Rabu, 13 April 2011

Soal Sosiologi Stratifikasi Sosial

Soal Sosiologi Kelas XI
Stratifikasi Sosial


1. Pengertian stratifikasi sosial menurut Chinoy adalah…
a. Stratifikasi sosial sebagai sistem kategori penjenjangan manusia dalam suatu masyarakat ke dalam suatu jenjang urutan dari atas ke bawah/hirarkis.
b. Stratifikasi atau pelapisan sebagai ketidaksamaan antara kelompok-kelompok manusia yang distrukturkan.
c. Stratifikasi adalah proses, struktur dan sekaligus masalah. Stratifikasi juga dapat dilihat sebagai masalah dimana ketidaksamaan soisial bertahan dalam masyarakat.
d. Stratifikasi sosial sebagai pembedaan anggota masyarakat berdasarkan status yang dimilikinya.
e. Stratifikasi sebagai penjenjangan masyarakat menjadi hubungan atasan-bawahan atau dasar kekuasaan, kekayaan dan kehormatan.

2. Pengertian Stratifikasi sosial menurut Kamanto Sunarto (2004 : 10) adalah…
a. Stratifikasi sosial sebagai pembedaan anggota masyarakat berdasarkan status yang dimilikinya.
b. Stratifikasi sebagai penjenjangan masyarakat menjadi hubungan atasan-bawahan atau dasar kekuasaan, kekayaan dan kehormatan.
c. Stratifikasi adalah proses, struktur dan sekaligus masalah. Stratifikasi juga dapat dilihat sebagai masalah dimana ketidaksamaan soisial bertahan dalam masyarakat.
d. Stratifikasi sosial sebagai sistem kategori penjenjangan manusia dalam suatu masyarakat ke dalam suatu jenjang urutan dari atas ke bawah/hirarkis.
e. Stratifikasi atau pelapisan sebagai ketidaksamaan antara kelompok-kelompok manusia yang distrukturkan.

3. Di bawah ini yang merupakan salah satu prinsip dasar stratifikasi sosial adalah…
a. Stratifikasi sosial tidak ada dalam masyarakat primitif.
b. Stratifikasi sosial merupakan ciri khas dari masyarat dan bukan sekedar refleksi dari perbedaan individual.
c. Stratifikasi sosial tampak jelas pada sistem feudal
d. Stratifikasi sosial erat kaitannya dengan sistem perbudakan
e. Stratifikasi sosal adalah susunan kehidupan masyarakat yang terdiri atas pola-pola hubungan-hubungan dan kedudukan-kedudukan yang memberikan kerangka organisasi masyarakat.

4. Di bawah ini yang merupakan jenis stratifikasi sosial adalah..
a. Sistem Kasta, sistem feudal dan sistem perbudakan
b. Kelas sosial, sistem feodal, sistem kasta
c. Perbedaan sosial dan sistem kasta
d. Sistem primitive, sistem feodal, kelas sosial dan sistem kasta
e. Sistem primitif, sistem feodal, sistem perbudakan, sistem kasta, sistem kelas dan sistem sosialisme Negara.

5. Keanggotaan dalam kasta ditentukan oleh :
a. Kekayaan
b. Kekuasaan
c. Kelahiran
d. Kelahiran dan prestise
e. Prestise dan kekayaan

6. Suatu proses stratifikasi yang membatasi kemungkinan pindahnya seseorang dari satu lapisan ke lapisan yang lain baik ke bawah maupun ke atas dinamakan…
a. Stratifikasi sosial
b. Open social Stratification
c. Closed sosial stratification
d. Sistem mobilitas sosial
e. Kelas masyarakat





7. Kedudukan seseorang dalam masyarakat tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan rohaniah dan kemampuan, keududukan tersebut diperoleh karena kelahiran disebut...
a. Assigned Status
b. Achieved Status
c. Status
d. Asscribed Status
e. Pernan sosial

8. Dasar dari inti lapisan masyarakat adalah tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban, kewajiban dan tanggungjawab nilai-nilai sosial pengaruhnya diantara anggota masyarakat merupakan inti lapisan sosil yang dikemukakan oleh :
a. Pitrim A. Sorokin
b. Emili Durkheim
c. Koentjaraningrat
d. Selo Soemardjan
e. Max Weber

9. Vilfredo Pareto, Gaetano Mosca, dan Robert Michels memberikan pengertian bahwa asas umum yang menjadi dasar bagi terbentuknya stratifikasi sosial, khususnya yang berkaitan dengan kekuasaan politik, adalah :
a. Kekuasaan politik tidak dapat didistribusikan secara merata
b. Kekuasaan politik dapat didistribusikan secara merata
c. Kekuasaan politik tidak dapat disampaikan secara menyeluruh
d. Kekuasaan politik dapat disampaikan secara menyeluruh
e. Kekuasaan politik dapat disampaikan secara merata

10. Di bawah ini merupakan faktor-faktor yang menyebabkan munculnya stratifikasi sosial dalam masyarakat, kecuali :
a. Adanya distribusi hak-hak istimewa dan wewenang
b. Prestise dan penghargaan
c. Faktor kebudayaan yang berbeda
d. Lambang-lambang kedudukan
e. Mudah atau sukarnya bertukar kedudukan

Senin, 11 April 2011

Peranan Antropologi dalam Pembangungan

PERAN SERTA ANTROPOLOGI DALAM MENGAKAJI MASALAH-MASALAH EKONOMI PEMBANGUNAN DI INDONESIA

Sebuah bibiliografi beranotasi yang memuat 2.493 judul karangan dan buku mengenai sekitar 40 masalah yang menyangkut pembangunan ekonomi, berjudul Development Change, susunan A.A Spitz (1967), sangat besar manfaatnya untuk memperoleh pandangan yang luas mengenai masalah-masalah ekonomi pembangunan, yang biasanya diperhatikan serta diteliti oleh para ahli ekonomi pembangunan dan ilmu-ilmu bantu lainnya. Bibiliografi itu juga menunjukkan peranan Antropologi dalam kajian masalah-masalah ekonomi pembangunan.
Adapun pendapat mengenai ruang lingkup ekonomi pembangunan yang seperti disebutkan oleh M. Bohnet dan H. Reichelt, dalam buku mereka, Apllied Research and Its Impact on Economic Development (1972). Mereka beranggapan bahwa ekonomi pembangunan, meliputi tidak kurang dari lima masalah untuk dikaji, yaitu : (1) masalah dualisme ekonomi yang ada antara ekonomi rakyat pedesaan dan ekonomi nasional berdasarkan perdagangan internasional, yang bertujuan mencapai taraf ekonomi industri; (2) masalah perdagangan internasional itu sendiri;(3) masalah strategi pembangunan ekonomi; (4) masalah manusia dari sikap mental manusia-manusia yang harus membangun ekonominya ; (5) konsepesi Marxisme dalam pembangunan nasional.
Antropologi dapat berperan serta dalam mengkaji masalah-masalah ekonomi pembangunan, keculai mungkin dalam masalah perdagangan internasional tepatnya pada butir (2) di atas, lebih-lebih kalau pembangunan nasional tidak hanya dikonsepsikan sebagai pembangunan ekonominya saja, tetapi juga sebagai pembangunan semesta yang menyangkut semua sektor kehidupan nasional, termasuk sektor kehidupan sosial, politik, agama dan budaya. Walaupun antropologi ekonomi pembangunan adalah ilmu terapan, dalam arti bahwa hasil kajiannya dapat segera dimanfaatkan oleh para perencana pembangunan untuk mengubah pengertian mereka mengenai masalah yang mereka hadapi, namun ilmu itu juga mempunyai aspek teori dan metodologi kajiannya.
Kemudian mengenai pembangunannya sendiri tentu juga ada masalah strategi atau kebijaksanaan pelaksanaannya, dan masalah mengenai sektor-sektor serta unsur-unsur apa yang ada dalam masyarakat yang akan dibangun, berikut masalah-masalah untuk dikaji antropologi ekonomi pembangunan (antropologi pembangunan) :


A. Masalah teori dan metodologi pembangunan
• Masalah dualisme ekonomi, atau kesenjangan antara ekonomi pedesaan dan ekonomi industri di Negara-negara yang sedang membangun.
• Masalah kesenjangan kemajuan sosial-budaya antara berbagai golongan sosial dan bagian-bagian tertentu dalam Negara-negara yang sedang membangun
• Masalah merangsang orientasi nilai budaya dan jiwa wiraswasta yang mendorong kemakmuran
• Masalah peranan agama dalam pembangunan.
B. Masalah kebijaksanaan pembangunan
• Aspek manusia dalam model-model perencanaan pembangunan
• Masalah arah pembangunan yang berbeda daripada arah pembangunan yang menuju ke masyarakat serupa masyarkat Eropa atau Amerika.
• Kajian antropologi mengenai pembangunan ekonomi Marxisme
• Aspek manusia dari pembangunan padat karya, atau pembangunan padat modal

C. Masalah sektor-sektor serta unsur-unsur yang dibangun dan akibat sosial budaya
• Masyarakat desa
• Penduduk (migrasi, urbanisasi, transmigrasi, dan KB)
• Lingkungan
• Kepemimpinan dalam pembangunan
• Perubahan sosial budaya akibat pembangunan
• Pendidikan sebagai masalah khusus dalam pembangunan
• Aspek manusia dalam reorganisasi administrasi dan pemerintahan
• Masyarakat majemuk dan integrasi nasional

Ke 16 masalah di atas dalam kenyataan kehidupan masyarakat tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan saling berkaitan. Masalah dualisme ekonomi misalnya, berkaitan dengan masalah orientasi nilai budaya dan jiwa kewirawastaan dalam pembangunan. Selanjutnya, masalah tersebut terakhir juga berkaitan dengan masalah manusia dalam model-model perencanaan pembangunan dan pembangunan padat karya, masalah pembangunan masyarakat desa, masalah perubahan sosial budaya akibat pembangunan, dan masalah pendidikan sebagai masalah khusus dalam pembangunan.
Masalah merangsang orientasi nilai budaya dan jiwa wiraswasta yang mendorong kemakmuran juga dapat kita perkirakan mempunyai kaitan-kaitan dengan masalah-masalah lain. Dalam hal ini antropologi terapan dapat menjalankan peranan yang penting. Penelitian yang terkenal mengenai masalah jiwa kewiraswastaan dalm pembangunan dilakukan oleh E. Hargen (1962) dan D.C Mc. Clelland (1961). Hagen menyarankan suatu teori umum mengenai aspek manusia dalam pembangunan, sedangkan McClelland, ahli psikologi, telah mengembangkan konsep mengenai hasrat kuat untuk mencapai kemajuan (achievement orientation) dalam mentalitas manusia sebagai dasar dari kemajuan masyarakat. McClelland juga meneliti masalah kuat lemahnya hasrat yang ada pada petani-petani di India, sedang ahli antropologi yang melakukan penelitian terhadap masalah yang sama adalah T.S Epstein (1962;1973).
Masalah peranan agama dalam pembangunan , menyangkut masalah aspek manusia dalam model-model perencanaan pembangunan, dan dengan sendirinya juga menyangkut serangkaian masalah lain. Kita mengetahui bahwa konsepsi mengenai peranan agama dalam pembangunan dikembangkan oleh ahli sosiologi Max Weber, dalam kajiannya yang terkenal mengenai pengaruh suatu agama yang bersifat puritan dan ketat, seperti agama Protestan Calvinis, pada pembentukan modal di Negara-negara Eropa Barat sejak abad ke-17. Antropologi pembangunan dapat juga mengambil peranan yang bermakna dalam penelitian-penelitian yang mengikuti konsepsi Max Weber, seperti penilaian yang dilaksanakan oleh C. Geertz di Jawa Timur dan Bali.
Masalah aspek manusia dalam model-model perencanaan pembangunan tentu berkaitan dengan masalah arah pembangunan yang berbeda daripada arah pembangunan yang menuju ke masyarakat serupa masyarakat Eropa Barat atau Amerika, Aspek manusia dari pembangunan padat karya, atau pembangunan padat modal, Masyarakat desa, Kepemimpinan dalam pembangunan, dan masalah Perubahan sosial budaya akibat pembangunan. Model pambangunan dalam rencana pembangunan nasional di berbagai Negara yang baru berkembang agaknya dikonsepsikan oleh ahli sejarah ekonomi W.W Rostow, yang ditulisnya dalam bukunya yang terkenal, Stages of Economic Growth (1961). Model itu mengkonsepsikan pembangunan ekonomi sebagai suatu proses yang berlangsung melalui lima tahap pertumbuhan, yang dikiaskannya ibarat sebuah pesawat terbang yang akan mulai terbang, yaitu 1) tahap traditional society, atau masyarakat tradisional, dimana pembangunan ekonomi diasumsikan akan dimulai ; 2) tahap preconditions for take-off, yakni tahap dimana masyarakat tradisional tadi mempersiapkan diri (melakukan ancang-ancang) untuk terbang, jadi untuk memasuki tahap industrialisasi, 3) tahap teke-off, tahap dimana semua faktor ekonomi sudah cukup kuat bagi ekonominya untuk tumbuh sendiri ; 4) tahap drive to maturity, atau tahap dimana ekonomi itu sudah mampu untuk berkembang menjadi makmur atas kekuatannya sendiri ; dan 5) tahap age of mass-consumption atau tahap dimana rakyat banyak telah menikmati hasil produksi massanya sendiri.
Terutama pada tahap 1 dan 2 di atas, terdapat banyak masalah untuk diteliti dengan pendekatan antropologi. Dalam tahap 1 segala macam hambatan berupa adat istiadat dan sikap mental yang kolot, pranata-pranata sosial dan unsur-unsur kebudayaan tradisional, harus digeser atau disesuaikan dengan keperluan hidup dalam masyarakat masa kini. Sementara itu tahap 2 mulai dilakukan, dimana hasil surplus produksi pertanian yang meningkat harus dapat dialihkan ke tangan golongan-golongan sosial yang memiliki kemampuan untuk mengubah surplus tadi menjadi modal kerja untuk membangun dengan menginvestasikan secara berhasil guna dan berdaya guna ke dalam usaha-usaha nonpertanian, sehingga diperoleh modal yang lebih besar lagi.
Golongan sosial yang mampu mengubah surplus produksi pertanian menjadi modal kerja untuk pembangunan usaha-usaha non pertanian adalah golongan sosial yang warganya terdiri dari banyak orang dengan sikap mental berwiraswasta yang bergerak dalam bidang perdagangan, jasa komuniksi, dan industri. Penelitian untuk mendapat lebih banyak pengertian mengenai hambatan dan dorongan yang memperlambat atau mempercepat proses pergeseran itu, dapat dilakukan dengan pendekatan antropologi.
Dalam berbagai masalah khusus yang menyangkut proses penggeseran dan penyesuaian dalam adat-istiadat dan sikap mental kolot, dan pranata-pranata sosial serta unsur-unsur kebudayaan tradisional dengan kehidupan masa kini, memang telah sangat banyak dilakukan penelitian antropologi, sering kali berupa kerjasama interdisiplin dengan para ahli psikologi, sosiologi, ilmu politik, dan ilmu-ilmu sosial lain. Contoh dari masalah khusus tadi adalah misalnya cara untuk menumbuhkan suatu sikap mental pada warga masyarakat tradisional untuk hidup hemat. Untuk dapat melakukannya, para perancang pembangunan perlu mengetahui arti dan sebab-sebab mengapa seseorang dianggap tidak hemat dalam kenyataan hidup masyarakat tradisional. Masalah serupa ini hanya dapat dipahami dengan penelitian pendekatan antropologi.
Masalah aspek manusia dari pembangunan padat karya, atau pembangunan padat modal, jelas merupakan masalah yang layak pula untuk diteliti dengan pendekatan antropologi ekonomi. Beberapa ahli antropologi malahan telah memperlihatkan bahwa asumsi dari berbagai ahli ekonomi pembangunan mengenai adanya kelebihan tenaga kerja tetapi kekurangan modal dalam masyarakat yang berada pada tahap persiapan untuk pembangunan tidak selamanya benar. R. Firth telah menunjukkan bahwa di Tikopea atau di Malaysia tenaga kerja malah kurang. Demikian juga D. Pitt menguraikan bahwa masyarakat Samoa yang mulai melakukan pembangunan ekonomi juga sangat kekurangan tenaga kerja (Pitt, 1970). Ahli antropologi H.K Schneider juga menunjukan bahwa dalam masyarakat tradisional di Negara-negara baru yang sedang mulai berkembang di Afrika Timur dan Selatan, masalahnya bukanlah kekurangan modal, karena modal dalam bentuk ternak terdapat dalam jumlah yang melimpah. Untuk dapat mengubah sistem peternakan tradisional menjadi peternakan modern, masalahnya disana adalah tenaga, yang jumlahnya sangat sedikit.
Masalah pembangunan masyarakat desa, sudah sejak zamannya pemerintah-pemerintah colonial dipermasalahkan dalam ilmu-ilmu sosial terapat, termasuk antropologi terapan. Pada zaman itu sektor-sektor masyarakat desa yang dibangun oleh pemerintah jajahan adalah sektor produksi pertanian, termasuk pembangunan prasarana jalan dan irigasi, pembangunan kesehatan rakyat, dan penyediaan kredit untuk rakyat, guna meningkatkan produksi pertanian mereka. Sesudah Perang Dunia II, pembangunan masyarakat desa pada umumnya merupakan program yang khas, yang tidak ketinggalan dalam setiap rencana pembangunan nasional. Sektor-sektor dan unsur-unsur yang dibangun biasanya juga lebih banyak dan lebih luas sifatnya, daripada dalam upaya pembangunan masyarakat desa di zaman colonial. Seperti apa yang tertulis dalam buku E.R Batten, Communities and Their Development (1957), pembangunan masyarakat desa dalam Negara-negara baru yang sedang berkembang meliputi upaya peningkatan produksi pertanian dengan bibit unggul, penigkatan teknologi pemupukan dan pemberantasan hama, serta perbaikan sistem irigasi, upaya untuk melakukan perbaikan prasarana jaringan jalan dan lingkungan, upaya penyempurnaan administrasi desa, upaya untuk mengembangkan gerakan koperasi, penyempurnaan sistem pendidikan umum dan pendidikan, agama, dan peningkatan kesehatan masyarakat. Melihat sektor-sektor dan unsur-unsur khusus tersebut, maka jelas bahwa hampir semua cabang spesialisasi antropologi dapat bermanfaat dalam penelitian – penelitian untuk pembangunan masyarakat desa, seperti diuraikan oleh W. Goodenough dalam Cooperation in Change (1936) pada dasarnya merupakan upaya untuk mengubah adat istiadat, kepercayaan, sikap mental, orientasi nilai budaya penduduk, jadi berkaitan erat dengan masalah merangsang orientasi nilai budaya dan jiwa wiraswasta yang mendorong kemakmuran, maka penelitian terhadap masalah-masalah itu memang hanya dapat dilaksanakan dengan baik oleh para ahli antropologi. Kecuali itu upaya pembangunan masyarakat desa juga erat kaitannya dengan masalah Penduduk (migrasi, urbanisasi, transmigrasi, dan KB, lingkungan, kepemimpinan dalam pembangunan, perubahan sosial budaya akibat pembangunan, dan pendidikan sebagai masalah khusus dalam pembangunan.












