Jumat, 08 April 2011

Ketidak adilan sosial

BELAJAR MENGHAPUS IMAGE PEREMPUAN DAN KEMISKINAN
DARI NEGARA BANGLADESH
Kaum perempuan adalah penduduk mayoritas di negeri ini. Namun ironisnya, mayoritas perempuan dalam posisi ekonomi yang tidak menguntungkan karena kemiskinan. Kemiskinan membuat perempuan Indonesia terjerembab dalam berbagai permasalahan pelik. Bahkan tak jarang mereka harus terjerat rentenir hanya gara-gara ingin memenuhi kebutuhan pokoknya. Belum lagi dengan aspek ekonomi, pendidikan, kesehatan yang bisa dipastikan terabaikan karena ketiadaan uang. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan. Untuk mengatasinya dibutuhkan program yang jelas dan terarah untuk memberdayakan kaum perempuan baik dari pemerintah maupun kalangan swasta. Dalam konteks ini dunia swasta memang memegang peran yang sangat penting dan strategis lewat program dan tanggung jawab sosial perusahaan sekaligus membebaskan mereka dari jeratan kemiskinan.
Menurut data, sebanyak 70% permpuan di Indonesia berada dalam kondisi ekonomi kurang menguntungkan karena kemiskinan. Ketika kita menyatakan seseorang miskin, kita harus memahami tolak ukur yang kita gunakan untuk menyatakan seseorang/sekelompok orang dikategorikan miskin. Bagaimana dengan kemiskinan yang kita maksud…? Mengapa ada kemiskinan, mengapa kita tidak membahas dari sisi sebaliknya, yakni kesejahteraan yang mengisyaratkan sebuah optimisme. Orang miskin dimanapun pasti masih ditemui, baik di negera maju maupun di Negara berkembang. Hingga saat ini masih ada lebih kurang 39 juta orang miskin di Indonesia. Kemiskinan telah membuat kaum perempuan dan anak terserabut hak-haknya, bahkan kemiskinan kerap berakhir secara tragis.
“kemiskinan berwajah perempuan” begitu ungkapan yang sering kita dengar. Kaum perempuan di NTT misalnya, mereka berjalan sangat jauh untuk mememnuhi kebutuhan minum keluarganya, di sisi lain kita lihat orang orang dengan santainya menghambur-hamburkan air. Perempuan acap kali semakin terpuruk dalam kondisi terbelakang, terlupakan dan mendapat perlakuan kurang adil. Perempuan banyak dikorbankan untuk bekerja dengan jam kerja lebih namun dengan upah minim, diperjualbelikan, dan dilecehkan bagai bukan manusia. Banyak faktor berkontribusi terhadap persoalan perempuan dan kemiskinan, kita boleh meninjaunya dari struktur maupun kultur yang ada di Indonesia. Selama pembangunan berfokus hanya pada pertumbuhan dan belum mengutamakan kebutuhan gender maka kesenjangan gender masih kuat. Gambaran kemiskinan hampir di semua tempat di Indonesia masih selalu dapat kita lihat, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Perempuan dan anak merupakan korban kemiskinan yang paling utama. Jika berkesempatan berkunjung ke rumah sakit-rumah sakit bisa kita lihat bahwa kemiskinan itu nyata adanya. Banyak ibu-ibu melahirkan yang terpaksa tidak bisa membawa bayinya pulang karena masalah ketiadaan uang untuk membayar biaya rumah sakit. Banyak anak-anak yang dirawat di rumah padahal sakitnya parah, ini juga karena orang tua tidak mempunyai uang untuk biaya ke dokter atau rumah sakit. Pemerintah sebenarnya sudah memberlakukan Jamkesmas namun di lapangan masih sering kita dengar pelaksanaannya belum efektif dalam arti belum bisa menjangkau seluruh kelompok miskin (apalagi ke daerah-daerah terpencil). Hal yang perlu dipertanyakan mengenai hal ini ialah, bagaimana pula perempuan dan kemiskinan di Negara luar, apakah sama halnya dengan Indonesia…?
Bangladesh adalah Negara terpadat no.8 di dunia. Bangladesh juga disebut sebagai simbol kemiskinan Asia. Dari 132 juta penduduk, 90% populasi Bangladesh beragama Islam dan sisanya Hindu, Budha dan Kristen. Kondisi penduduk Bangladesh yang sebagian besarnya miskin dan perekonomian Negara yang lemah, membuat Negara ini menjadi wilayah yang rentan konflik dan rentan akan masalah kemiskinan. Apalagi dengan melihat penduduk penduduk Banladesh yang kebanyakan berada di daerah pegunungan dan bersuku-suku yang membuat komunikasi dan akses informasi menjadi lebih sulit.
Di sebagian masyarakat Bangladesh, permpuan sering dianjurkan untuk memulai keluarga pada usia muda (pernikahan dini), sehingga proporsi perempuan yang melahirkan anak pada usia 18 tahun di Bangladeshadalah 50% dari total jumlah perempuan produktif di Bangladesh. Jika dibandingkan dengan Negara di Amerika latin dan Karibia, jumlah perempuan yang melahirkan di dua Negara tersebut hanya sekitar 12-28% perempuan dari total jumlah perempuan. Anjuran ini pula yang membuat perempuan Bangladesh sering terhimpit pada masalah keluarga, masalah nafkah dan kemiskinan.
Ada satu hal yang dapat dipetik dari kenyataan kemiskinan yang dialami Bangladesh. Pemerintah Bangladesh tetap berupaya sekuat tenaga untuk menanggulangi kemiskinan. Salah satu upaya itu yakni Pemerintah Bangladesh mencoba memberikan kepercayaan besar kepada orang miskin untuk mengelola pinjaman dari pemerintah, pinjaman tersebut dikelola oleh Bank Pemerintah padahal di penjuru dunia, lembaga keuangan hanya melayani mereka yang dianggap memenuhi syarat bank. Sangat ironis dengan keadaan di Indonesia. Realitas rakyat miskin seperti di Bangladesh tidaklah terjadi di Indonesia. Negara tersebut merupakan satu-satunya di dunia, dimana 75% penduduk miskinnya mendapat pelayanan keuangan dari lembaga keuangan, baik bank maupun non bank. Akibat pengalaman keberhasilan dalam pelayanan keuangan pada rakyat miskin itu, Bangladesh lalu dikenal sebagai Motherland of Microfinance (ibu dari usaha kecil) atau yang sering juga disebut bank yang tidak memberlakukan syarat-syarat bank. Titik tolak yang menjadi paradigma berfikir pelayanan keuangan kepada perempuan miskin di Bangladesh adalah kepercayaan yang memerintah kepada perempuan miskin itu sendiri. pemerintah juga tidak pernah membedakan apakah yang mengajukan permohonan ke bank adalah perempuan atau laki-laki.

