri yang boleh dilakukan. Pesta ini biasanya sangat meriah karena dihadiri oleh seluruh rakyat. Pesta itu diisi dengan badendang, tifa, Totobuang, Menari, dll.
Cuci Air
Pada keesokan harinya, Sabtu, setelah berpesta semalam suntuk, semua orang menuju kedua air (Wai Werhalouw dan Unuwei) untuk membersihkannya. Hal ini dimaksudkan agar air selalu bersih untuk dapat digunakan oleh masyarakat.Demikian tulisan ini semoga bermanfaat dan menambah pengetahuan kita tentang Budaya Upacara Adat Cuci Negeri yang di Soya yang merupakan tradisi dari turun-temurun. Kiranya Kekayaan budaya ini akan menjadi tata kehidupan dalam menuntun hidup bermasyarakat di Negeri Soya.