Kedudukan Antropologi dalam Pembangunan Indonesia
Apabila kita perhatikan peranan antropologi dalam rangka semua masalah pembangunan terurai di atas, maka tampak bahwa peranannya yang utama adalah dalam hal penelitian terhadap masalah-masalah itu, guna membantu perencanaan pembangunan yang biasanya dilaksanakan bersama oleh para ahli dalam berbagai disiplin ilmiah, oleh para pelaksana pembangunan yang bekerja dalam badan-badan perencanaan nasional atau daerah. Di banyak Negara, penelitian untuk perencanaan pembangunan biasanya dilakukan oleh Universitas atau lembaga penelitian Negara dan swasta.
Sebelum suatu rencana pembangunan yang biasanya berwujud sebuah naskah resmi yang terdiri dari beberapa jilid, diserahkan kepada pemerintah untuk dilaksakan, rencana itu dibahas terlebih dahulu di Dewan Perwakilan Rakyat Nasional atau oleh Dewan Perwakilan Daerah, oleh golongan-golongan politik. Dalam taraf ini bukan kualitas ilmiahnya yang menentukan wujud dari rencana pembangunanny, tetapi nilai politiknya, dan para wakil kekuatan-kekuatan politik itulah yang mengadakan perubahan-perubahan, pengurangan, atau penambahan terhadap naskah tadi.
Pada tahap berikutnya, naskah yang telah mengalami perubahan itu diserahkan kepada pemerintah untuk dilaksanakan oleh departemen-departemen yang bersangkutan. Bab dalam rencana yang menyangkut pembangunan prasarana fisik diserahkan kepada Departemen Pekerjaan Umum; bab mengenai pembangunan pertanian kepada Departemen Pertanian; bab mengenai pembangunan kesehatan rakyat kepada Departemen Kesehatan; bab mengenai pembangunan agama kepada Departemen Agama, dan sebagainya, sedang pelaksanaan program-program untuk meningkatkan integrasidan persatuan nasional tentu menjadi tugas Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Pada taraf pelaksanaan pembangunan nasional, kegiatan penelitian perlu diadakan lagi. Sebelum suatu proyek pembangunan dilaksanakan secara konkret di suatu lokasi tertentu, misalnya untuk mendirikan sebuah pabrik pemerasan dan pengalengan kelapa sawit perlu diadakan penelitian kelayakan, untuk mengetahui apakah lokasinya layak dan cocok dipandang dari sudut kesiapan prasarana fisiknya, jaraknya dari pusat sumber energi, sarana transportasi, pelabuhan dan sebagainya; tetapi perlu diteliti pula keadaan sosialnya, seperti keadaan lingkungan sosialnya sebagai sumber tenaga kerja, mutu tenaga kerjanya, sikap penduduk terhadap kemajuan, dan sebagainya. Terutama mengenai soal-soal tersebut tersebut terakhir ini, antropologi dapat melakukan penelitian yang bermakna.
Pada taraf sewaktu proyek pembangunan itu telah berjalan, perlu diadakan penelitian mengenai akibat sosial dari pembangunan suatu industri, yaitu perubahan sosial budaya yang positif, dan akibat-akibat sampingannya yang negative, sepertin terjadinya pencemaran alam atau ketegangan-ketegangan etnik antara angkatan kerja industri itu atau angkatan kerja pendatang dan penduduk asli, yang sering kali berlatar belakang kebudayaan yang berbeda. Dalam soal-soal tersebut ilmu antropologi mampu melakukan penelitian yang bermakna. Sebenarnya apabila kita perhatikan bahwa peranan antropologi dalam pembangunan terutama berada dalam penelitian masalah-masalah pembangunan, maka menurut nalar tidak ada perbedaan antara antropologi dan antropologi pembangunan, atau antara antropologi dan antropologi terapan, karena semua hasil penelitian antropologi umum maupun bidang-bidang antropologi spesialisasi dapat digunakan untuk menambah data dan pengertian yang perlu untuk penyempurnaan pembangunan yang direncanakan dan dilaksanakan orang lain.
Lebih relevan untuk pembangunan adalah misalnya hasil penelitian antropologi terhadap beragam adat-istiadat dan pola makan dalam kebudayaan berbagai suku-suku bangsa yang hidup di Indonesia. Topik penelitian antardisiplin antropologi dan ilmu gizi yang dilakukan secara nasional oleh Departemen kesehatan dalam tahun 1985-1986 ini bersifat terapan, karena hasilnya dapat langsung dimanfaatkan untuk perencanaan program peningkatan gizi makanan rakyat Indonesia dan program mendiversifikasi makanan rakyat dalam Replita IV.
Contoh penelitian antropologi dengan hasil yang paling relevan bagi pembangunan adalah peneletian untuk mengetahui dari desa-desa mana orang pedalaman Irian yang sekarang tinggal di pantai itu berasal, jalan-jalan setapak dan sungai-sungai mana yang dulu mereka lalui, dan dimanakah mereka berkemah dalam perjalanan mereka ke daerah pantai. Keterangan semacam itu dapat dipergunakan secara langsung untuk merencanakan pembangunan sisitem komunikasi rakyat di Irian Jaya.
Dengan singkat, secara teori dan metodologi perbedaan antara antropologi dan antropologi terapan (atau antropologi pembangunan) sebenarnya tidak ada. Topic penelitiannya saja yang membuat suatu penelitian antropologi kelihatan lebih bersifat terapan daripada lainnya, karena yang satu bersifat kurang relevan, sedang yang lain lebih relevan untuk upaya perencanaan pembangunan yang mendesak.

Sumber :
Koentjaraningrat. Sejarah Teori AntropologiII.1990.Jakarta: Universitas Indonesia
www.google.com (peranan antropologi dalam ekonomi pembangunan Indonesia)

Jumat, 08 April 2011

Hutan Desa

Pengelolaa Hutan Desa Sebagai Salah Satu Alternatif Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Terutama dalam Kaitannya dengan Wacana Otonomi, Khususnya Otonomi Desa

Pendahuluan
Hutan merupakan sumber daya alam anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa yang tidak terhingga nilainya. Sebagai anugerah tersebut hutan mempunyai nilai filosofi yang sangat dalam bagi kepentingan umat manusia. Namun demikian nilai filosofi hutan tersebut terus menerus mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena pengelolaan hutan selama ini kurang memperhatikan arti hakekat yang terkandung pada filosofi hutan sehingga kelestarian lingkungan hidup menjadi terganggu.

Masalah, Kondisi Hutan
Permasalahan yang dihadapi sector kehutanan saat ini adalah kondisi hutan yang mengalami degradasi cukup tajam. Kondisi ini mengakibatkan hutan tidak mampu lagi menjadi penyangga bagi kelestarian alam. Berbagai bencana alam yang terjadi belakangan ini menunjukkan keseimbangan dan kelestarian alam yang semakin terganggu.
Pengelolaan hutan saat ini lebih mengejar profit yaitu mencari keuntungan ekonomi semata, dan bahkan Negara secara sentralistis mengeksploitir hutan sehingga fungsi social kepentingan umum terabaikan.
Pengelolaan hutan yang dilakukan selama ini menimbulkan konflik kepentingan antara pusat dengan daerah dan masyarakat setempat. Kebijakan-kebijakan yang diambil selalu mendahulukan kepetingan pusat dan sering mengabaikan kepentingan masyarakat daerah, sehingga pengelolaan hutan yang semula bertujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi untuk mensejaterahkan masyarakat hanya mensejahterahkan segelintir orang.
Kesalahan pengelolaan hutan oleh pusat dan penyalaghgunaan HPH oleh beberapa pengusaha telah mengakibatkan luas hutan berkurang drastic dan kerusakan hutan semakin parah. Setiap tahunnya terjadi degradasi hutan sebesar 1,7 Ha, sehingga di Sumatera luas hutan tinggal 27% dan Kalimantan 34%. Penyebab kerusakan lainnya adalah penebangan liar (illegal), kebakaran dan penjarahan hutan yang dilakukan masyarakat maupun perusahaan swasta. Jika diidentifikasi lebih lanjut penyebab dari kondisi kehutanan saat ini adalah kekeliruan pusat dalam menetapkan kebijakan dan regulasi bidang kehutanan. Penyusunan rencana kegiatan dan penetapan kebijakan pengelolaan kehutanan selayaknya melibatkan pemerintah dan masyarakat daerah.

Otonomi Daerah
Undang-undang nomor 22tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah membawa nuansa dan semagat baru dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia. Dengan otonomi daerah yang luas dan utuh yang diberikan kepada kabupaten/kota serta otonomi daerah terbatas kepada Propinsi, UU nomor 22 tahun 1999 mengakui hak-hak yang dimiliki dalam mengelola segala aspirasi, tuntutan dan kebutuhan masyarakatnya. Hal ini juga sekaligus mendorong timbul tumbuhnya kreativitas daerah dalam mengelola segala sumber daya yang terdapat di daerah untuk kepentingan dan kesejahteraan seluruh masyarakatnya.
Otonomi daerah menunjang nilai dan prinsip dari demokrasi. Dengan otonomi daerah yang luas dan utuh yang dimiliki kabupaten/kota maka segala petensi keanekaragaman yang dimiliki daerah akan dapat dikembangkan dan dimanfaatkan semaksimal mungkin demi kesejahteraan masyarakat, karena kekayaan dan keanekaragaman sumber daya alam yang dimiliki setiap daerah merupakan asset yang tidak ternilai harganya. Pengelolaan kekayaan sumber daya alam daerah khususnya bidang kehutanan membutuhkan dukungan dari penyelenggaraan otonomi daerah yang luas dan utuh. Desentralisasi kebijakan dan pengelolaan kehutanan akan dapat mendorong peran serta masyarakat menggali dan memanfaatkan serta menjaga kelestarian sumber daya secara optimal.

Desentralisasi Kehutanan
Pengelolaan hutan yang bersifat sentralistik selama ini telah membaa dampak yang sangat merugikan bagi kelestarian alam dan lingkungan serta system social di tengah masyarakat daerah. Sejalan dengan semangat otonomi daerah yang telah dimulai dilaksanakan dalam penyelenggaraan pemerintahan saat ini maka diperlukan juga adanya desentralisasi pengelolaan kehutanan. Melalui desentralisasi kehutanan dapat dilakukan perencanaan dan penetapan regulasi pengelolaan hutan secara lebih spesifik sesuai dengan karakteristik masing-masing daerah.
Diberikannya kewenangan kepada daerah dalam mengelola hutan berarti mendukung penyelenggaraan otonomi daerah dimana diakuinya hak-hak daerah untuk mengelola sumber daya alam yang dimilikinya. Keterlibatan dan keikutsertaan daerah dalam pengelolaan hutan dalam kerangka desentralisasi kehutanan diharapkan dapat meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan. Karena pemerintah daerah bertanggung jawab kepada masyarakat melalui institusi perwakilan rakyat, maka setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah dalam pengelolaan hutan akan diawasi oleh masyarakat. Maka kemungkinan lahirnya kebijakan pengelolaan hutan yang membahayakan kelestarian dan keseimbangan alam dapat dieleminir. Dengan desentralisasi kehutanan diharapkan dapat dijawab berbagai permasalahan dalam pengelolaan hutan yang dialamai selama ini. Melalui desentralisasi kehutanan dapat dilakukan perencanaan dan penetapan regulasi pengelolaan hutan secara lebih spesifik sesuai dengan karakteristik masing-masing daerah. Hal itu dimungkinkan dengan dilibatkan dan diberikannya wewenang yang memadai bagi daerah (pemerinta, masyarakat dan dunia usaha) dalam perencanaan, penetapan regulasi dan pengelolaan hutan tersebut.
Untuk dapat mewujudkan desentralisasi pengelolaan kehutanan sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah maka perlu dilakukan peninjauan kembali terhadap kebijakan dan regulasi tentang kehutanan yang ada selama ini. Di samping menyesuaikan kebijakan dan regulasi lama yang ditetapkan sebelum lahirnya UU no. 22 tahun 1999 juga mungkin perlu peninjauan kembali terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 1998 tentang Perhutani dan Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan sehingga dapat sesuai dan sejalan dengan jiwa dan semangat UU 22/1999. Akhirnya dapat kita simpulakan bahwa pengelolaan hutan selama ini :
• Menimbulkan degradasi sumber daya alam hutan dari kuantitas maupun kualitas hutan yang akhirnya mendatangkan dampak negatif terhadap lingkungan yang memicu terjadinya bencana alam.
• Menimbulkan berbagai konflik kepentingan antaa pusat-daerah dan pemerintah-masyarakat
• Menimbulkan monopoli pegusahaan kehutanan di kalangan pengusaha besar.

Permasalah tersebut merupakan dampak yang ditimbulkan pengelolaan hutan yang bersifat sentralistik. Di level undang-undang, diakui banyak pihak terdapat beberapa kontradiksi dalam Undang-undang Nomor 22/1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU kehutanan. Semangat otonomi daerah bahkan secara implicit sampai desa, dimana daerah Kabupaten mampu mengelola wilayahnya sendiri, termasuk kawasan hutannya, tidak terjadi pada Undang-undang Kehutanan, dimana perijinan masih dominant berada di tangan Menteri.
Bntuk dan model penelolaan hutan Adat, hutan Kampung, Simpuluk (Kalimantan) Parak (sebagai salah satu asset Nagari di Sumbar), Repong Damar, Hutan Pekon, Hutan Desa dll, sudah eksis dan sebagai sumber penghidupan dan perekonomian lokal. Berbagai model pengelolaan hutan oleh masyarakat tersebut, di samping berbasis individu juga kental dengan semangat komunalisme, karena merupakan asset wilayah desa, kampong atau nagari. Aset-aset tersebut jika dicermati adalah sebagai sumber kekayaan desa yang diharapkan mampu mendorong percepatan pembaharuan des dan masyarakatnya.


Otonomi Desa
Setelah sekian tahun berjalan, sampai saat ini masyarakat desa masih belum menerima dampak positif dari desentralisasi. Apalagi dalam pengelolaan sumber daya alam, terutama untuk kawasan suaka alam dan kawasan konservasi yang merupakan hak prerogratif pemerintah pusat, sehingga masyarakat seringkali hanya menjadi objek. Pada saat desa diberi otonomi penuh, maka yang akan terjadi adalah konflik antara Bupati dengan Kepala Desa. Selain itu apabila desa diberikan diberikan keleluasaan untuk membuat BUMDes dan BUMDes diberikan keleluasaan untuk membuat kerjasama dengan pihak luar, maka BUMDes bisa menjadi jalur bagi masuknya modal asing. Apabila ini terjadi maka bagaimana akan mewujudkan kesejahteraan sebanyak-banyak rakyat? Bebarapa pemikiran yang mengkhwatirkan dampak dari globalisasi dan terbukanya transaksi Desa dengan pihak luar, cukup beralasan. Jika transaksi tanpa kendali dalam koteks desa secara otonom mempunyai kewenangan penuh dalam menentukan dirinya sendii.

Apakah Itu Hutan Desa?
Desa sejak dahulu tidak sekedar dipahami sebagai pemerintah desa , tetapi seperti Negara juga mecakup wilayah, masyarakat, dan juga pengakuan dari luar, dalam hal ini Negara. Desa biasanya mempunyai wilayah pengakuan desa yang dikelola baik sebagai sumber pendapatan ekonomi, konservasi maupaun kedaulatan desa. Wilayah itu bisa berwujud hutan dan atau tanah desa atau sering disebut tanah ulayat atau tanah adat. Kemudian karena kondisi social politik Negara yang kemudian menetapkan semua wilayah hutan yang secara formal tidak dibebani hak milik menjadi kawasan hutan Negara, mengakibatkan wilayah pengakuan desa pun secara otomatis diambil alih oleh Negara menjadi yang kita kenal sekarang adalah Hutan Negara. Padahal kalau kita baca monografi desa-desa pasti masih terdapat hutan-hutan yang masuk wilayah administrasi desanya. Tetapi ralitanya desa dan masyarakatnya hanya menjadi penonton dan kena getah petama kali jika terjadi masalah pada hutan-hutan tersebut.
Konfigurasi penyeragaman seperti terlihat dalam UU No. 05 tahun 1974 yang disusul pelemahan desa menjadi hanya sekedar wilayah administrasi terkecil di bawah kecamatan yang tidak mempunyai kekuasaan mengatur diri sendiri, mengakibatkan berubahnya struktur, posisi bahkan wilayah desa. Terjadi banyak pemekaran dan atau penggabungan desa-desa yang sering kali memandang fakator asal-usul dan kesejarahan, sehingga praktis identitas dwsa asal sebagai suatu wilayah otonom menjadi kabur dan bahkan hilang.


Sejak tumbangnya pemerintahan Orde Baru, kemudian memasuki era Reformasi timbul semangat dan tuntutan baik dari arus bawah maupun tekanan internasional untuk melakukan tata pemerintahan yang baik dan demokrtatis pada semua sector. Wacana otonomi daerah mulai diimplementasikan dengan dikeluarkannya UU no. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU no. 25 tahun 1999, tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Undang-undang kehutanan meski belum sepenuhnya ideal tetapi sudah ditetapkan dan menjadi acuan pengelolaan hutan Indonesia. Undang-undang kehutanan yang pada konsideren juga mengacu pada Undang-undang Agraria dan Undang-undang pemeritahan daerah, meski tida konsisten tetapi sedikit banyak terdapat semangat pengelolaan hutan berbasis masyarakat dan penyerahan sebagian urusan kepada daerah kabupaten.
Awang (2003) membagi pengertian Hutan Desa dari beberapa sisi pandang, yaitu :
(a) dilihat dari aspek territorial, hutan desa adalah hutan yang masuk dalam wilayah administrasi sebuah desa definitive dan ditetapkan oleh kesepakatan masyarakat
(b) dilihat dari aspek status, hutan desa adalah kawasan hutan Negara yang terletak pada wilayah administrasi desa tertentu dan ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan desa.
(c) Dilihat dari aspek pengeloaan, hutan desa adalah kawasan hutan milik rakyat dan milik pemerintah (hutan Negara) yang terdapat dalam satu wilayah administrasi desa tertentu dan ditetapkan secara bersama-sama antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat sbaai hutan desa yang dikelola oleh organisasi masyarakat desa.

Sementara Dama (1999) pada awal menggulirkan konse hutan desa mendefinisikan hutan desa seagai kawasan hutan Negara yang masuk dalam wilayah desa tertentu dan dikelola oleh masyarakat desa tertentu. Satu defenisi yang masih cenderung mengikuti bahasa undang-undang. Dalam perjalanannya ketika berinteraksi langsung di lapangan, membicarakan pengelolaan hutan di desamemang harus holistic dan integrasi dengan pembangunan pedesaan. Sebagai satu kesatuan wilayah maka dari aspek status pengeloaan hutan desa harus mencakup status hutan Negara dan hutan rakyat yang ada di desa tersebut. Lembaga dan actor pengelola akan tergantung pada kesiapan dan kondisi masing-masing lokasi. Yang pasti masyarakat desalah sebagai actor utama pengelola, meskipun nantinya berbetuk kelompok tani, badan hukum perkumpulan, koperasi dan lain sebagainya.
Pada tingkat peraturan, seperti Kepmendagri No. 64 / 1999 dan juga berbagai peraturan turunan PP No. 25/2000, menyebutkan hutan desa sebagai salah satu sumber kekayaan desa. Penyebutan tanpa penjelasan tersebut di samping menimbulkan berbagai pertanyaan tetapi juga menjadi peluang untuk mengimplementasikan konsep hutan desa, tidak mesti menunggu definisi baku dari pemerintah, tetapi bisa berangkat dari kesepakatan masing-masing elemen desa, yang mestinaya bisa diperkuat hanya dengan peraturan desa.

Mensejahterahkan Masyarakat Pedesaan dengan Hutan Desa
Masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan mendapat akses legal untuk mengelola hutan negar dimana mereka hidup dan bersosialisasi. Hutan Negara yang dapat dikelola oleh masyarakat pedesaan disebut Hutan Desa. Pemberian akses ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Kehutanan No: P.49/Menhut-II/2008, tentang hutan desa, yang ditetapkan pada tanggal 28 Agustus 2008. Adapun kawasan hutan yang dapat ditetapkan sebagai areal kerja hutan desa adalah hutan lindung dan hutan produksi yang belum dibebani hak pengelolaan atau ijin pemanfaatan, dan berada dalam wilayah administrasi desa yang bersangkutan. Penetapan areal kerja hutan desa dilakukan oleh Menteri Kehutanan berdasarkan usulan Bupati/Waikota
Untuk dapat mengelola hutan desa, Kepala Desa membentuk Lembaga Desa yang nantinya bertugas mengelola hutan desa yang secara fungsional berada dalam organisasi desa. Yang perlu dipahami adalah hak pengelolaan hutan desa ini bukan merupakan kepemilikan atas kawasan hutan, karena itu dilarang memindahtangankan atau mengagunkan, atau mengubah status dan fungsi kawasan hutan. Intinya hak pengelolaan hutan desa dilarang digunakan untuk kepentingan di luar rencana pengelolaan hutan, dan harus dikelola berdasarkan kaidah-kaidah pengelolaan hutan lestari. Lembaga Desa yang akan mengelola hutan desa mengajukan permohonan hak pengelolaan kepada Gubernur melalui Bupati/Walikota. Apabila disetujui, hak pengelolaan hutan desa diberikan untuk jangka waktu paling lama 35 tahun, dan dapat diperpanjang setelah dilakukan evaluasi yang dilakukan paling lama setiap lima tahun sekali.
Apabila di areal Hak Pengelolaan Hutan Desa terdapat hutan alam yang berpotensi hasil hutan kayu, maka Lembaga Desa dapat mengaujkan permohonan Inin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) hutan alam dalm Hutan Desa. Dan apabila areal hak Pengelolaan Hutan Desa dapat dikembangkan hutan tanaman, maka Lembaga Desa dapat mengajukan permohonan IUPHHK Hutan Tanaman dalam Huan Desa. Namun dalam pemanfaatannya mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam maupun hutan tanaman. Selain itu pemungutan dibatasi paling banyak 50m3 tiap lembaga desa pertahun.
Dengan mendapat hak pengelolaan hutan desa, masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan bepotensi sangat besar dalam meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Hal ini dimungkinkan karena pemegang hak pengelolaan hutan desa berhak memanfaatkan kawasa, jasa lingkungan, pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Namun untuk di hutan lindung tidak diijinkan memanfaatkan dan memungut hasil hutan kayu. Dalam memanfaatkan kawasan hutan desa, baik yang berada di kawasan hutan lindung maupun hutan produksi masyarakat dapat melakukan bebagai kegiatan usaha, yaitu budidaya tanaman obat, tanaman hias, jamur, lebah, penangkaran satwa liar atau budidaya pakan tenak. Sedangkan dalam pemanfaatan jada lingkungan dapat melalui kegiatan usaha jasa aliran air, pemanfaatan air, wisata alam, perlindungan keanekaragaman hayati, penyelamatan dan perlindungan lingkungan, atau penyerapan dan penyimpanan karbon.
Hasil identifikasi desa yang berada di dalam dan di sekitar kawasan hutan tahun 2007 yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan dan Biro Pusat Statistik di 15 Propinsi, yaitu Sumut, Sumbar, Riau, Sumsel, Bangka Belitung, Jateng, Bali, NTB, NTT, Kalbar, Kalteng, Kaltim, Kalsel, Sultra, dan Maluku, terdapat 31.957 desa. Dengan rincian 1.305 desa terdapat di dalam kawasan, 7.943 berada di tepi kawasan hutan, dan 22.709 berada di luar kawasan hutan. Dengan hasil identifikasi ini, ke depan diharapkan penerbitan Peratuan Menteri tetang Hutan Desa ini dapat diimplementasikan sesuai dengan harapan, yaitu membeikan akses kepada masyarakat setempat melalui lembaga desa, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat secara berkelanjutan.

Kesimpulan
Pengelolaan hutan yang bersifat sentralistik selama ini telah membawa dampak yang sangat merugikan bagi kelestariam alam dan lingkungan serta system social di tengah masyarakat daerah. Sejalan dengan semangat otonomi daerah yang telah mulai dilaksanakan dalam penyelenggaraan pemerintahan saat ini maka diperlukan juga adanya desentralisasi pengelolaan hutan.
Dengan Desentralisasi kehutanan diharapkan dapat dijawab berbagai permasalahan dalam pengelolaan hutan yang dialami selama ini. Melalui desentralisasi kehutanan dapat dilakukan perencanaan dan penetapan regulasi pengelolaan hutan secara lebih spesifik sesuai dengan karakteristik masing-masing daerah. Hal itu dimungkinkan dengan dilibatkan dan diberikannya wewenang yang memadai bagi daerah dalam perencanaan, penetapan regulasi dan pengelolaan hutan tersebut. Pemberian akses ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 49/Menhut-II/2008, tentang Hutan Desa, yang ditetapkan pada tanggal 28 Agustus 2008. Adapun kawasan hutan yang dapat ditetapkan sebagai areal kerja hutan desa adalah hutan lindung dan hutan produksi yang belum dibebani hak pengelolaan atau ijin pemanfaatan, dan berada dalam wilayah administrasi desa yang bersangkutan.

Upacara Cuci Negeri Soya

MENGENAL UPACARA ADAT “CUCI NEGERI”
DI SOYA MALUKU

Sejarah adat cuci negeri soya

Dengan kawasan yang 93% areanya berupa laut serta sejumlah pulau besar maupun kecil mencapai 1.422. Maluku ibarat refleksi kepulauan Indonesia kecil yang berbeda dari provinsi lain. Lepas dari kerusuhan yang bernuansa SARA pada 1999 silam, kota ini mulai bangkit menata diri untuk kembali siap menerima wisatawan.
Jika harus mengekslorasi seluruh pulau, katakanlah satu hari untuk setiap pulau, dibutuhkan waktu hampir empat tahun sebelum semuanya terjelajahi. Sebagai langkah awal kita bisa memilih Ambon, sebagai ibukota provinsi ini, sebagai lembar pembuka bagi anda untuk menjelajahi pulau-pulau lain karena tidak pernah ada kata cukup buat Maluku!
Setelah menempuh perjalanan melalui udara, akhirnya kita sampai di Bandara Pattimura, Ambon. Bandaa yang terletak di kawasan Laha ini berjarak sekitar 50km dari kota Ambon. Menelusuri Teluk Ambon yang tenang, di kiri kanan jalan masih terlihat bekas bangunan tempat ibadah maupun rumah tinggal yang hancur dan ditinggalkan akibat kerusuhan. Selainbekas tersebut sebagai bukti nyata, rasanya tidak percaya kalau kerusuhan besar itu pernah terjadi di negeri ini. Melewati Pasar Amans, pasar terbesar di Ambon yang terletak di pinggir pantai, dinamika kota ini mulai terasa. Pada pedagang berbaur dan berinteraksi menjajakan aneka sayur dan ikan segar.
Setelah check in dan beristirahat sejenak di hotel, kita bisa memulai perjalanan ke Desa Soya yang hanya berjarak 5km dari kota Ambon. Desa Soya adalah desa adat tertua di Ambon, tiba di Soya berarti anda berada pada sebuah ujung di mana jalan tak lagi dapat dilalui mobil. Gereja, balai pertemuan serta rumah raja benuansa hijau dan kuning gading dalam suasana desa yang asri. Raja merupakan simbol pemerintahan pada desa-desa adat yang masih diakui hingga kini oleh masyarakat Ambon. Bersama pendeta dan guru, mereka menjadi pilar penyokong perkembangan kawasannya. Biasanya rumah raja terletak satu kawasan dengan gereja dan balai pertemuan rakyat.
Gereja Soya sendiri baru selesai direnovasi pada 2004 lalu karena hancur saat kerusuhan 2002. Tidak ada yang tahu kapan tepatnya gereja ini dibangun, namun nisan yang tertanam pada dinding di ruang belakang tercatat 1817 bisa menjadi gambaran umur gereja ini. Naiklah ke Puncak Sirimau, menelusuri anak tangga batu sejauh 500m di mana anda dapat memandang kota Ambon dari puncak tertingginya. Di sini terdapat pula Tempayan Soya, tempayan tanah liat yang tertanam di tanah dan selalu terisi air. Tidak sembarangan orang yang bisa mengambil air yang digunakan masyarakat untuk melakukan kegiatan
Cuci Negeri menjelang perayaan Natal ini. Izin harus diberikan oleh tetua adat Soya jika tidak ingin sesuatu yang buruk menimpa. Percaya atau tidak, seorang pemuda pernah tersesat dan tidak bisa menemukan jalan kembali karena telah mengambil air tempayan tanpa izin. Ia baru ditemukan dua hari kemudian setelah pemuka Soya menggelar upacara adat.
Keunikan lain desa ini adalah baileo, tempat pertemuan adat satu-satunya di maluku yang terletak di ruangan terbuka, biasanya dibuat dalam bangunan rumah adat. Dengan batu-batu yang tersusun sejak zaman dahulu sebagai tempat duduk raja serta ketua adat perwakilan berbagai marga, di sinilah berbagai upacara adat penting seperti pelantikan raja, pembacaan pidato pertanggungjawaban tahunan raja hingga diskusi segala permasalahan desa digelar hingga kini.
Masjid Tua Yang Berpindah Sendiri ke Desa lain yang tak kalah menarik adalah Kaitetu di Hila, sekitar 40km arah utara kota Ambon tempat Masjid Wapaue yang dibangun pada 1414. Setelah melewati kawasan Telagakodok, sepanjang pantai mulai dari Hitu, anda akan melalui kampung-kampung nelayan Muslim. Pemandangan Selat Seram dengan deretan kapal-kapal yang berlabuh terlihat begitu indah dari ketinggian. Di daerah Wakal, rumah beratap seng dan jerami terletak benar-benar di pinggir pantai. Iri rasanya membayangkan bagaimana setiap hari penduduk di sini bisa puas menikmati jernihnya laut dengan gradasi warna hijau dan birunya. Sebelum tiba di Hila, di sisi kanan jalan anda mendapat Benteng Amsterdam, bekas gudang rempah-rempah Portugis yang diambil alih oleh Belanda. Sayangnya, sejak kerusuhan benteng pinggir pantai ini dibiarkan tidak terawat padahal kondisi benteng sendiri masih cukup kokoh dengan beberapa meriam menghadap laut. Kawanan burung gereja memanfaatkan menara benteng yang tinggi sebagai tempat bersarangnya. Masjid Wapaue terletak tidak jauh dari benteng ini. Masjid berusia nyaris enam abad tersebut hingga kini masih digunakan masyarakat Muslim Kaitetu untuk beribadah. Ada cerita unik di balik keberadaan masjid yang dibangun tanpa menggunakan paku ini. Awalnya masjid dibangun di atas Gunung wawane, pegunungan di balik desa ini. Karena bangsa Belanda yang datang sejak 1580 di kawasan ini kerap mengganggu kedamaian penduduk saat melaksanakan ibadah, pada 1614 masjid dipindahkan dan didirikan kembali di daerah Tehala, 6km arah timur Gunung Wawane. Kawasan yang banyak ditumbuhi pohon mangga hutan atau wapaue dalam bahasa setempat.
Pada 1646, Belanda berhasil menguasai seluruh kawasan ini, karena alasan politis, seluruh penduduk yang tinggal di daerah pegunungan diharuskan turun ke daerah pesisir, termasuk masyarakat tehala. Anehnya di suatu pagi saat masyarakat terbangun dari tidur, Masjid Wapaue yang ditinggal di Tehala tiba-tiba telah ikut turun lengkap dengan segala perlengkapannya. Entah mukjizat atau konstruksi masjid yang tanpa paku memungkinkan masyarakat kala itu melakukan bongkar-pasang. Pastinya, dalam masjid mungil beratap rumbia ini, terdapat beberapa peninggalan yang masih bisa anda lihat seperti Al-Quran tulisan tangan di atas kulit kayu yang kerap diikutsertakan dalam Festival Istiqlal di Jakarta, timbangan zakat dari batu karang, tongkat Kyai Irak, serta bedug kayu tua yang telah ada sejak awal pendirian masjid dan masih dipergunakan hingga kini.

Pesona Bawah Laut Ambon

Kunjungan ke Ambon tidak akan lengkap bila anda tidak mencoba aktivitas airnya. Ambon menawarkan banyak pilihan pantai untuk sekedar bermain air, berenang dengan santai, snorkeling hingga meyelam. Salah satu tempat menyelam yang bisa dikunjungi adalah Tanjung Setan, spot penyelaman berarus tenang di Ambon saat angin timur berhembus (April-Oktober). Sebaliknya saat angin barat berhembus (November-Maret) pilihan datang dari pantai-pantai di bagian selatan seperti Namalatu, Pintu Kota dan Hukurila.
Dunia bawah laut memang menawarkan sesuatu yang sangat berbeda, hilir-mudik ikan dengan warna-warni karang membuat mata sayang untuk berkedip. Ada barrel sponge berdiameter 60cm, karang daun (gorgonians), aneka siput laut (nudibranch), kerang (oyster) yang cangkangnya terbuka dan tertutup, rombongan ikan lema, bubble coral, pari yang melintas cepat, Ambonese Lion fish dan masih banyak lagi. Ubur-ubur (jellyfish) transparan dengan warna orange di tengahnya yang melintas di depan mata.
Pilihan aktivitas lainnya datang dari Pantai Natsepa, sekitar 13km utara kota Ambon. Selain hamparan pasir putih panjang yang menyenangkan untuk bermain atau berenang. Satu hal yang tidak boleh dilewatkan di sini adalah rujaknya. Dijajakan pada warung yang berjajar di tepi pantai, bumbu rujak yang kental dan kaya kacang membuat lidah tak rela menyisakan hingga jilatan terakhir. Sagu gula dan pisang goreng besarnya juga jangan sampai dilewatkan. Es kelapa muda segar menjadi menu penutup yang sempurna.
Untuk urusan laut, Ambon memang tiada duanya. Dari Natsepa, anda bisa melanjutkan perjalanan sekitar 25km ke arah utara. Di sini anda akan kembali menemukan pantai berpasir putih dengan gradasi hijau muda yang sayang untuk dilewatkan yaitu Pantai Liang. ketika hari cerah, dari jety anda bisa melihat dengan jelas siluet Pulau seram, pulau terbesar di Maluku, termasuk ferry-ferry pengangkut penumpang dari dan ke pulau itu. Di jarak yang lebih dekat ada Pulau Pombo dan Pulau Dua. Jika datang saat bukan hari libur,pantai ini bisa jadi milik anda pribadi karena tidak ada orang lain yang datang.
Anda bisa bersantai sambil berharap lumba-lumba muncul di kejauhan. Liang memang menjadi lintasan rutin mamalia cerdas ini, sayangnya waktunya tidak menentu.
Untuk mendapatkan matahari tenggelam, pantai-pantai di kawasan selatan jagonya. Sambil menunggu matahari terbenam, pada arah yang sama dengan pantai-pantai tersebut di sekitar Amahusu, terdapat Museum Siwalima yang bisa dikunjungi. Siwalima sendiri berarti "satu untuk semua, semua untuk satu" semangat yang mempersatukan orang Maluku dan biasa diimplikasikan pada tiang baileo, sembilan tiang untuk panjang dan lima tiang untuk lebarnya.
Museum Siwalima terdiri dari dua bangunan. Bagian atas yang menghadap Teluk Ambon berisi gambaran kehidupan masyarakat Maluku, mulai dari pakaian, rumah adat, senjata, kerajinan, peninggalan Portugis dan belanda termasuk alat magis yang digunakan saat kepercayaan animisme dan dinamisme masih dianut sebelum agama masuk. Bangunan bagian bawah menampilkan Kehidupan Laut Maluku. Tiga fosil paus besar yang menyita hampir seluruh ruangan akan menarik perhatian anda. Yang terbesar 25m, fosil Paus Biru (Balaenoptera musculus), jenis paus terpanjang di dunia yang terdampar di Pulau Buru pada 1987. Paus yang sama dalam ukuran lebih kecil, 15m ditemukan di daerah Suli pada 2003. Yang paling kecil 11m, yaitu paus bergigi, ditemukan terdampar di Pantai Latuhalat 1990.
Perjalanan bisa dilanjutkan menuju ke Aerlow untuk mengunjungi Pintu Kota. Menghadap langsung ke Laut Banda, Pintu Kota menawarkan sensasi gemuruh ombak besarnya. Sebuah karang raksasa dengan lubang di tengah ibarat pintu pasti manjadi asal nama tempat ini. Untuk mereka yang suka menyelam, sekitar 50m lepas pantai dari pintu tersebut terdapat pintu yang sama di bawah laut. Kawasan ini menjadi titik penyelaman yang luar biasa bagi para penyelam yang telah berpengalaman karena arusnya yang kuat.
Naiklah ke atas bukit karang untuk menyaksikan batu-batu raksasa laksana paus yang muncul dan tenggelam saat ombak besar bergulung. Memandang ombak keras dan karang-karang besar ini, akan mengingatkan kita pada Tanah Lot di Bali. Sementara pemandangan hijau perbukitan di belakang seakan mengantar kita ke Samosir di Toba, perpaduan yang sangat unik!
Perjalanan terakhir, kita bisa menuju Tanjung Nusaniwe. Tempat ini merupakan ujung terluar Pulau Ambon bagian selatan, di depannya membentang Tanjung Alang, ujung Pulau Ambon di bagian utara. Berdiri di titik ini berarti anda berada di pintu masuk laut kota Ambon. Di Tanjung Nusaniwe ini, sedikit di tengah lautnya terdapat Batu Konde, yang bentuknya mirip konde namun kini bagian belakangnya patah karena terus-menerus diterpa ombak yang keras. Batu ini tercipta akibat letusan Gunung Banda. jangan coba berenang di tempat ini, karena arusnya keras dan laut di sini langsung dalam namun memancing merupakan pilihan yang aman. Bila anda beruntung, saat berdiri di sini anda bisa melihat beberapa ikan cakalang (tongkol) besar yang melompat ke atas permukaan air karena adanya pertemuan arus.
Mengenal Budaya Upacara Adat ‘Cuci Negeri’ di Soya
Upacara Adat “Cuci Negeri” sejak dulu menarik perhatian banyak wisatawan baik dalam maupun luar negeri, serta para ilmuan. Menurut sumber yang ada, pada waktu dulu Upacara Adat Cuci Negeri berlangsung selama lima hari berturut-turut. Segera setelah musim Barat (bertiupnya angin barat) yang jatuh pada bulan Desember, Upacara Cuci Negeri dimulai. Mereka percaya bahwa dengan bertiupnya angin barat akan membawa serta datuk-datuk. Pada malam hari menjelang hari pertama dengan dipimpin oleh “Upu Nee” initiator), para pemuda berkumpul di Samorele. Mereka mengenakan “cidaku” (Cawat), sedangkan mukanya dicat hitam (guna penyamaran). Sebaliknya, semua wanita dilarang keluar rumah.
Para pemuda dengan dipimpin oleh Upu Nee menuju ke Sirimau tempat bersemayam Upulatu yang didampingi oleh seekor Naga. Upu Nee berjalan mendahului rombongan dan memberitahukan Upulatu bahwa, para pemuda akan datang dari clan-clan dimana mereka berasal.
Menjelang tengah malam, para pemuda yang ada didudukan dalam posisi bertolak belakang. Dalam keadaan seperti itu, datanglah Naga menelan mereka, dan menyimpan mereka selama lima hari dalam perutnya. Pada tengah hari pada hari kelima, Naga kemudian memuntahkan mereka. Masing-masing orang dari mereka kemudian menerima tanda, suatu lukisan berbentuk segi tiga pada dahi, dada, dan perut. Sementara itu, para wanita dan orang-orang tua telah membersihkan Samasuru dan Negeri.
Menjelang tengah hari, turunlah Upulatu bersama pemuda-pemuda tadi dari tempat Naga menuju Samasuru. Di sana, keluarganya telah menunggu. Dalam prosesi tersebut, lagu-lagu tua dan suci dinyanyikan (suhat) Raja / Upulatu mengambil tempat pada batu tempat duduknya (PETERANA) dan berbicaralah Raja dari tempat itu (Batu Stori Peterana) sambil menengadahkan mukanya ke Gunung Sirimau.

Sejarah mengenai jasa-jasa pekerjaan-pekerjaan besar dari para datuk-datuk, sifat kepahlawanan mereka diceritakan kepada semua orang yang sedang berkumpul. Permohonan-permohonan dinaikan kepada Ilahi (dalam bentuk KAPATA) yang antara lain berkisa kepada penyelamatan Negeri Soya beserta penduduknya dari bahaya, penyakit menular dan mohon kelimpahan berkah, Taufik dan Hidayat-Nya kepada semua orang. Selesai ini semua, semua orang pun berdiri dan dua orang wanita (Mata Ina) yang tertua dari keluarga (Rumah Tau), Upulatu melilitkan sebuah pita yang berwarna putih melingkari orang itu (Kain Gandong Sekarang).
Dari cerita tua ini, nampak jelas pengaruh dari Upacara Tanda ala KAKEHANG di Seram Barat. Dapat ditarik kesimpulan bahwa pada waktu dulu Upacara Adat di Baileo (Samasuru) dilakukan untuk merayakan para pemuda yang lulus dari upacara initiati di puncak Gunung Sirimau tersebut. Kemudian setelah masuknya agama Kristen yang dibawa oleh orang Portugis dan Belanda maka penyelenggaraan upacara ini mengalami perubahan bentuk. Selanjutnya dengan cara evolusi yang terjadi di dalam masyarakat yang meliputi segi pendidikan, kerohanian, sosial, dan lain-lain, sebagaimana penyelenggaraannya dalam bentuk sekarang.
Maksud Dan Tujuan
Maksud dari penyelenggaraan dan perayaan upacara adat tiap tahun di Negeri Soya oleh penduduk serta semua orang yang merasa hubungan keluarganya dengan Negeri Soya bukan semata-mata didasarkan oleh sifatnya yang tradisionil, tetapi lebih dari itu, dimaksudkan untuk memelihara, dan atau menghidupkan secara terus menerus kepada generasi sekarang maupun yang akan datang, berkenaan dengan, sifat dan nilai-nilainya yang positif.
Tidak dapat disangkal bahwa dari keseluruhan upacara adat ini, terdapat sejumlah hal penting antara lain, persatuan, musyawarah, gotong royong, kebersihan, dan toleransi. Unsur-unsur tersebut di atas yang menjadikan upacara adat cuci negeri dapat bertahan sampai saat ini. Maksud perayaan penyelenggaraan setiap kali menjelang akhir tahun tersebut dapatlah dijelaskan bahwa datuk-datuk/para leluhur dahulu memilih waktu pelaksanaan upacara adat tersebut tepat di bulan Desember, saat permulaan musim barat (waktu bertiup angin darat). Menurut kepercayaan mereka pada waktu itu, arwah leluhur biasanya kembali dari tempat-tempat peristirahatannya ke tempat-tempat dimana mereka pernah hidup.
Disamping itu, ada kepercayaan bahwa sehabis musim timur/hujan, biasanya keadaan yang diakibatkan selama musim hujan itu sangat banyak, antara lain : tanah longsor, rumah-rumah bocor, pagar dan jembatan rusak, sumur-sumur menjadi kotor dan banyak lagi hal-hal lain yang harus dibersihkan, dibetulkan, diperbaharui. Untuk membenahi hal-hal yang diakibatkan oleh kejadian alam tersebut, maka para datuk-datuk menyelenggarakan upacara serta aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan penataan negeri dari berbagai kerusakan yang terjadi.
Dengan masuknya agama Kristen yang dibawa oleh Bangsa Barat, maka beberapa hal yang berbau animisme dan dinamisme ditanggalkan dan disesuaikan dengan ajaran Kristen seperti: meniadakan persiapan-persiapan untuk menyambut arwah-arwah leluhur. Makna kegiatan ini juga kemudian dikaitkan dengan ajaran Kristen dalam kaitannya dengan persiapan-persiapan perayaan Natal. Makna dari cuci negeri ini lebih ditonjolkan dengan maksud untuk mempersiapkan masyarakat dalam menyambut Anak Natal.
Upacara Cuci Negeri dengan demikian lebih bersifat menyucikan diri dari perasaan perseteruan, kedengkian, curiga-mencurigai (Simbolnya pada : turun mencuci tangan, kaki, dan muka di air Wai Werhalouw dan Unuwei). Dari segi keagamaan, penyelenggaraan ini yang kebetulan berlangsung pada awal bulan Desember mempunyai makna yang luas dalam menyongsong dan menyambut hari Raya Natal, Kunci Tahun dan Tahun Baru. Kesibukan di hari-hari ini sekaligus merupakan hari-hari atau minggu advent untuk persiapan perayaan hari raya berikutnya dengan keadaan yang cukup baik.
Adapun proses jalannya upacara adat “Cuci Negeri” dapat dijelaskan sebagai berikut :
Rapat Saniri Besar
Upacara Adat Cuci Negeri biasanya diselenggarakan pada setiap minggu kedua bulan Desember. Sebelum pelaksanaan upacara, pada tanggal 1 Desember selalu diadakan Rapat Saniri Besar, dimana berkumpul semua orang laki-laki yang dewasa, bersama Badan Saniri Negeri, serta Tua-Tua Adat untuk bermusyawarah membicarakan persoalan Negeri. Dalam musyawarah ini, terjadi dialog antara pemerintah dan rakyat secara langsung mengenai berbagai hal yang telah dipersiapkan oleh Saniri atas dasar Surat Masuk maupun yang langsung disampaikan oleh rakyat yang hadir pada saat itu. Pada rapat inilah, masalah upacara adat dibicarakan.
Pembersihan Negeri
Pada hari Rabu minggu kedua bulan Desember semua rakyat diwajibkan keluar untuk membersihkan negeri secara gotong royong. Pembersihan tersebut dimulai dari depan Gereja sampai ke Batu Besar, pekuburan, dan Baileo. Dalam kerja ini, Seorang wanita yang baru saja kawin dengan seorang pemuda Negeri Soya diterima sebagai “Mata Ina Baru” yang wajib mengambil bagian dalam upacara ini untuk menunjukkan ketaatannya kepada adat Negeri Soya. Berkenaan dengan pembersihan Baileo, proses ini diawali oleh Kepala Soa Adat yang biasanya disebut “pica baileo”. Proses ini kemudian dilanjutkan oleh setiap anak negeri Soya yang hadir pada saat itu. Yang menonjol dari suasana pembersihan negeri ini adalah suasana gotong royong, kekeluargaan, dan persatuan.
Naik Ke Gunung Sirimau
Pada hari Kamis malam minggu kedua, sekumpulan orang laki-laki yang berasal dari Rumah Tau tertentu (Soa Pera) berkumpul di Teong Tunisou untuk selanjutnya naik ke Puncak Gunung Sirimau. Dengan iringan pukulan tifa, gong, dan tiupan “Kuli Bia” (kulit siput). Di sana, mereka membersihkan Puncak Gunung Sirimau sambil menahan haus dan lapar.
Turun dari Gunung Sirimau dan Penyambutan di Rulimena
Keesokan harinya, Jumat sore, orang-orang laki-laki yang sejak malam berada di puncak Gunung Sirimau turun dari Gunung Sirimau. Mereka kemudian disambut untuk pertama kalinya di Soa Erang (Teung Rulimena). Di sana mereka dijamu dengan sirih pinang, serta sopi.. Setelah itu rombongan menuju baileu. Di Baileo mereka disambut oleh Mata Ina dengan gembiranya.
Upacara “Naik Baileo” Samasuru
Mempersiapkan upacara Naik Baileo, rombongan “mata Ina” (ibu-ibu) dengan iringan tifa gong, pergi menjemput Upulatu (Raja) serta membawanya ke Baileo, semen-tara seluruh rakyat telah ber-kumpul di Baileo menantikan Raja dan rombongan. Di pintu Baileo, Upulatu disambut oleh seorang Mata Ina dengan ucapan selamat datang serta kata-kata penghormatan sebagai berikut :: “Tabea Upulatu Jisayehu, Nyora Latu Jisayehu, Guru Latu Jisayehu.
Upu Wisawosi, Selamat datang - Silahkan Masuk ” - Raja kemudian memasuki Baileu dan saat itu upacara segera dimulai.
Dengan iringan tifa dan gong yang bersemangat, para “Mata Ina” secara simbolik membersihkan baileu dengan sapu lidi dan gadihu, suatu tanda berakhirnya pembersihan negeri secara keseluruhan. Setelah itu, Upulatu melanjutkan acara dengan menyampaikan titahnya kepada rakyat. Titah itu mempunyai arti yang besar bagi rakyat, yang oleh rakyat dipan-dang sebagai suatu pidato tahun-an yang disampaikan oleh Raja. Tita Upulatu kemudian dilanjut-kan oleh Pendeta (Guru Latu) yang selanjutnya dikuti dengan penjelasan tentang arti Kain Gan-dong oleh salah seorang Kepala Soa yang tertua. Selanjutnya Kepala Soa Adat melaksanakan tugasnya dengan “Pasawari Adat” atau “Kapata”, suatu ucapan dalam bahasa tanah yang dimaksudkan untuk memintakan dari Allah perlindungan bagi negeri, jauhkan penyakit-penyakit, memberikan panen yang cukup, serta pertambahan jiwa untuk negeri. Sesudah itu segera tifa dibunyikan dan “suhat” (Nyanyian Adat) mulai dinyanyikan. Pada garis besarnya nyanyian tersebut mengisahkan peringatan kepada Latu Selemau serta datuk-datuk yang telah membentuk negeri ini, penghormatan kepada tugu-tugu peringatan dari kedatangan Rumah-Tau (Teung serta penghargaan kepada air yang memberi hidup) (Wai Werhalouw dan Unuwei).
Kunjungan ke Wai Werhalouw dan Uniwei
Sambil menyanyi, rombongan terbagi dua, sebagian menuju air Unuwei, (anak Soa Erang dan Rakyat lainnya). Di sana setiap orang mencuci tangan, kaki, dll, kemudian rombongan yang datang dari air Unuwei berkumpul di Soa Erang (Teung Rulimena) sambil menantikan rombongan dari Wai Werhalouw (Soa Pera).
Persatuan Dalam “Kain Gandong”
Di Teung Tunisouw, telah dipersiapkan Kain Gandong yang kedua ujungnya dipegang oleh dua orang “Mata Ina” yang tertua dari Soa Pera membentuk huruf U menantikan rombongan yang naik dari Wai Werhalouw. Setelah rombongan ini masuk ke dalam Kain Gandong, maka Kain Gandong diputar-putar sebanyak tiga kali (sebutan orang Soya: Dibailele) mengelilingi rombongan, kemudian menuju rumah Upulatu Yisayehu. Dari sini, rombongan dari Tunisou melanjutkan perjalan-an menuju Soa Erang (Rulimena) untuk menjemput rombongan. di Soa Erang, rombongan dari Tunisou dielu-elukan oleh rombong-an Soa Erang yang kemudian menyatukan diri dalam Kain Gandong. Di tempat itu pula Kain Gandong diputar-putar sebanyak tiga kali mengelilingi rombongan yang telah bersatu tersebut. Rombongan Soa Pera dijamu oleh rombongan Soa Erang dengan hidangan ala kadarnya sebagai penghormatan dan rasa persatuan. Disamping itu, disediakan juga satu meja persatuan dengan makanan adat bagi para tamu yang tidak pergi ke Unuwei. Selanjutnya kedua rombongan yang telah bersatu dalam Kain Gandong tersebut sambil bersuhat menuju kembali ke rumah Upulatu.
Kembali Ke Rumah Upu Latu
Di rumah Upulatu, rombongan kemudian menggendong Upulatu dan istrinya dan orang tua-tua lainnya ke dalam kain gandong sambil berpantun. Dengan demikian lengkaplah seluruh unsur dalam negeri sebagai satu kesatuan. Prosesi ini menandai berakhirnya seluruh rangkaian upacara. Prosesi ini kemudian dibubarkan, dan Kain Gandong disimpan di rumah Upulatu. Para tamu yang ada kemudian dijamu dengan makanan adat di rumah Upulatu.
Pesta Negeri
Upacara Cuci Negeri akan menjadi lengkap dengan pesta negeri yang merupakan suatu ungkapan suka-cita, kebersamaan, dan kekeluargaan, atas semua proses upacara cuci negeri yang boleh dilakukan. Pesta ini biasanya sangat meriah karena dihadiri oleh seluruh rakyat. Pesta itu diisi dengan badendang, tifa, Totobuang, Menari, dll.
Cuci Air
Pada keesokan harinya, Sabtu, setelah berpesta semalam suntuk, semua orang menuju kedua air (Wai Werhalouw dan Unuwei) untuk membersihkannya. Hal ini dimaksudkan agar air selalu bersih untuk dapat digunakan oleh masyarakat.Demikian tulisan ini semoga bermanfaat dan menambah pengetahuan kita tentang Budaya Upacara Adat Cuci Negeri yang di Soya yang merupakan tradisi dari turun-temurun. Kiranya Kekayaan budaya ini akan menjadi tata kehidupan dalam menuntun hidup bermasyarakat di Negeri Soya.

Ketidak adilan sosial

BELAJAR MENGHAPUS IMAGE PEREMPUAN DAN KEMISKINAN
DARI NEGARA BANGLADESH
Kaum perempuan adalah penduduk mayoritas di negeri ini. Namun ironisnya, mayoritas perempuan dalam posisi ekonomi yang tidak menguntungkan karena kemiskinan. Kemiskinan membuat perempuan Indonesia terjerembab dalam berbagai permasalahan pelik. Bahkan tak jarang mereka harus terjerat rentenir hanya gara-gara ingin memenuhi kebutuhan pokoknya. Belum lagi dengan aspek ekonomi, pendidikan, kesehatan yang bisa dipastikan terabaikan karena ketiadaan uang. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan. Untuk mengatasinya dibutuhkan program yang jelas dan terarah untuk memberdayakan kaum perempuan baik dari pemerintah maupun kalangan swasta. Dalam konteks ini dunia swasta memang memegang peran yang sangat penting dan strategis lewat program dan tanggung jawab sosial perusahaan sekaligus membebaskan mereka dari jeratan kemiskinan.
Menurut data, sebanyak 70% permpuan di Indonesia berada dalam kondisi ekonomi kurang menguntungkan karena kemiskinan. Ketika kita menyatakan seseorang miskin, kita harus memahami tolak ukur yang kita gunakan untuk menyatakan seseorang/sekelompok orang dikategorikan miskin. Bagaimana dengan kemiskinan yang kita maksud…? Mengapa ada kemiskinan, mengapa kita tidak membahas dari sisi sebaliknya, yakni kesejahteraan yang mengisyaratkan sebuah optimisme. Orang miskin dimanapun pasti masih ditemui, baik di negera maju maupun di Negara berkembang. Hingga saat ini masih ada lebih kurang 39 juta orang miskin di Indonesia. Kemiskinan telah membuat kaum perempuan dan anak terserabut hak-haknya, bahkan kemiskinan kerap berakhir secara tragis.
“kemiskinan berwajah perempuan” begitu ungkapan yang sering kita dengar. Kaum perempuan di NTT misalnya, mereka berjalan sangat jauh untuk mememnuhi kebutuhan minum keluarganya, di sisi lain kita lihat orang orang dengan santainya menghambur-hamburkan air. Perempuan acap kali semakin terpuruk dalam kondisi terbelakang, terlupakan dan mendapat perlakuan kurang adil. Perempuan banyak dikorbankan untuk bekerja dengan jam kerja lebih namun dengan upah minim, diperjualbelikan, dan dilecehkan bagai bukan manusia. Banyak faktor berkontribusi terhadap persoalan perempuan dan kemiskinan, kita boleh meninjaunya dari struktur maupun kultur yang ada di Indonesia. Selama pembangunan berfokus hanya pada pertumbuhan dan belum mengutamakan kebutuhan gender maka kesenjangan gender masih kuat. Gambaran kemiskinan hampir di semua tempat di Indonesia masih selalu dapat kita lihat, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Perempuan dan anak merupakan korban kemiskinan yang paling utama. Jika berkesempatan berkunjung ke rumah sakit-rumah sakit bisa kita lihat bahwa kemiskinan itu nyata adanya. Banyak ibu-ibu melahirkan yang terpaksa tidak bisa membawa bayinya pulang karena masalah ketiadaan uang untuk membayar biaya rumah sakit. Banyak anak-anak yang dirawat di rumah padahal sakitnya parah, ini juga karena orang tua tidak mempunyai uang untuk biaya ke dokter atau rumah sakit. Pemerintah sebenarnya sudah memberlakukan Jamkesmas namun di lapangan masih sering kita dengar pelaksanaannya belum efektif dalam arti belum bisa menjangkau seluruh kelompok miskin (apalagi ke daerah-daerah terpencil). Hal yang perlu dipertanyakan mengenai hal ini ialah, bagaimana pula perempuan dan kemiskinan di Negara luar, apakah sama halnya dengan Indonesia…?
Bangladesh adalah Negara terpadat no.8 di dunia. Bangladesh juga disebut sebagai simbol kemiskinan Asia. Dari 132 juta penduduk, 90% populasi Bangladesh beragama Islam dan sisanya Hindu, Budha dan Kristen. Kondisi penduduk Bangladesh yang sebagian besarnya miskin dan perekonomian Negara yang lemah, membuat Negara ini menjadi wilayah yang rentan konflik dan rentan akan masalah kemiskinan. Apalagi dengan melihat penduduk penduduk Banladesh yang kebanyakan berada di daerah pegunungan dan bersuku-suku yang membuat komunikasi dan akses informasi menjadi lebih sulit.
Di sebagian masyarakat Bangladesh, permpuan sering dianjurkan untuk memulai keluarga pada usia muda (pernikahan dini), sehingga proporsi perempuan yang melahirkan anak pada usia 18 tahun di Bangladeshadalah 50% dari total jumlah perempuan produktif di Bangladesh. Jika dibandingkan dengan Negara di Amerika latin dan Karibia, jumlah perempuan yang melahirkan di dua Negara tersebut hanya sekitar 12-28% perempuan dari total jumlah perempuan. Anjuran ini pula yang membuat perempuan Bangladesh sering terhimpit pada masalah keluarga, masalah nafkah dan kemiskinan.
Ada satu hal yang dapat dipetik dari kenyataan kemiskinan yang dialami Bangladesh. Pemerintah Bangladesh tetap berupaya sekuat tenaga untuk menanggulangi kemiskinan. Salah satu upaya itu yakni Pemerintah Bangladesh mencoba memberikan kepercayaan besar kepada orang miskin untuk mengelola pinjaman dari pemerintah, pinjaman tersebut dikelola oleh Bank Pemerintah padahal di penjuru dunia, lembaga keuangan hanya melayani mereka yang dianggap memenuhi syarat bank. Sangat ironis dengan keadaan di Indonesia. Realitas rakyat miskin seperti di Bangladesh tidaklah terjadi di Indonesia. Negara tersebut merupakan satu-satunya di dunia, dimana 75% penduduk miskinnya mendapat pelayanan keuangan dari lembaga keuangan, baik bank maupun non bank. Akibat pengalaman keberhasilan dalam pelayanan keuangan pada rakyat miskin itu, Bangladesh lalu dikenal sebagai Motherland of Microfinance (ibu dari usaha kecil) atau yang sering juga disebut bank yang tidak memberlakukan syarat-syarat bank. Titik tolak yang menjadi paradigma berfikir pelayanan keuangan kepada perempuan miskin di Bangladesh adalah kepercayaan yang memerintah kepada perempuan miskin itu sendiri. pemerintah juga tidak pernah membedakan apakah yang mengajukan permohonan ke bank adalah perempuan atau laki-laki.

Lalu bagaimana dengan Indonesia, mampukah Indonesia meniru jejak Bangladesh dalam menanggulangi kemiskinan serta menghapus doktrin perempuan adalah cermin dari kemiskinan…? Dari pengalaman di Bangladesh tersebut, Indonesia sesungguhnya dapat meniru cara pemerataan kesejahteraan ekonomi yang dilakukan pemerintah Bangladesh melalui sistem bank rakyat dan usaha mikro kreditnya. Disamping itu pemerintah pun harus menyadari bahwa kemiskinan dan pengangguran tidak seharusnya menjadi momok, akan tetapi menjadi tantangan untuk dapat semakin mengembangkan diri dan mengentaskan kemiskinan secara bersama-sama.
Jangan sampai usaha kartini untuk mengentaskan kemiskinan dan kebodohan bagi kaum wanita menjadi sia-sia. Diharapkan hari kartini bukan hanya diperingati secara formalitas namun perlu ada penghayatan akan makna yang terkandung dari perjuangan seorang kartini yakni menuntut kesetaraan derajat baik dalam pendidikan, ekonomi, politik dan sosial. Peran pemerintah sangat dibutuhkan dalam penuntasan masalah kemiskinan yang melekat pada wanita. Pemerintah harus menindak tegas oknum-oknum yang melenceng dalam menjalankan tugas seperti pewujudan Jamkesmas belum efektif dan lain sebagainya. Sulit dibayangkan bahwa di Negara yang memiliki Sumber Daya Alam melimpah terdapat warga yang harus terbarung di rumah karena tidak memiliki dana untuk berobat ke rumah sakit, anaknya ditahan di rumah sakit karena orang tua tidak mampu membayar biaya persalinan, wanita sebagai kuli bangunan dan pemecah batu demi memenuhi kebutuhan pokok. Segala cara seharusnya kita tempuh untuk mengakhiri aib ini. Kita tidak usah malu belajar menanggulangi kemiskinan dari Negara yang mayoritas penduduknya adalah perempuan miskin seperti Bangladesh

Gender 2

BELAJAR MENGHAPUS IMAGE PEREMPUAN DAN KEMISKINAN
DARI NEGARA BANGLADESH
Kaum perempuan adalah penduduk mayoritas di negeri ini. Namun ironisnya, mayoritas perempuan dalam posisi ekonomi yang tidak menguntungkan karena kemiskinan. Kemiskinan membuat perempuan Indonesia terjerembab dalam berbagai permasalahan pelik. Bahkan tak jarang mereka harus terjerat rentenir hanya gara-gara ingin memenuhi kebutuhan pokoknya. Belum lagi dengan aspek ekonomi, pendidikan, kesehatan yang bisa dipastikan terabaikan karena ketiadaan uang. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan. Untuk mengatasinya dibutuhkan program yang jelas dan terarah untuk memberdayakan kaum perempuan baik dari pemerintah maupun kalangan swasta. Dalam konteks ini dunia swasta memang memegang peran yang sangat penting dan strategis lewat program dan tanggung jawab sosial perusahaan sekaligus membebaskan mereka dari jeratan kemiskinan.
Menurut data, sebanyak 70% permpuan di Indonesia berada dalam kondisi ekonomi kurang menguntungkan karena kemiskinan. Ketika kita menyatakan seseorang miskin, kita harus memahami tolak ukur yang kita gunakan untuk menyatakan seseorang/sekelompok orang dikategorikan miskin. Bagaimana dengan kemiskinan yang kita maksud…? Mengapa ada kemiskinan, mengapa kita tidak membahas dari sisi sebaliknya, yakni kesejahteraan yang mengisyaratkan sebuah optimisme. Orang miskin dimanapun pasti masih ditemui, baik di negera maju maupun di Negara berkembang. Hingga saat ini masih ada lebih kurang 39 juta orang miskin di Indonesia. Kemiskinan telah membuat kaum perempuan dan anak terserabut hak-haknya, bahkan kemiskinan kerap berakhir secara tragis.
“kemiskinan berwajah perempuan” begitu ungkapan yang sering kita dengar. Kaum perempuan di NTT misalnya, mereka berjalan sangat jauh untuk mememnuhi kebutuhan minum keluarganya, di sisi lain kita lihat orang orang dengan santainya menghambur-hamburkan air. Perempuan acap kali semakin terpuruk dalam kondisi terbelakang, terlupakan dan mendapat perlakuan kurang adil. Perempuan banyak dikorbankan untuk bekerja dengan jam kerja lebih namun dengan upah minim, diperjualbelikan, dan dilecehkan bagai bukan manusia. Banyak faktor berkontribusi terhadap persoalan perempuan dan kemiskinan, kita boleh meninjaunya dari struktur maupun kultur yang ada di Indonesia. Selama pembangunan berfokus hanya pada pertumbuhan dan belum mengutamakan kebutuhan gender maka kesenjangan gender masih kuat. Gambaran kemiskinan hampir di semua tempat di Indonesia masih selalu dapat kita lihat, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Perempuan dan anak merupakan korban kemiskinan yang paling utama. Jika berkesempatan berkunjung ke rumah sakit-rumah sakit bisa kita lihat bahwa kemiskinan itu nyata adanya. Banyak ibu-ibu melahirkan yang terpaksa tidak bisa membawa bayinya pulang karena masalah ketiadaan uang untuk membayar biaya rumah sakit. Banyak anak-anak yang dirawat di rumah padahal sakitnya parah, ini juga karena orang tua tidak mempunyai uang untuk biaya ke dokter atau rumah sakit. Pemerintah sebenarnya sudah memberlakukan Jamkesmas namun di lapangan masih sering kita dengar pelaksanaannya belum efektif dalam arti belum bisa menjangkau seluruh kelompok miskin (apalagi ke daerah-daerah terpencil). Hal yang perlu dipertanyakan mengenai hal ini ialah, bagaimana pula perempuan dan kemiskinan di Negara luar, apakah sama halnya dengan Indonesia…?
Bangladesh adalah Negara terpadat no.8 di dunia. Bangladesh juga disebut sebagai simbol kemiskinan Asia. Dari 132 juta penduduk, 90% populasi Bangladesh beragama Islam dan sisanya Hindu, Budha dan Kristen. Kondisi penduduk Bangladesh yang sebagian besarnya miskin dan perekonomian Negara yang lemah, membuat Negara ini menjadi wilayah yang rentan konflik dan rentan akan masalah kemiskinan. Apalagi dengan melihat penduduk penduduk Banladesh yang kebanyakan berada di daerah pegunungan dan bersuku-suku yang membuat komunikasi dan akses informasi menjadi lebih sulit.
Di sebagian masyarakat Bangladesh, permpuan sering dianjurkan untuk memulai keluarga pada usia muda (pernikahan dini), sehingga proporsi perempuan yang melahirkan anak pada usia 18 tahun di Bangladeshadalah 50% dari total jumlah perempuan produktif di Bangladesh. Jika dibandingkan dengan Negara di Amerika latin dan Karibia, jumlah perempuan yang melahirkan di dua Negara tersebut hanya sekitar 12-28% perempuan dari total jumlah perempuan. Anjuran ini pula yang membuat perempuan Bangladesh sering terhimpit pada masalah keluarga, masalah nafkah dan kemiskinan.
Ada satu hal yang dapat dipetik dari kenyataan kemiskinan yang dialami Bangladesh. Pemerintah Bangladesh tetap berupaya sekuat tenaga untuk menanggulangi kemiskinan. Salah satu upaya itu yakni Pemerintah Bangladesh mencoba memberikan kepercayaan besar kepada orang miskin untuk mengelola pinjaman dari pemerintah, pinjaman tersebut dikelola oleh Bank Pemerintah padahal di penjuru dunia, lembaga keuangan hanya melayani mereka yang dianggap memenuhi syarat bank. Sangat ironis dengan keadaan di Indonesia. Realitas rakyat miskin seperti di Bangladesh tidaklah terjadi di Indonesia. Negara tersebut merupakan satu-satunya di dunia, dimana 75% penduduk miskinnya mendapat pelayanan keuangan dari lembaga keuangan, baik bank maupun non bank. Akibat pengalaman keberhasilan dalam pelayanan keuangan pada rakyat miskin itu, Bangladesh lalu dikenal sebagai Motherland of Microfinance (ibu dari usaha kecil) atau yang sering juga disebut bank yang tidak memberlakukan syarat-syarat bank. Titik tolak yang menjadi paradigma berfikir pelayanan keuangan kepada perempuan miskin di Bangladesh adalah kepercayaan yang memerintah kepada perempuan miskin itu sendiri. pemerintah juga tidak pernah membedakan apakah yang mengajukan permohonan ke bank adalah perempuan atau laki-laki.

Lalu bagaimana dengan Indonesia, mampukah Indonesia meniru jejak Bangladesh dalam menanggulangi kemiskinan serta menghapus doktrin perempuan adalah cermin dari kemiskinan…? Dari pengalaman di Bangladesh tersebut, Indonesia sesungguhnya dapat meniru cara pemerataan kesejahteraan ekonomi yang dilakukan pemerintah Bangladesh melalui sistem bank rakyat dan usaha mikro kreditnya. Disamping itu pemerintah pun harus menyadari bahwa kemiskinan dan pengangguran tidak seharusnya menjadi momok, akan tetapi menjadi tantangan untuk dapat semakin mengembangkan diri dan mengentaskan kemiskinan secara bersama-sama.
Jangan sampai usaha kartini untuk mengentaskan kemiskinan dan kebodohan bagi kaum wanita menjadi sia-sia. Diharapkan hari kartini bukan hanya diperingati secara formalitas namun perlu ada penghayatan akan makna yang terkandung dari perjuangan seorang kartini yakni menuntut kesetaraan derajat baik dalam pendidikan, ekonomi, politik dan sosial. Peran pemerintah sangat dibutuhkan dalam penuntasan masalah kemiskinan yang melekat pada wanita. Pemerintah harus menindak tegas oknum-oknum yang melenceng dalam menjalankan tugas seperti pewujudan Jamkesmas belum efektif dan lain sebagainya. Sulit dibayangkan bahwa di Negara yang memiliki Sumber Daya Alam melimpah terdapat warga yang harus terbarung di rumah karena tidak memiliki dana untuk berobat ke rumah sakit, anaknya ditahan di rumah sakit karena orang tua tidak mampu membayar biaya persalinan, wanita sebagai kuli bangunan dan pemecah batu demi memenuhi kebutuhan pokok. Segala cara seharusnya kita tempuh untuk mengakhiri aib ini. Kita tidak usah malu belajar menanggulangi kemiskinan dari Negara yang mayoritas penduduknya adalah perempuan miskin seperti Bangladesh

Etnobotani (Pangan)

KAJIAN ETNOBOTANI TERHADAP MAKANAN TRADISIONAL DEKKE NA NIARSIK PADA SUKU BATAK TOBA

Suku Batak toba mengenal berbagai jenis makanan tradisional. Makanan tradisional dalam suku batak toba bukan saja sebagai bahan pangan biasa namun terkadang digunakan dalam setiap acara adat bahkan harus ada dalam suatu acara. Makanan tradisional adalah bahan pangan, bahan penyusun makanan alami termasuk bumbu, makanan jadi serta minuman yang diolah dan disiapkan secara tradisional dan dikonsumsi oleh kelompok etnis tertentu. Jenis makanan tradisional itu diantaranya Dekke na Niura, Na ni Arsik, Na Pinadar, Saksang, dsb. Dalam tugas ini kami membahas tentang Dekke na niarsik sebagai salah satu makanan tradisional suku Batak Toba.
Makanan tradisional Dekke na Niarsik berasal dari kata Na NI-Arsik (arti secara sederhananya berarti ikan yang dikeringkan).
Mulai dari kelahiran, menikah hingga meninggal bagi orang Batak masing-masing memiliki prosesi yang wajib hukumnya untuk dilaksanakan. Pada prosesi ini ada pesan adat yang harus disampaikan. Dan dekke na niarsik atau ikan mas arsik adalah wujud nyatanya. Yakni sebuah hidangan khas Batak yang menjadi symbol berkat kehidupan. Ikan mas yang diberikan haruslah dalam jumlah ganjil, satu,tiga,lima, tujuh. Masing-masing jumlah ini memiliki arti sesuai dengan ketentuan adat Batak, adapun arti dari jumlah ini adalah :
• Satu ekor diperuntukkan bagi pasangan yang baru menikah
• Tiga ekor bagi pasangan suami- istri yang mendapatkan anak
• Lima ekor bagi orang tua yang sudah mempunyai cucu
• Tujuh ekor diperuntukkan bagi pemimpin bangsa Batak saja. Dan jarang dipergunakan dikarenakan jumlah ini dianggap sudah melewati batas masa kehidupan seseorang.
Biasanya ketika anak lahir akan dilangsungkan selamatan sesuai adat Batak. Terutama jika yang lahir adalah anak pertama. Sesuai hukum adat Batak, pihak hula-hula (kelompok marga dari si ibu) harus menyediakan pasu-pasu yang dilambangkan dalam bentuk dekke na niarsik.
Tiga ekor ikan Mas yang diberikan melambangkan bahwa telah bertambah satu orang anggota dalam keluarga tersebut. Satu untuk si Bapak, satu bagi ibunya, dan satu lagi untuk anak yang baru lahir tersebut.
Bagi pasangan yang baru menikah, jumlah ikan yang diberikan orang tua sigadis hanya satu ekor ikan mas yang mana ini melambangkan harapan bahwa kedua orang yang mengikat diri dalam jalinan pernikahan tersebut telah menjadi satu. Ikan mas yang diberikan ini sekaligus melambangkan berkat berkat dari orang tua yang melepas si gadis karena ia telah menjadi bagian dari keluarga suaminya. Ikan mas yang diberikan adalah ikan betina yang bertelur. Hal ini diwajibkan bagi pasangan suami- istri yang baru menikah sebagai pertanda bahwa orang tua si perempuan berharap agar borunya (anak perempuan) dapat memiliki anak yang banyak.
Siapa sajakah yang berhak memberikan ikan mas arsik ini ? dalam hal ini yang dapat memberikan hanya kerabat dari pihak istri atau hula-hula saja yang boleh memberikan dekke na niarsik ini. Baik itu orang tua kandung, saudara laki-laki maupun komunitas marga dari pihak isteri. Pihak hula-hula selain orang tua kandung hanya boleh memberikan ikan mas arsik ini pada acara umum adat Batak. Misalnya, ketika menempati rumah baru, malua dan sebagainya.
Ihan Batak
Ikan mas dulunya bukanlah ikan yang digunakan dalam setiap upacara adat Batak. Melainkan ikan ihan yakni sejenis ikan jurung yang hanya hidup di Perairan Danau Toba kabupaten Toba Samosir yang berdekatan dengan kabupaten Tapanuli Utara. Penangkapan ikan ini tidak boleh sembarangan karena ikan ini dianggap suci dan hanya boleh ditangkap pada saat upacara adat Batak saja, karena itu dikenal istilah dekke Si Tiho (ikan suci).
Menurut pengamat budaya Batak, dekke si Tiho ini diberikan dengan harapan supaya orang yang menerima ikan ini dapat bersih baik hati maupun perilakunya. Ukuran ikan yang digunakan biasanya beragam, bergantung pada masing-masing orang. Dari siku hingga ujung jari tangan merupakan ukuran terpanjang ikan ini. Sementara ukuran terkecilnya yaitu satu setengah jengkal tangan manusia dewasa. Karena mulai langka, mak ikan ini diganti dengan ikan mas hingga saat ini. Selain lebih ekonomis, ikan mas juga mudah untuk dikembangbiakkan. Ikan ini memang harus selalu ada dalam upacara adat Batak.
Penyajian dekke na niarsik saat ini jauh berubah dari penyajiannya yang sebenarnya, jika dulu dekke ini disajikan dengan terlebih dahulu direndam dengan lalang yang telah dihaluskan guna menghilangkan bau amis dan lendir dari ikan tersebut, yang selanjutnya setelah perut ikan mas dibersihkan kemudian diisi dengan dengan aneka bumbu berupa bawang Batak, andaliman, mobe (asam Batak asli). Lalu direbus dengan air yang diberi garam hingga mongering. Berbeda dengan dekke na niarsik saat ini yang menggunakan kunyit agar berkuah dan berwarna.
Penyajian yang sarat makna
Penyajian dekke ini pada dasarnya tidak boleh sembarangan dikarenakan banyaknya makna yang terkandung didalamnya. Dekke yang akan disajikan haruslah tetap dalam kondisi utuh, mulai dari kepala hingga ekor. Sisiknyapun tidak boleh dibuang. Ini melambangkan gambaran utuh kehidupan manusia. Ikan tidak boleh dipotong-potong karena orang yang menerinya tidak akan memperoleh keturunan, memotong-motong ikan ini sama artinya dengan mengharapkan orang yang menerimanya tidak memperoleh keturunan. Selain itu dekke na niarsik ini harus disajikan dalam posisi berenang dengan kepala menghadap ke orang yang menerimanya. Bila jumlahnya lebih dari satu, maka semua ikan harus dibariskan sejajar. Dalam bahasa Batak disebut dekke si mundur, keluarga yang menerima ikan ini diharapkan dapat berjalan sejajar atau beriringan menuju arah dan tujuan yang sama. Sehingga bila ada permasalahan dan rintangan yang menghalangi dapat diselesaikan secara bersama oleh setiap anggota keluarga
Na niarsik dapat juga diberikan kepada pihak atau orang untuk memohon kesembuhan kepada Tuhan Yang Maha Esa, selain itu kerabat yang menderita salah satu penyakit yang sudah lama dan belum mendapat kesembuhan dapat juga diberikan dekke na niarsik ini. Dalam kegiatan adat lain misalnya, kegiatan adat sulang-sulang pahoppu (memberikan makanan kepada nenek dan kakek) makanan ini juga sangat dibutuhkan bahkan menjadi salah satu syarat utama.
Dalam makanan tradisional ini terkandung kajian etnobotani khususnya dalam bidang etno pangan. Kami akan memaparkan secara jelas apa-apa saja yang menjadi bahan-bahan utama pembuatan makanan tradisional dekke na niarsik dan kaitannya dengan kajian etnobotani.

2. Makanan Dekke na Niarsik dan cara pengolahannya.
Untuk memperoleh hidangan makanan na niarsik ini dibutuhkan ikan mas (Cyprinus capris) yang masih segar, insang, kemudian dicuci bersih. Bumbu-bumbu rempah seperti andaliman, bawang merah, bawang putih, lengkuas, kunyit, cabe.
Penjelasan mengenai bahan-bahan lain untuk pembuatan makanan tradisional Batak Toba Dekke na Niarsik yaitu :
Bahan-bahan
1. Ikan mas segar, tidak dibuang sisiknya
2. Kacang panjang, potong 15 cm
3. lengkuas
4. Combrang, dimemarkan
5. Serai, dimemarkan
6. Jeruk nipis (asam glugur)
7. Andaliman secukupnya

BUMBU HALUS:
Bawang merah Kunyit
Bawang putih Cabai Merah
Kemiri Bawang Batak
Jahe Tomat


Penjelasan bahan-bahan pembuatan Dekke na niarsik dengan gambar
1. Ikan Mas (Cyprinus capris)

Ikan mas atau Cyprinus Caparis merupakan bahan utama dalam pembuatan makanan tradisional dekke na niarsik.
2. Kacang panjang ( )

Kacang panjang dalam masakan dekke na niarsik merupakan bahan tambahan yang biasanya dimasukkan ke dalam perut ikan.
3. Lengkuas ( Alpinia Galanga Swartz)

Lengkuas (Halas dalam bahasa batak) dalam masakan arsik berfungsi sebagai penambah rasa pedas disamping cabai dan andaliman.
4. Serai (Cymbopogon Cytratus)

Serai berfungsi untuk menghilangkan bau amis pada dekke na niarsik.





5. Asam Gelugur (


6. Andaliman (Zhantoxylum Acanthopodyum DC)

Andaliman (ittir-ittir dalam bahasa Batak toba) merupakan bahan penyedap rasa yang berfungsi sebagai penambah rasa pedas pada masakan arsik dan bisa membuat lidah bergetar-getar.

7. Cabai Merah (Capsicum Annum L)


8. Bawang Merah ( Allium Cepa L)





9. Bawang Putih (Allium Sativum L)


10. Bawang Batak (Allium Odorum L)


11. Kunyit (Curcuma Domestica Val)

Dalam masakan dekke na niarsik, kunyit berfungsi sebagai pemberi warna kuning.

12. Jahe (Zingiber Officinale Roxb)






13. Kemiri ( Alleurites Molluccana (L) Willd)

Dalam masakan dekke na niarsik kemiri berfungsi sebagai pengental bumbu.
14. Rias (Nicolaia Speciosa (BI.) Horan)

Rias berfungsi sebagai hiasan dan penambah aroma pada dekke na niarsik.

Legenda Tuak (Aren)

Legenda Tuak, Cerita Rakyat Simalungun
Menurut cerita, pohon enau merupakan jelmaan dari seorang gadis bernama Boru Sabou. Peristiwa penjelmaan gadis itu diceritakan dalam sebuah cerita rakyat yang sangat terkenal di kalangan masyarakat Simalungun, Sumatera Utara. Cerita itu mengisahkan tentang kesetiaan si Sabou kepada abangnya. Ia tidak tega melihat penderitaan abangnya yang sedang dipasung oleh penduduk suatu negeri. Oleh karena itu, ia mencoba untuk menolongnya. Apa yang menyebabkan Abangnya dipasung oleh penduduk negeri itu? Bagaimana cara Boru Sabou menolong abangnya? Alkisah, pada zaman dahulu kala di sebuah desa yang terletak di Tanah Karo, Sumatera Utara, hiduplah sepasang suami-istri bersama dua orang anaknya yang masih kecil. Yang pertama seorang laki-laki bernama Tare Iluh, sedangkan yang kedua seorang perempuan bernama Boru Sabou. Keluarga kecil itu tampak hidup rukun dan bahagia.
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, karena sang suami sebagai kepala rumah tangga meninggal dunia, setelah menderita sakit beberapa lama. Sepeninggal suaminya, sang istri-lah yang harus bekerja keras, membanting tulang setiap hari untuk menghidupi kedua anaknya yang masih kecil. Oleh karena setiap hari bekerja keras, wanita itu pun jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Si Tare dan adik perempuannya yang masih kecil itu, kini menjadi anak yatim piatu. Untungnya, orang tua mereka masih memiliki sanak-saudara dekat. Maka sejak itu, si Tare dan adiknya diasuh oleh bibinya, adik dari ayah mereka.
Waktu terus berjalan. Si Tare Iluh tumbuh menjadi pemuda yang gagah, sedangkan adiknya, Boru Sabou, tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik. Sebagai seorang pemuda, tentunya Si Tare Iluh sudah mulai berpikiran dewasa. Oleh karena itu, ia memutuskan pergi merantau untuk mencari uang dari hasil keringatnya sendiri, karena ia tidak ingin terus-menerus menjadi beban bagi orang tua asuhnya. “Adikku, Sabou!” demikian si Tare Iluh memanggil adiknya.
“Ada apa, Bang!” jawab Sabou. “Kita sudah lama diasuh dan dihidupi oleh bibi. Kita sekarang sudah dewasa. Aku sebagai anak laki-laki merasa berkewajiban untuk membantu bibi mencari nafkah. Aku ingin pergi merantau untuk mengubah nasib kita. Bagaimana pendapat Adik?” tanya Tare Iluh kepada adiknya. “Tapi, bagaimana dengan aku, Bang?” Beru balik bertanya.“Adikku! Kamu di sini saja menemani bibi. Jika aku sudah berhasil mendapat uang yang banyak, aku akan segera kembali menemani adik di sini,” bujuk Tare kepada adiknya. “Baiklah, Bang! Tapi, Abang jangan lupa segera kembali kalau sudah berhasil,” kata Beru mengizinkan abangnya, meskipun dengan berat hati. “Tentu, Adikku!” kata Tare dengan penuh keyakinan. Keesokan harinya, setelah berpamitan kepada bibi dan adiknya, si Tare Iluh berangkat untuk merantau ke negeri orang. Sepeninggal abangnya, Boru Sabou sangat sedih. Ia merasa telah kehilangan segala-segalanya. Abangnya, Tare Iluh, sebagai saudara satu-satunya yang sejak kecil tidak pernah berpisah pun meninggalkannya. Gadis itu hanya bisa berharap agar abangnya segera kembali dan membawa uang yang banyak.
Sudah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun ia menunggu abangnya, tapi tak kunjung datang jua. Tidak ada kabar tentang keadaan abangnya. Ia tidak tahu apa yang dilakukannya di perantauan. Sementara itu, Tare Iluh di perantauan bukannya mencari pekerjaan yang layak, melainkan berjudi. Ia beranggapan bahwa dengan memenangkan perjudian, ia akan mendapat banyak uang tanpa harus bekerja keras. Tetapi sayangnya, si Tare Iluh hanya sekali menang dalam perjudian itu, yaitu ketika pertama kali main judi. Setelah itu, ia terus mengalami kekalahan, sehingga uang yang sudah sempat terkumpul pada akhirnya habis dijadikan sebagai taruhan. Oleh karena terus berharap bisa menang dalam perjudian, maka ia pun meminjam uang kepada penduduk setempat untuk uang taruhan. Tetapi, lagi-lagi ia mengalami kekalahan.Tak terasa, hutangnya pun semakin menumpuk dan ia tidak dapat melunasinya. Akibatnya, si Tare Iluh pun dipasung oleh penduduk setempat. Suatu hari, kabar buruk itu sampai ke telinga si Boru Sabou. Ia sangat sedih dan prihatin mendengar keadaan abangnya yang sangat menderita di negeri orang. Dengan bekal secukupnya, ia pun pergi mencari abangnya, meskipun ia tidak tahu di mana negeri itu berada. Sudah berhari-hari si Boru Sabou berjalan kaki tanpa arah dan tujuan dengan menyusuri hutan belantara dan menyebrangi sungai, namun belum juga menemukan abangnya. Suatu ketika, si Boru Sabou bertemu dengan seor ang kakek tua. “Selamat sore, Kek!” “Sore, Cucuku!” Ada yang bisa kakek bantu?” “Iya, Kek! Apakah kakek pernah bertemu dengan abang saya?”
“Siapa nama abangmu?” “Tare Iluh, Kek!” “Tare Iluh…? Maaf, Cucuku! Kakek tidak pernah bertemu dengannya. Tapi, sepertinya Kakek pernah mendengar namanya. Kalau tidak salah, ia adalah pemuda yang gemar berjudi.” “Benar, Kek! Saya juga pernah mendengar kabar itu, bahkan ia sekarang dipasung oleh penduduk tempat ia berada sekarang.
Apakah kakek tahu di mana negeri itu? “Maaf, Cucuku! Kakek juga tidak tahu di mana letak negeri itu. Tapi kalau boleh, Kakek ingin menyarankan sesuatu.” “Apakah saran Kakek itu?”
“Panjatlah sebuah pohon yang tinggi. Setelah sampai di puncak, bernyanyilah sambil memanggil nama abangmu. Barangkali ia bisa mendengarnya. Setelah menyampaikan sarannya, sang Kakek pun segera pergi. Sementara si Boru Sabou, tanpa berpikir panjang lagi, ia segera mencari pohon yang tinggi kemudian memanjatnya hingga ke puncak. Sesampainya di puncak, si Boru Sabou segera bernyanyi dan memanggil-manggil abangnya sambil menangis. Ia juga memohon kepada penduduk negeri yang memasung abangnya agar sudi melepaskannya.
Sudah berjam-jam si Boru Sabou bernyanyi dan berteriak di puncak pohon, namun tak seorang pun yang mendengarnya. Tapi, hal itu tidak membuatnya putus asa. Ia terus bernyanyi dan berteriak hingga kehabisan tenaga. Akhirnya, ia pun segera mengangkat kedua tangannya dan berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa. “Ya, Tuhan! Tolonglah hambamu ini. Aku bersedia melunasi semua hutang abangku dan merelakan air mata, rambut dan seluruh anggota tubuhku dimanfaatkan untuk kepentingan penduduk negeri yang memasung abangku.” Baru saja kalimat permohonan itu lepas dari mulut si Boru Sabou, tiba-tiba angin bertiup kencang, langit menjadi mendung, hujan deras pun turun dengan lebatnya diikuti suara guntur yang menggelegar. Sesaat kemudian, tubuh si Boru Sabou tiba-tiba menjelma menjadi pohon enau. Air matanya menjelma menjadi tuak atau nira yang berguna sebagai minuman. Rambutnya menjelma menjadi ijuk yang dapat dimanfaatkan untuk atap rumah. Tubuhnya menjelma menjadi pohon enau yang dapat menghasilkan buah kolang-kaling untuk dimanfaatkan sebagai bahan makanan atau minuman. Demikianlah cerita “Kisah Pohon Enau” dari daerah Sumatera Utara. Hingga kini, masyarakat Simalungun meyakini bahwa pohon enau adalah penjelmaan si Boru Sabou. Untuk mengenang peristiwa tersebut, penduduk Simalungun pada jaman dahulu setiap ingin menyadap nira, mereka menyanyikan lagu enau.
Pohon Enau dalam bahasa Indonesia disebut pohon aren, dan sugar palm atau gomuti palm dalam bahasa Inggris. Di Sumatera, tumbuhan ini dikenal dengan berbagai sebutan, di antaranya ‘nau, hanau, peluluk, biluluk, kabung, juk atau ijuk, dan bagot’. Tumbuhan ini dapat tumbuh dengan baik dan mampu mendatangkan hasil yang melimpah pada daerah-daerah yang tanahnya subur, terutama pada daerah berketinggian antara 500-800 meter di atas permukaan laut, misalnya di Tanah Karo dan Simalungun di Sumatera Utara. Tumbuhan enau atau aren dapat menghasilkan banyak hal, yang menjadikannya populer sebagai tanaman serba-guna, setelah tumbuhan kelapa. Salah satunya adalah tuak(nira). Selain sebagai minuman sehari-hari, tuak memiliki fungsi yang sangat penting dalam kehidupan sosial-budaya bagi sebagian masyarakat Batak di Sumatera Utara, terutama yang tinggal di daerah dataran tinggi. Dalam tradisi orang Batak, tuak juga digunakan pada upacara-upacara tertentu, seperti upacara manuan ompu-ompu dan manulangi. Pada upacara manuan ompu-ompu, tuak digunakan untuk menyiram beberapa jenis tanaman yang ditanam di atas tambak orang-orang yang sudah bercucu meninggal dunia. Sementara dalam upacara manulangi, tuak merupakan salah satu jenis bahan sesaji yang mutlak dipersembahkan kepada arwah seseorang yang telah meninggal dunia oleh anak-cucunya.

MENGENAL SUKU SIMALUNGUN

Sebelum kita membahas lebih dalam lagi mengenai legenda asal mula Tuak atau Nira di atas, terlebih dahulu kita mengenal suku bangsa yang telah mengenalkan cerita itu kepada masyarakat sehingga cerita itu dianggap sebagai folklore dan dan memiliki fungsi tersendiri bagi masyarakat saat ini. Suku bangsa Batak terdiri atas enam sub bagian, yaitu Toba, Karo, Simalungun, Pakpak, Angkola, dan Maindailing. Diantara keenam subsuku tersebut terdapat persamaan bahasa dan budaya (Singarimbun,1975. dalam buku Konflik Status dan Kekuasaan suku Batak Toba). Walaupun demikian terdapat pula perbedaannya, misalnya dalam hal dialek, tulisan, istilah-istilah dan beberapa adat kebiasaan. Struktur sosial keenam subsuku tersebut pada dasarnya sama. Adapun Simalungun merupakan sub suku yang menurut sejarah dulunya berawal di Pematangsiantar. Asal mula kota Pematangsiantar adalah kerajaan Siantar, yang diperkirakan berdiri tahun 1500, terletak di sebuah delta sungai Bah Bolon, bernama pulau holing yang kemudian berkembang menjadi perkampungan Suhi Huluan, Siantar Bayu, Suhi Kahean, Pantoan, Suhi Bah Bosar, dan Tomuan. Perkampungan ini lah yang sekarang menjadi wilayah kotamadya Pematangsiantar, dengan nama baru kampung Pematang (Pulau Holing), Pusat kota (Siantar Bayu), kampung Parluasan (Suhi Kahean), Sipinggol-pinggol, Timbang Galung, Kampung Kristen, Kampung Perluasan kota (Suhi Haluan), Kampung karo, Tomuan dan Pantoan (Bah Bosar). Penduduk asli ialah Batak Simalungun. Lalu pada tahun 1900 diketahui mulai berdatangan penduduk pendatang. Untuk saat ini sebagai basis utama atau daerah utama suku Simalungun ada daerah Raya dan sekarang telah menjadi Ibu kota dari Kabupaten Simalungun.
Setelah mengenal suku Simalungun secara sepintas selanjutnya kita akan membahas cerita daerah di atas yang tealah dikategorikan ke dalam Foklor yang berasal dari daerah Simalungun. Dikategorikan sebagai foklor tentunya ada beberapa syarat dan ciri-ciri yang harus terpenuhi atau ada hakekat utama yang dimiliki cerita tersebut. Adapun hakekat dari foklor secara umum akan dipaparkan dalam penjelasan berikut.:
Kata foklore adalah pengindonesiaan kata Inggris Folklore. Kata itu adalah kata majemuk yang berasal dari dua kata dasar folk dan lore. Menurut Alan Dundles, folk adalah sekelompok orang yang memiliki cirri-ciri pengenal fisik sosial dan kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Cirri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwuju. Yang lebih penting lagi adalah bahwa mereka telah memiliki suatu tradisi turun-temurun sedikitnya dua generasi yang dapat mereka akui sebagai milik bersama. Jadi folk adalah sinonim dari kolektif, yang juga memiliki cirri-ciri mempunyai kesadaran kepribadian sebagai kesatuan masyarakat.
Sedangkan yang dimaksud dengan lore adalah tradisi folk, yaitu sebagai kebudayaannya yang diwariskan secara turun temurun secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device). Defenisi folklore secara keseluruhan, folklore adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan turun-temurun diantara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda.
Adapun ciri-ciri folklore antara lain :
a. Penyebarannya dilakukan secara lisan yakni disebarkan secara lisan atau tutur kata dari mulut ke mulut.
b. Folklor bersifat tradisional yakni disebarkan dalam bentuk relative tetap atau dalam bentuk standar.
c. Folklor ada dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda.
d. Folklor bersifat anonim, yaitu nama penciptanya tidak diketahui orang lagi.
e. Folklor biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola.
f. Folklor mempunyai kegunaan (function) dalam kehidupan kehidpan bersama suatu kolektif.
g. Folklor bersifat pralogis, yaitu mempunyai logikasendiri yang tidak sesuai logika umum.
h. Folklor menjadi milik bersama (collective) dari koleltif tertentu. Hal ini diakibatkan karena pencipta pertama sudah tidak diketahui.
i. Folklor pada umumnya bersifat polos dan lugu, sehingga sering kali kelihatannya kasar, terlalu spontan.

Begitu pula halnya dengan cerita rakyat tentang asal usul pohon enau di atas. Keseluruhan syarat atau ciri-ciri yang diminta agar suatu tradisi dapat dikatakan sebagai foklor telah terpenuhi. Penyebaran cerita di atas dilakukan secara lisan yakni disebarkan secara lisan atau tutur kata dari mulut ke mulut yang mana penyebarannya sudah melewati beberapa generasi. Jadi tidak heran kalau cerita di atas ada dalam beberapa versi, misalnya cerita di atas juga diyakini berasal dari derah Tanah Karo karena memang telah menjadi milik bersama atau kollektif, hal ini diakibatkan karena nama pencipta pertama sudah tidak diketahui lagi. Bila dikaitkan ke dalam suatu fungsi, cerita di atas tentunya memiliki fungsi yang sangat nyata dan jelas dalam kehidupan bersama suatu kolektif dan nasehat cerita bisa kita aplikasikan dalam kehidupan yang ada saat ini.
Cerita di atas termasuk ke dalam cerita rakyat teladan yang mengandung pesan-pesan moral. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah memupuk sifat tenggang rasa dan menjunjung tinggi persaudaraan, serta akibat buruk dari suka bermain judi dan sifat tenggang rasa. Sifat ini tercermin pada sifat Boru Sabou yang sangat menjunjung tinggi tenggang rasa dan persaudaraan. Ia rela mengorbankan seluruh jiwa dan raganya dengan menjelma menjadi pohon yang dapat dimanfaatkan orang-orang yang telah memasung abangnya. Hal ini dilakukannya demi membebaskan abangnya dari hukuman pasung yang telah menimpa abangnya tersebut. Sifat tenggang rasa dan persaudaran yang tinggi ini patut untuk dijadikan suri teladan dalam kehidupan sehari-hari.
Selain nasehat yang terkandung dalam cerita, kita dapat melihat wujud dari legenda di atas, yakni kita dapat melihat pohon enau khususnya di dearah yang berada pada ketinggian 500-800 m di atas permukaan laut. Contohnya di tanah Simalungun dan tanah Karo. Fungsi dari pohon enau sendiri dapat kita lihat. Air nya yang disebut tuak atau nira dijadikan sebagai minuman bagi suatu suku tertentu juga digunakan untuk kegiatan adat. Selain sebagai minuman air nira juga diolah menjadi gula yang disebut gula aren atau dikenal orang dengan nama gula merah. Selain fungsi-fungsi konsumsi ternyata bagian lain dari pohon aren juga sangat bermanfaat. Contohnya daunnya yang bisa dijadikan sapu lidi, bagian lain serabutnya dijadikan sebagai sapu ijuk. Hampir semua bagian yang ada pada pohon aren dapat difungsikan atau bermanfaat.
Namun ada satu hal yang ironis dari cerita ini yakni air nira yang dipercaya merupakan air mata dari si sabou sebagai pengorbanannya demi melunasi hutang-hutang abangnya, saat ini malah digunakan untuk pelengkap atau minuman bagi para pemain judi. Orang-orang batak yang gemar bermain judi pada umumnya mengkonsumsi tuak atau nira sambil bermain judi. Namun pada umumnya mereka tidak percaya akan mitos tentang asal usul pohon aren sehingga tidak merasa bersalah melakukan perbuatan itu.





DAFTAR PUSTAKA
Danandjaja,James.1984.Foklor Indonesia Ilmu gosip, dongeng, dan lain-lain.Jakarta:PT. Pustaka Grafitifers.
BAS.2010.Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba.Jakarta:Yayasan OBor Indonesia
BAS.2010.Melayu Pesisir dan Batak Pegunungan (Orientasi Nilai Budaya). Jakarta:Yayasan Obor Indonesia.
www.wikipedia.com
http://rapolo.wordpress.com
www.ensiklopedia.com