Lalu bagaimana dengan Indonesia, mampukah Indonesia meniru jejak Bangladesh dalam menanggulangi kemiskinan serta menghapus doktrin perempuan adalah cermin dari kemiskinan…? Dari pengalaman di Bangladesh tersebut, Indonesia sesungguhnya dapat meniru cara pemerataan kesejahteraan ekonomi yang dilakukan pemerintah Bangladesh melalui sistem bank rakyat dan usaha mikro kreditnya. Disamping itu pemerintah pun harus menyadari bahwa kemiskinan dan pengangguran tidak seharusnya menjadi momok, akan tetapi menjadi tantangan untuk dapat semakin mengembangkan diri dan mengentaskan kemiskinan secara bersama-sama.
Jangan sampai usaha kartini untuk mengentaskan kemiskinan dan kebodohan bagi kaum wanita menjadi sia-sia. Diharapkan hari kartini bukan hanya diperingati secara formalitas namun perlu ada penghayatan akan makna yang terkandung dari perjuangan seorang kartini yakni menuntut kesetaraan derajat baik dalam pendidikan, ekonomi, politik dan sosial. Peran pemerintah sangat dibutuhkan dalam penuntasan masalah kemiskinan yang melekat pada wanita. Pemerintah harus menindak tegas oknum-oknum yang melenceng dalam menjalankan tugas seperti pewujudan Jamkesmas belum efektif dan lain sebagainya. Sulit dibayangkan bahwa di Negara yang memiliki Sumber Daya Alam melimpah terdapat warga yang harus terbarung di rumah karena tidak memiliki dana untuk berobat ke rumah sakit, anaknya ditahan di rumah sakit karena orang tua tidak mampu membayar biaya persalinan, wanita sebagai kuli bangunan dan pemecah batu demi memenuhi kebutuhan pokok. Segala cara seharusnya kita tempuh untuk mengakhiri aib ini. Kita tidak usah malu belajar menanggulangi kemiskinan dari Negara yang mayoritas penduduknya adalah perempuan miskin seperti Bangladesh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar