Jumat, 08 April 2011

Upacara Cuci Negeri Soya

MENGENAL UPACARA ADAT “CUCI NEGERI”
DI SOYA MALUKU

Sejarah adat cuci negeri soya

Dengan kawasan yang 93% areanya berupa laut serta sejumlah pulau besar maupun kecil mencapai 1.422. Maluku ibarat refleksi kepulauan Indonesia kecil yang berbeda dari provinsi lain. Lepas dari kerusuhan yang bernuansa SARA pada 1999 silam, kota ini mulai bangkit menata diri untuk kembali siap menerima wisatawan.
Jika harus mengekslorasi seluruh pulau, katakanlah satu hari untuk setiap pulau, dibutuhkan waktu hampir empat tahun sebelum semuanya terjelajahi. Sebagai langkah awal kita bisa memilih Ambon, sebagai ibukota provinsi ini, sebagai lembar pembuka bagi anda untuk menjelajahi pulau-pulau lain karena tidak pernah ada kata cukup buat Maluku!
Setelah menempuh perjalanan melalui udara, akhirnya kita sampai di Bandara Pattimura, Ambon. Bandaa yang terletak di kawasan Laha ini berjarak sekitar 50km dari kota Ambon. Menelusuri Teluk Ambon yang tenang, di kiri kanan jalan masih terlihat bekas bangunan tempat ibadah maupun rumah tinggal yang hancur dan ditinggalkan akibat kerusuhan. Selainbekas tersebut sebagai bukti nyata, rasanya tidak percaya kalau kerusuhan besar itu pernah terjadi di negeri ini. Melewati Pasar Amans, pasar terbesar di Ambon yang terletak di pinggir pantai, dinamika kota ini mulai terasa. Pada pedagang berbaur dan berinteraksi menjajakan aneka sayur dan ikan segar.
Setelah check in dan beristirahat sejenak di hotel, kita bisa memulai perjalanan ke Desa Soya yang hanya berjarak 5km dari kota Ambon. Desa Soya adalah desa adat tertua di Ambon, tiba di Soya berarti anda berada pada sebuah ujung di mana jalan tak lagi dapat dilalui mobil. Gereja, balai pertemuan serta rumah raja benuansa hijau dan kuning gading dalam suasana desa yang asri. Raja merupakan simbol pemerintahan pada desa-desa adat yang masih diakui hingga kini oleh masyarakat Ambon. Bersama pendeta dan guru, mereka menjadi pilar penyokong perkembangan kawasannya. Biasanya rumah raja terletak satu kawasan dengan gereja dan balai pertemuan rakyat.
Gereja Soya sendiri baru selesai direnovasi pada 2004 lalu karena hancur saat kerusuhan 2002. Tidak ada yang tahu kapan tepatnya gereja ini dibangun, namun nisan yang tertanam pada dinding di ruang belakang tercatat 1817 bisa menjadi gambaran umur gereja ini. Naiklah ke Puncak Sirimau, menelusuri anak tangga batu sejauh 500m di mana anda dapat memandang kota Ambon dari puncak tertingginya. Di sini terdapat pula Tempayan Soya, tempayan tanah liat yang tertanam di tanah dan selalu terisi air. Tidak sembarangan orang yang bisa mengambil air yang digunakan masyarakat untuk melakukan kegiatan
Cuci Negeri menjelang perayaan Natal ini. Izin harus diberikan oleh tetua adat Soya jika tidak ingin sesuatu yang buruk menimpa. Percaya atau tidak, seorang pemuda pernah tersesat dan tidak bisa menemukan jalan kembali karena telah mengambil air tempayan tanpa izin. Ia baru ditemukan dua hari kemudian setelah pemuka Soya menggelar upacara adat.
Keunikan lain desa ini adalah baileo, tempat pertemuan adat satu-satunya di maluku yang terletak di ruangan terbuka, biasanya dibuat dalam bangunan rumah adat. Dengan batu-batu yang tersusun sejak zaman dahulu sebagai tempat duduk raja serta ketua adat perwakilan berbagai marga, di sinilah berbagai upacara adat penting seperti pelantikan raja, pembacaan pidato pertanggungjawaban tahunan raja hingga diskusi segala permasalahan desa digelar hingga kini.
Masjid Tua Yang Berpindah Sendiri ke Desa lain yang tak kalah menarik adalah Kaitetu di Hila, sekitar 40km arah utara kota Ambon tempat Masjid Wapaue yang dibangun pada 1414. Setelah melewati kawasan Telagakodok, sepanjang pantai mulai dari Hitu, anda akan melalui kampung-kampung nelayan Muslim. Pemandangan Selat Seram dengan deretan kapal-kapal yang berlabuh terlihat begitu indah dari ketinggian. Di daerah Wakal, rumah beratap seng dan jerami terletak benar-benar di pinggir pantai. Iri rasanya membayangkan bagaimana setiap hari penduduk di sini bisa puas menikmati jernihnya laut dengan gradasi warna hijau dan birunya. Sebelum tiba di Hila, di sisi kanan jalan anda mendapat Benteng Amsterdam, bekas gudang rempah-rempah Portugis yang diambil alih oleh Belanda. Sayangnya, sejak kerusuhan benteng pinggir pantai ini dibiarkan tidak terawat padahal kondisi benteng sendiri masih cukup kokoh dengan beberapa meriam menghadap laut. Kawanan burung gereja memanfaatkan menara benteng yang tinggi sebagai tempat bersarangnya. Masjid Wapaue terletak tidak jauh dari benteng ini. Masjid berusia nyaris enam abad tersebut hingga kini masih digunakan masyarakat Muslim Kaitetu untuk beribadah. Ada cerita unik di balik keberadaan masjid yang dibangun tanpa menggunakan paku ini. Awalnya masjid dibangun di atas Gunung wawane, pegunungan di balik desa ini. Karena bangsa Belanda yang datang sejak 1580 di kawasan ini kerap mengganggu kedamaian penduduk saat melaksanakan ibadah, pada 1614 masjid dipindahkan dan didirikan kembali di daerah Tehala, 6km arah timur Gunung Wawane. Kawasan yang banyak ditumbuhi pohon mangga hutan atau wapaue dalam bahasa setempat.
Pada 1646, Belanda berhasil menguasai seluruh kawasan ini, karena alasan politis, seluruh penduduk yang tinggal di daerah pegunungan diharuskan turun ke daerah pesisir, termasuk masyarakat tehala. Anehnya di suatu pagi saat masyarakat terbangun dari tidur, Masjid Wapaue yang ditinggal di Tehala tiba-tiba telah ikut turun lengkap dengan segala perlengkapannya. Entah mukjizat atau konstruksi masjid yang tanpa paku memungkinkan masyarakat kala itu melakukan bongkar-pasang. Pastinya, dalam masjid mungil beratap rumbia ini, terdapat beberapa peninggalan yang masih bisa anda lihat seperti Al-Quran tulisan tangan di atas kulit kayu yang kerap diikutsertakan dalam Festival Istiqlal di Jakarta, timbangan zakat dari batu karang, tongkat Kyai Irak, serta bedug kayu tua yang telah ada sejak awal pendirian masjid dan masih dipergunakan hingga kini.

Pesona Bawah Laut Ambon

Kunjungan ke Ambon tidak akan lengkap bila anda tidak mencoba aktivitas airnya. Ambon menawarkan banyak pilihan pantai untuk sekedar bermain air, berenang dengan santai, snorkeling hingga meyelam. Salah satu tempat menyelam yang bisa dikunjungi adalah Tanjung Setan, spot penyelaman berarus tenang di Ambon saat angin timur berhembus (April-Oktober). Sebaliknya saat angin barat berhembus (November-Maret) pilihan datang dari pantai-pantai di bagian selatan seperti Namalatu, Pintu Kota dan Hukurila.
Dunia bawah laut memang menawarkan sesuatu yang sangat berbeda, hilir-mudik ikan dengan warna-warni karang membuat mata sayang untuk berkedip. Ada barrel sponge berdiameter 60cm, karang daun (gorgonians), aneka siput laut (nudibranch), kerang (oyster) yang cangkangnya terbuka dan tertutup, rombongan ikan lema, bubble coral, pari yang melintas cepat, Ambonese Lion fish dan masih banyak lagi. Ubur-ubur (jellyfish) transparan dengan warna orange di tengahnya yang melintas di depan mata.
Pilihan aktivitas lainnya datang dari Pantai Natsepa, sekitar 13km utara kota Ambon. Selain hamparan pasir putih panjang yang menyenangkan untuk bermain atau berenang. Satu hal yang tidak boleh dilewatkan di sini adalah rujaknya. Dijajakan pada warung yang berjajar di tepi pantai, bumbu rujak yang kental dan kaya kacang membuat lidah tak rela menyisakan hingga jilatan terakhir. Sagu gula dan pisang goreng besarnya juga jangan sampai dilewatkan. Es kelapa muda segar menjadi menu penutup yang sempurna.
Untuk urusan laut, Ambon memang tiada duanya. Dari Natsepa, anda bisa melanjutkan perjalanan sekitar 25km ke arah utara. Di sini anda akan kembali menemukan pantai berpasir putih dengan gradasi hijau muda yang sayang untuk dilewatkan yaitu Pantai Liang. ketika hari cerah, dari jety anda bisa melihat dengan jelas siluet Pulau seram, pulau terbesar di Maluku, termasuk ferry-ferry pengangkut penumpang dari dan ke pulau itu. Di jarak yang lebih dekat ada Pulau Pombo dan Pulau Dua. Jika datang saat bukan hari libur,pantai ini bisa jadi milik anda pribadi karena tidak ada orang lain yang datang.
Anda bisa bersantai sambil berharap lumba-lumba muncul di kejauhan. Liang memang menjadi lintasan rutin mamalia cerdas ini, sayangnya waktunya tidak menentu.
Untuk mendapatkan matahari tenggelam, pantai-pantai di kawasan selatan jagonya. Sambil menunggu matahari terbenam, pada arah yang sama dengan pantai-pantai tersebut di sekitar Amahusu, terdapat Museum Siwalima yang bisa dikunjungi. Siwalima sendiri berarti "satu untuk semua, semua untuk satu" semangat yang mempersatukan orang Maluku dan biasa diimplikasikan pada tiang baileo, sembilan tiang untuk panjang dan lima tiang untuk lebarnya.
Museum Siwalima terdiri dari dua bangunan. Bagian atas yang menghadap Teluk Ambon berisi gambaran kehidupan masyarakat Maluku, mulai dari pakaian, rumah adat, senjata, kerajinan, peninggalan Portugis dan belanda termasuk alat magis yang digunakan saat kepercayaan animisme dan dinamisme masih dianut sebelum agama masuk. Bangunan bagian bawah menampilkan Kehidupan Laut Maluku. Tiga fosil paus besar yang menyita hampir seluruh ruangan akan menarik perhatian anda. Yang terbesar 25m, fosil Paus Biru (Balaenoptera musculus), jenis paus terpanjang di dunia yang terdampar di Pulau Buru pada 1987. Paus yang sama dalam ukuran lebih kecil, 15m ditemukan di daerah Suli pada 2003. Yang paling kecil 11m, yaitu paus bergigi, ditemukan terdampar di Pantai Latuhalat 1990.
Perjalanan bisa dilanjutkan menuju ke Aerlow untuk mengunjungi Pintu Kota. Menghadap langsung ke Laut Banda, Pintu Kota menawarkan sensasi gemuruh ombak besarnya. Sebuah karang raksasa dengan lubang di tengah ibarat pintu pasti manjadi asal nama tempat ini. Untuk mereka yang suka menyelam, sekitar 50m lepas pantai dari pintu tersebut terdapat pintu yang sama di bawah laut. Kawasan ini menjadi titik penyelaman yang luar biasa bagi para penyelam yang telah berpengalaman karena arusnya yang kuat.
Naiklah ke atas bukit karang untuk menyaksikan batu-batu raksasa laksana paus yang muncul dan tenggelam saat ombak besar bergulung. Memandang ombak keras dan karang-karang besar ini, akan mengingatkan kita pada Tanah Lot di Bali. Sementara pemandangan hijau perbukitan di belakang seakan mengantar kita ke Samosir di Toba, perpaduan yang sangat unik!
Perjalanan terakhir, kita bisa menuju Tanjung Nusaniwe. Tempat ini merupakan ujung terluar Pulau Ambon bagian selatan, di depannya membentang Tanjung Alang, ujung Pulau Ambon di bagian utara. Berdiri di titik ini berarti anda berada di pintu masuk laut kota Ambon. Di Tanjung Nusaniwe ini, sedikit di tengah lautnya terdapat Batu Konde, yang bentuknya mirip konde namun kini bagian belakangnya patah karena terus-menerus diterpa ombak yang keras. Batu ini tercipta akibat letusan Gunung Banda. jangan coba berenang di tempat ini, karena arusnya keras dan laut di sini langsung dalam namun memancing merupakan pilihan yang aman. Bila anda beruntung, saat berdiri di sini anda bisa melihat beberapa ikan cakalang (tongkol) besar yang melompat ke atas permukaan air karena adanya pertemuan arus.
Mengenal Budaya Upacara Adat ‘Cuci Negeri’ di Soya
Upacara Adat “Cuci Negeri” sejak dulu menarik perhatian banyak wisatawan baik dalam maupun luar negeri, serta para ilmuan. Menurut sumber yang ada, pada waktu dulu Upacara Adat Cuci Negeri berlangsung selama lima hari berturut-turut. Segera setelah musim Barat (bertiupnya angin barat) yang jatuh pada bulan Desember, Upacara Cuci Negeri dimulai. Mereka percaya bahwa dengan bertiupnya angin barat akan membawa serta datuk-datuk. Pada malam hari menjelang hari pertama dengan dipimpin oleh “Upu Nee” initiator), para pemuda berkumpul di Samorele. Mereka mengenakan “cidaku” (Cawat), sedangkan mukanya dicat hitam (guna penyamaran). Sebaliknya, semua wanita dilarang keluar rumah.
Para pemuda dengan dipimpin oleh Upu Nee menuju ke Sirimau tempat bersemayam Upulatu yang didampingi oleh seekor Naga. Upu Nee berjalan mendahului rombongan dan memberitahukan Upulatu bahwa, para pemuda akan datang dari clan-clan dimana mereka berasal.
Menjelang tengah malam, para pemuda yang ada didudukan dalam posisi bertolak belakang. Dalam keadaan seperti itu, datanglah Naga menelan mereka, dan menyimpan mereka selama lima hari dalam perutnya. Pada tengah hari pada hari kelima, Naga kemudian memuntahkan mereka. Masing-masing orang dari mereka kemudian menerima tanda, suatu lukisan berbentuk segi tiga pada dahi, dada, dan perut. Sementara itu, para wanita dan orang-orang tua telah membersihkan Samasuru dan Negeri.
Menjelang tengah hari, turunlah Upulatu bersama pemuda-pemuda tadi dari tempat Naga menuju Samasuru. Di sana, keluarganya telah menunggu. Dalam prosesi tersebut, lagu-lagu tua dan suci dinyanyikan (suhat) Raja / Upulatu mengambil tempat pada batu tempat duduknya (PETERANA) dan berbicaralah Raja dari tempat itu (Batu Stori Peterana) sambil menengadahkan mukanya ke Gunung Sirimau.

Sejarah mengenai jasa-jasa pekerjaan-pekerjaan besar dari para datuk-datuk, sifat kepahlawanan mereka diceritakan kepada semua orang yang sedang berkumpul. Permohonan-permohonan dinaikan kepada Ilahi (dalam bentuk KAPATA) yang antara lain berkisa kepada penyelamatan Negeri Soya beserta penduduknya dari bahaya, penyakit menular dan mohon kelimpahan berkah, Taufik dan Hidayat-Nya kepada semua orang. Selesai ini semua, semua orang pun berdiri dan dua orang wanita (Mata Ina) yang tertua dari keluarga (Rumah Tau), Upulatu melilitkan sebuah pita yang berwarna putih melingkari orang itu (Kain Gandong Sekarang).
Dari cerita tua ini, nampak jelas pengaruh dari Upacara Tanda ala KAKEHANG di Seram Barat. Dapat ditarik kesimpulan bahwa pada waktu dulu Upacara Adat di Baileo (Samasuru) dilakukan untuk merayakan para pemuda yang lulus dari upacara initiati di puncak Gunung Sirimau tersebut. Kemudian setelah masuknya agama Kristen yang dibawa oleh orang Portugis dan Belanda maka penyelenggaraan upacara ini mengalami perubahan bentuk. Selanjutnya dengan cara evolusi yang terjadi di dalam masyarakat yang meliputi segi pendidikan, kerohanian, sosial, dan lain-lain, sebagaimana penyelenggaraannya dalam bentuk sekarang.
Maksud Dan Tujuan
Maksud dari penyelenggaraan dan perayaan upacara adat tiap tahun di Negeri Soya oleh penduduk serta semua orang yang merasa hubungan keluarganya dengan Negeri Soya bukan semata-mata didasarkan oleh sifatnya yang tradisionil, tetapi lebih dari itu, dimaksudkan untuk memelihara, dan atau menghidupkan secara terus menerus kepada generasi sekarang maupun yang akan datang, berkenaan dengan, sifat dan nilai-nilainya yang positif.
Tidak dapat disangkal bahwa dari keseluruhan upacara adat ini, terdapat sejumlah hal penting antara lain, persatuan, musyawarah, gotong royong, kebersihan, dan toleransi. Unsur-unsur tersebut di atas yang menjadikan upacara adat cuci negeri dapat bertahan sampai saat ini. Maksud perayaan penyelenggaraan setiap kali menjelang akhir tahun tersebut dapatlah dijelaskan bahwa datuk-datuk/para leluhur dahulu memilih waktu pelaksanaan upacara adat tersebut tepat di bulan Desember, saat permulaan musim barat (waktu bertiup angin darat). Menurut kepercayaan mereka pada waktu itu, arwah leluhur biasanya kembali dari tempat-tempat peristirahatannya ke tempat-tempat dimana mereka pernah hidup.
Disamping itu, ada kepercayaan bahwa sehabis musim timur/hujan, biasanya keadaan yang diakibatkan selama musim hujan itu sangat banyak, antara lain : tanah longsor, rumah-rumah bocor, pagar dan jembatan rusak, sumur-sumur menjadi kotor dan banyak lagi hal-hal lain yang harus dibersihkan, dibetulkan, diperbaharui. Untuk membenahi hal-hal yang diakibatkan oleh kejadian alam tersebut, maka para datuk-datuk menyelenggarakan upacara serta aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan penataan negeri dari berbagai kerusakan yang terjadi.
Dengan masuknya agama Kristen yang dibawa oleh Bangsa Barat, maka beberapa hal yang berbau animisme dan dinamisme ditanggalkan dan disesuaikan dengan ajaran Kristen seperti: meniadakan persiapan-persiapan untuk menyambut arwah-arwah leluhur. Makna kegiatan ini juga kemudian dikaitkan dengan ajaran Kristen dalam kaitannya dengan persiapan-persiapan perayaan Natal. Makna dari cuci negeri ini lebih ditonjolkan dengan maksud untuk mempersiapkan masyarakat dalam menyambut Anak Natal.
Upacara Cuci Negeri dengan demikian lebih bersifat menyucikan diri dari perasaan perseteruan, kedengkian, curiga-mencurigai (Simbolnya pada : turun mencuci tangan, kaki, dan muka di air Wai Werhalouw dan Unuwei). Dari segi keagamaan, penyelenggaraan ini yang kebetulan berlangsung pada awal bulan Desember mempunyai makna yang luas dalam menyongsong dan menyambut hari Raya Natal, Kunci Tahun dan Tahun Baru. Kesibukan di hari-hari ini sekaligus merupakan hari-hari atau minggu advent untuk persiapan perayaan hari raya berikutnya dengan keadaan yang cukup baik.
Adapun proses jalannya upacara adat “Cuci Negeri” dapat dijelaskan sebagai berikut :
Rapat Saniri Besar
Upacara Adat Cuci Negeri biasanya diselenggarakan pada setiap minggu kedua bulan Desember. Sebelum pelaksanaan upacara, pada tanggal 1 Desember selalu diadakan Rapat Saniri Besar, dimana berkumpul semua orang laki-laki yang dewasa, bersama Badan Saniri Negeri, serta Tua-Tua Adat untuk bermusyawarah membicarakan persoalan Negeri. Dalam musyawarah ini, terjadi dialog antara pemerintah dan rakyat secara langsung mengenai berbagai hal yang telah dipersiapkan oleh Saniri atas dasar Surat Masuk maupun yang langsung disampaikan oleh rakyat yang hadir pada saat itu. Pada rapat inilah, masalah upacara adat dibicarakan.
Pembersihan Negeri
Pada hari Rabu minggu kedua bulan Desember semua rakyat diwajibkan keluar untuk membersihkan negeri secara gotong royong. Pembersihan tersebut dimulai dari depan Gereja sampai ke Batu Besar, pekuburan, dan Baileo. Dalam kerja ini, Seorang wanita yang baru saja kawin dengan seorang pemuda Negeri Soya diterima sebagai “Mata Ina Baru” yang wajib mengambil bagian dalam upacara ini untuk menunjukkan ketaatannya kepada adat Negeri Soya. Berkenaan dengan pembersihan Baileo, proses ini diawali oleh Kepala Soa Adat yang biasanya disebut “pica baileo”. Proses ini kemudian dilanjutkan oleh setiap anak negeri Soya yang hadir pada saat itu. Yang menonjol dari suasana pembersihan negeri ini adalah suasana gotong royong, kekeluargaan, dan persatuan.
Naik Ke Gunung Sirimau
Pada hari Kamis malam minggu kedua, sekumpulan orang laki-laki yang berasal dari Rumah Tau tertentu (Soa Pera) berkumpul di Teong Tunisou untuk selanjutnya naik ke Puncak Gunung Sirimau. Dengan iringan pukulan tifa, gong, dan tiupan “Kuli Bia” (kulit siput). Di sana, mereka membersihkan Puncak Gunung Sirimau sambil menahan haus dan lapar.
Turun dari Gunung Sirimau dan Penyambutan di Rulimena
Keesokan harinya, Jumat sore, orang-orang laki-laki yang sejak malam berada di puncak Gunung Sirimau turun dari Gunung Sirimau. Mereka kemudian disambut untuk pertama kalinya di Soa Erang (Teung Rulimena). Di sana mereka dijamu dengan sirih pinang, serta sopi.. Setelah itu rombongan menuju baileu. Di Baileo mereka disambut oleh Mata Ina dengan gembiranya.
Upacara “Naik Baileo” Samasuru
Mempersiapkan upacara Naik Baileo, rombongan “mata Ina” (ibu-ibu) dengan iringan tifa gong, pergi menjemput Upulatu (Raja) serta membawanya ke Baileo, semen-tara seluruh rakyat telah ber-kumpul di Baileo menantikan Raja dan rombongan. Di pintu Baileo, Upulatu disambut oleh seorang Mata Ina dengan ucapan selamat datang serta kata-kata penghormatan sebagai berikut :: “Tabea Upulatu Jisayehu, Nyora Latu Jisayehu, Guru Latu Jisayehu.
Upu Wisawosi, Selamat datang - Silahkan Masuk ” - Raja kemudian memasuki Baileu dan saat itu upacara segera dimulai.
Dengan iringan tifa dan gong yang bersemangat, para “Mata Ina” secara simbolik membersihkan baileu dengan sapu lidi dan gadihu, suatu tanda berakhirnya pembersihan negeri secara keseluruhan. Setelah itu, Upulatu melanjutkan acara dengan menyampaikan titahnya kepada rakyat. Titah itu mempunyai arti yang besar bagi rakyat, yang oleh rakyat dipan-dang sebagai suatu pidato tahun-an yang disampaikan oleh Raja. Tita Upulatu kemudian dilanjut-kan oleh Pendeta (Guru Latu) yang selanjutnya dikuti dengan penjelasan tentang arti Kain Gan-dong oleh salah seorang Kepala Soa yang tertua. Selanjutnya Kepala Soa Adat melaksanakan tugasnya dengan “Pasawari Adat” atau “Kapata”, suatu ucapan dalam bahasa tanah yang dimaksudkan untuk memintakan dari Allah perlindungan bagi negeri, jauhkan penyakit-penyakit, memberikan panen yang cukup, serta pertambahan jiwa untuk negeri. Sesudah itu segera tifa dibunyikan dan “suhat” (Nyanyian Adat) mulai dinyanyikan. Pada garis besarnya nyanyian tersebut mengisahkan peringatan kepada Latu Selemau serta datuk-datuk yang telah membentuk negeri ini, penghormatan kepada tugu-tugu peringatan dari kedatangan Rumah-Tau (Teung serta penghargaan kepada air yang memberi hidup) (Wai Werhalouw dan Unuwei).
Kunjungan ke Wai Werhalouw dan Uniwei
Sambil menyanyi, rombongan terbagi dua, sebagian menuju air Unuwei, (anak Soa Erang dan Rakyat lainnya). Di sana setiap orang mencuci tangan, kaki, dll, kemudian rombongan yang datang dari air Unuwei berkumpul di Soa Erang (Teung Rulimena) sambil menantikan rombongan dari Wai Werhalouw (Soa Pera).
Persatuan Dalam “Kain Gandong”
Di Teung Tunisouw, telah dipersiapkan Kain Gandong yang kedua ujungnya dipegang oleh dua orang “Mata Ina” yang tertua dari Soa Pera membentuk huruf U menantikan rombongan yang naik dari Wai Werhalouw. Setelah rombongan ini masuk ke dalam Kain Gandong, maka Kain Gandong diputar-putar sebanyak tiga kali (sebutan orang Soya: Dibailele) mengelilingi rombongan, kemudian menuju rumah Upulatu Yisayehu. Dari sini, rombongan dari Tunisou melanjutkan perjalan-an menuju Soa Erang (Rulimena) untuk menjemput rombongan. di Soa Erang, rombongan dari Tunisou dielu-elukan oleh rombong-an Soa Erang yang kemudian menyatukan diri dalam Kain Gandong. Di tempat itu pula Kain Gandong diputar-putar sebanyak tiga kali mengelilingi rombongan yang telah bersatu tersebut. Rombongan Soa Pera dijamu oleh rombongan Soa Erang dengan hidangan ala kadarnya sebagai penghormatan dan rasa persatuan. Disamping itu, disediakan juga satu meja persatuan dengan makanan adat bagi para tamu yang tidak pergi ke Unuwei. Selanjutnya kedua rombongan yang telah bersatu dalam Kain Gandong tersebut sambil bersuhat menuju kembali ke rumah Upulatu.
Kembali Ke Rumah Upu Latu
Di rumah Upulatu, rombongan kemudian menggendong Upulatu dan istrinya dan orang tua-tua lainnya ke dalam kain gandong sambil berpantun. Dengan demikian lengkaplah seluruh unsur dalam negeri sebagai satu kesatuan. Prosesi ini menandai berakhirnya seluruh rangkaian upacara. Prosesi ini kemudian dibubarkan, dan Kain Gandong disimpan di rumah Upulatu. Para tamu yang ada kemudian dijamu dengan makanan adat di rumah Upulatu.
Pesta Negeri
Upacara Cuci Negeri akan menjadi lengkap dengan pesta negeri yang merupakan suatu ungkapan suka-cita, kebersamaan, dan kekeluargaan, atas semua proses upacara cuci negeri yang boleh dilakukan. Pesta ini biasanya sangat meriah karena dihadiri oleh seluruh rakyat. Pesta itu diisi dengan badendang, tifa, Totobuang, Menari, dll.
Cuci Air
Pada keesokan harinya, Sabtu, setelah berpesta semalam suntuk, semua orang menuju kedua air (Wai Werhalouw dan Unuwei) untuk membersihkannya. Hal ini dimaksudkan agar air selalu bersih untuk dapat digunakan oleh masyarakat.Demikian tulisan ini semoga bermanfaat dan menambah pengetahuan kita tentang Budaya Upacara Adat Cuci Negeri yang di Soya yang merupakan tradisi dari turun-temurun. Kiranya Kekayaan budaya ini akan menjadi tata kehidupan dalam menuntun hidup bermasyarakat di Negeri Soya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar