Jumat, 08 April 2011

Upacara Horja Bius

UPACARA HORJA BIUS SEBAGAI WUJUD ANIMISME
SUKU BATAK TOBA SEBELUM MASUKNYA AGAMA KRISTEN
DI TANAH BATAK

A. Latar Belakang
Dalam adat Batak Toba dikenal suatu upacara, yakni upacara Bius. Dalam upacara Bius terdapat suatu kegiatan spiritual untuk mendekatkan diri kepada nenek moyang orang Batak. Nama kegiatan itu adalah hahomion. Selain untuk mendekatkan diri terdapat juga unsur memuja roh leluhur dan kekuatan gaib. Pada upacara ini terdapat akitivitas untuk memberikan sesajen/persembahan kepada leluhur. Ada orang Batak Toba yang memiliki pemahaman tentang roh leluhur yakni, mereka beranggapan belum ada pengadilan terakhir di bumi sehinga mereka percaya bahwa roh leluhur masih ada di sekitar kita. Roh itu mengawasi dan tetap menyertai. Pemahaman seperti itu masih tertanam kuat pada mereka yang sangat memegang teguh budaya Habatakon.
Sebagaimana yang dikatakan di atas, orang Batak yang ada pada saat ini ada yang percaya dan juga sebaliknya terlebih lagi mereka yang telah tersentuh dunia ilmiah, rasional, dan modern. Namun mau tidak mau mereka harus mengakui bahwa mereka dibesarkan oleh orang tua-orang tua yang mengajarkan hal-hal berbau budaya seperti itu sehingga antara ideologi habatakon dan ideologi kehidupan modern selalu menjadi satu dilemma. Upacara horha bius khususnya kegiatan hahomion merupakan budaya religi komunitas Batak Toba sebelum Tanah Batak disentuh oleh Agama Kristen. Artinya kegiatan ini tidak lagi dilaksanakan oleh suku Batak Toba yang telah memeluk agama. Yang unik disini adalah, memang upacara bius tidak pernah dilaksanakan lagi namun ideologi budaya tentang penyertaan roh leluhur masih tetap ada di benak orang Batak Toba walau terkadan kaum terpelajar/berpendidikan Batak Toba berupaya untuk tidak mengakuinya sebab mereka merasa hal itu tidak rasional. Terlepas dari rasional atau tidak upacara horja bius telah membuktikan bahwa orang Batak Toba pernah menganut Animisme yakni pemujaan pada roh leluhur mereka.
Dahulu kala orang Batak Toba tinggal di huta atau kampung. Huta atau kampung adalah komunitas orang Batak Toba yang paling kecil yang dibentuk oleh marga. Bius sidabutar misalnya. Kumpulan marga sidabutar akan disebut bius sidabutar. Marga Sidabutar yang mulanya tinggal di kampung induk tetapi karena penduduk terus berkembang menyebabkan terbentuk huta-huta yang baru. Untuk kepentingan-kepentingan bersama beberapa kampung atau huta membentuk federasi atau persekutuan yang sifatnya masih terikat satu dengan lainnya. Federasi huta tersebut lah yang disebut horja bius. Pelaksanaan upacara adat Horja Bius sesuai dengan kesepakatan warga huta terlebih lagi bila ada suatu hal yang harus dibicarakan bersama atau dimusyawarahkan. Maka pimpinan bius akan memimpin jalannya upacara yang dilaksanakan di halaman huta dengan tujuan agar seluruh masyarakat dapat hadir untuk mengikuti jalannya upacara. Hilangnya upacara Horja Bius ini menjadi daya tarik tersendiri bagi penulis. Apa yang menyebabkan upacara ini tidak dilaksanakan lagi apakah hanya semata-mata karena mayoritas Batak Toba yang ada pada saat ini telah memeluk agama, sehingga tidak sejalan dengan konteks upacara bius yang berlandaskan Animisme, kemudian penulis juga mencoba merekonstruksi upacara Horja Bius melalui penggambaran proses pelaksanaan acara termasuk semua bahan-bahan yang digunakan sebagai pendukung upacara.

B. Perumusan Masalah
Sebelum manusia memeluk agama, Animisme merupakan salah satu cara manusia untuk menyalurkan rasa takut yang dialami kepada alam dan rasa sadar adanya kekuatan lebih yang mengatur kehidupan yang disampaikan kepada leluhur mereka. Hal semacam ini dikatakan budaya religi atau sistem kepercayaan tradisional. Dalam tulisan-tulisan sejarah Batak Toba mengatakan bahwa sistem hubungan sosial orang Batak berfikir totalitas tentang kosmos. Dunia dibagi tiga yakni dunia atas (banua ginjang), dunia tengah (banua tonga) dan dunia bawah (banua toru). Hubungan ketiga tingkatan dunia itu sangat erat. Ketiganya mempunyai dewa penguasa yang disebut tritunggal yakni Batara Guru (penguasa dunia atas), Batara Sori atau soripada (penguasa dunia tengah) dan Bala Bulan atau Mangala Bulan (penguasa dunia bawah) (Tobing 1963 ; Sinaga 1981). Walaupun nama ketiga dewa menunjukkan adanya pengaruh agama Hindu, namun menurut konsepsi agama Batak Toba Ompu Mula Jadi Na Bolon yang menciptakan ketiga dewa itu (werneck, 1989 ; Sinaga 1981) dalam buku konflik status dan kekuasaan Orang Batak Toba.
Pemahaman itulah yang menguatkan Animisme sangat terasa di tanah Batak Toba dan upacara bius merupakan salah satu cara menghubungkan masyarakat Batak Toba dengan Mulajadi Na Bolon yakni dengan menyembah roh leluhur mereka dengan tujuan kiranya para leluhur menyampaikan doa-doa dan permohonan para keturunan kepda Mulajadi Na Bolon. Kegiatan itu telah berlangsung sejak lama, entah sejak kapan awalnya hingga sejarah mengatakan upacara itu dilakukan terakhir kalinya pada tahun 1938.
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana aktivitas dan makna ritual/upacara horja bius yang dilaksanakan leluhur orang Batak Toba dahulu.
2. Bagaimana orang Batak Toba saat ini memaknai upacara horja bius ditengah kehidupan modern dan telah memeluk agama.
C. Tujuan Penelitian Sebelumnya
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan pemahaman analitis etnografis/penggambaran upacara Horja Bius di tanah Batak Toba setelah hilangnya atau tidak diadakan selama 70 tahun terakhir. Dengan mendapatkan gambaran berupa penjelasan mengenai upacara ini diharapkan akan menarik perhatian pembaca untuk mengetahui lebih jauh lagi tentang upacara Horja Bius sehingga memperjelas pemahaman tentang acara ini.
Selanjutnya dengan dilakukannya penelitian ini, suku Batak Toba lebih menyadari lagi tentang ideologi Habatakon yang telah terbina sejak lama dan memberikan jawaban atas interpretasi-interpretasi tentang kepercayaan suku Batak Toba sebelum masuknya agama kristen. Intinya penelitian ini diharap menimbulkan niat pembaca untuk mengetahui lebih banyak lagi tentang objek kajian ini yang konon sudah tidak dilakukan lagi semenjak orang Batak Toba mengenal agama.

D. Manfaat Penelitian
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan analisis bagi perkembangan dunia antropologi budaya khususnya tentang pemahaman tentang budaya religi. Dari penelitian ini akan diperoleh gambaran dan rekonstruksi upacara horja bius yang pernah ada di tanah Batak Toba. Dengan kata lain para generasi muda Batak Toba akan mengenal dan memahami suatu budaya religi yang pernah dilakukan nenk moyang mereka sebelum mengenal agama
Secara praktis, membuka wawasan kepada pembaca khususnya orang Batak Toba mengenai bentuk animisme yang pernah ada dan menjadi identitas bagi suku yang memilikinya. Penulis bukan bermaksud menghidupkan kembali upacara horja bius yang telah hilang semenjak kedatangan Agama Kristen di Tanah Batak, karena kenyataannya upacara ini bukan hilang secara total, karena penganut Malim di tanah Batak masih melakukan upacara ini, namun lebih mengarah kepada manfaat etnografis yakni sekedar menggambarkan sebaik mungkin upacara horja bius yang dimaksud.




E. Tinjauan Penelitian Sebelumnya.
Catatan-catatan mengenai upacara Bius ditemukan juga dalam sub judul catatan tersembunyi “ dari hal bius di Negeri Limbong” catatan kedua adalah karangan Korn, berjudul Ean Batak Offerest (Pesta Puja Batak 1939) berdasar pengamatannya menghadiri pesta bius diselenggarakan di Sihotang pada 1938. Di seluruh distrik Samosir, pesta bius telah dilarang oleh penguasa sejak 1918. Sedang di Bagian Toba lainnya sudah lebih dulu. Pemberian izin khusus dengan mencabut sementara larangan penyelenggaraan pesta bius yang setiap tahun dirayakan oleh setiap bius, jelas menunjukkan motif Korn yang ingin memeroleh kesempatan untuk melihat dengan mata kepala sendiri jalannya pesta bius yang disebut upacara terbesar dalam tradisi Toba.
W.M Hutagalung mencatat dari hal Bius di Limbong 1923, larangan pesta bius baru berlaku selama lima tahun, sehingga data yang dikumpulkannya (dari parbaringin) tak perlu diragukan catatannya memberikan gambaran otentik tentang pesta bius. Karena sebagaimana diamati oleh Korn pada 1938, 20 Tahun setelah dilarang, parbaringin Sihotang ternyata masih sepenuhnya menguasai semua tata upacara besar itu sampai ke detail-detailnya. Catatan Hutagalung sangat besar artinya karena ia justru memperoleh bahannya di Limbong, petarangan tradisi Toba tertua (pewaris langsung tradisi sianjur mula-mula) bersama Sagala. Tgl 11 Juli 2006 di desa Tomok, Kec. Simanindo Kabupaten Samosir dilaksanakan pergelaran budaya pesta budaya Horja Bius Tomok II. Pergelaran ini merupakan teater kolosal yang merupakan modivikasi upacara yang pernah dilakukan para leluhur. Pada masa dahulu upacara horja bius di Tomok bersifat sakral sebagai upacara persembahan kepada leluhur Ompung Raja Sidbutar yang telah mendirikan Kampung Tomok.

F. Landasan Teori
Istilah horja menurut Sitor Situmorang (Tobanasae ; 2009 ; 206) diartikan sebagai tanah/sawah sumber daya alamiah diberi status hukum golat/hak ulayat khas Toba. Hak ulayat bius terbagi-bagi pengayomannya yang dilembagakan dalam institusi horja dimana keturunan pioneer pendiri bius diberi kedudukan marga raja. Para pendatang kemudian diberi hak partisipasi lewat institusi marga baru lewat perkawinan. Sipendatang dan keturunannya menerima atau mengambil istri dari keturunan pioneer. Lahirlah dasar pengaturan sosial berbentuk penggolongan berbentuk marga (raja atau boru). Pertambahan jumlah bius mendorong pengelompokan sosial bermarga seiring dengan bertambahnya bius. Pada abad ke 19 jumlahnya membengkak sampai lebih 325 marga. Masing-masing marga memakai nama leluhurnya sebagai proklamasi kemandiriannya di tiap lingkungan bius (dari 150 bius)
Istilah bius pada dasarnya merujuk pada (Paguyuban desa berotonomi penuh). Daerah yang telah dijadikan bius akan membentuk aturan sendiri dan semua kebijakan baik dalam hukum dan adat dikuasai penuh oleh bius yang bersangkutan tanpa ada pengaru dari luar. Sitor Situmorang (Tobanasae 2009) mengatakan “Bius adalah organisasi sosial berotonomi yang paling mendasar di Toba berdasarkan sistem manajemen irigasi yang tunggal. Manajeman ekonomi pertanian bersawah itu melahirkan organisasi yang tunggal yaitu Bius dengan institusi pelaksana manajemen pertanian dan penegakan hukum.

Adapun hahomion adalah bagian dari bius. Seperti yang dijelaskan pada bagian latar belakang bahwa hahomion adalah ritual yang dilakukan nenek moyang orang Batak Toba terdahulu untuk memuja roh leluhur dan kekuatan gaib. Tujuannya untuk memberikan sesajen/persembahan kepada leluhur, juga untuk memohon kepada dewata/debata supaya tidak terjadi musim kering berkepanjangan; tidak ada paceklik, tidak ada wabah penyakit. Persiapan yang dilakukan untuk melaksanakan acara ini antara lain dengan menyediakan bahan makanan meliputi dari hewan, ikan, tepung beras, buah-buahan diantaranya adalah:
1. Satu Ekor Kambing Putih (hambing putih) yangdimasak dan dipotong sesuai potongan sendi tulang kambing, bagian kepala, leher, dada/badan, pangkal paha bagian atas, paha bagian tengah kaki bagian depan dan belakang. Daging kambing ini dimasak dengan bumbu seperti cabe, garam, jahe, lengkuas, sere, bawang merah bawang putih, ketumbar gonseng, merica, buah pala dan jintan. Semua bahan secukupnya dibuat seperti bumbu kare, disajikan, disusun sesuai urutan ketika hewan ini hidup dalam pinggan pasu/piring besar dari keramik.
2. Ayam Putih Jantan (Manuk Putih Jantan/manuk mira), dipotong sesuai potongan sendi tulang ayam, potongan berupa; kepala, leher, dada, tuah/punggung, rempelo/bagian dalam perut, sayap, paha pangkal, paha bawah, kaki dan buntut dimasak dengan bumbu cabe, garam, jahe, lengkuas, sere, bawang merah, bawang putih, ketumbar gonseng, merica, buah pala dan jintan. Semua bahan secukupnya dibuat seperti bumbu kare disajiakan/disusun sesuai urutan ketika hewan hidup dalam pinggan pasu atau piring biasa/piring keramik putih ukuran sedang.
3. Ayam Jantan Merah Panggang (manuk mira narara pedar) dipotong sesuai potongan sendi tulang ayam, potongan berupa; kepala, leher, dada, tuah/punggung, rempelo/bagian dalam perut, sayap, paha pangkal, paha bawah, kaki, buntut, ayam dicuci dan dipanggang, darahnya dicampurkan ke bumbu dan dilumuri secara menyeluruh. Ayam ini yang memasak khusus suami dan hanya para suami yang boleh makan ayam ini nantinya bila ritual selesai. Disajikan dalam pinggan pasu dengan posisi ayam duduk.
4. Ayam Jantan (manuk faru basi bolgang). Ayam ini utuh ditujukan kepada yang sakti, ayam dipotong dibelah/dikeluarkan bagian dalam perutnya, direbus/dikukus sampai matang, sebelum direbus diberi bumbu rendang tapi tak memakai santan.
5. Sagu-sagu. Bahan kue ini dari tepung beras dimasak tanpa gula kemudian dipadatkan dibentuk menggumpal/membulat. Kueh ini dimaksudkan sebagai lambang pemberi semangat.
6. Itak Nani Hopingan, kueh dari tepung beras dicampur dengan pisang, gula putih, gula merah ditumbuk/dicetak bisa berbentuk bulat diletakkan di piring. Di atas itak nani hopingan diberi telur, bunga raya dan roddang (kembang jagung), pisang dan menge-mangeni pining (bunga pinang) Kueh ini dimaksudkan sebagai lambang minta doa restu.
7. Itak Gurgur atau Pohul-pohu. Bahan kue ini dari tepung beras, gula putih, kelapa digongseng setengah matang dicampur sampai menyatu dan dapat dibentuk, dengan menggunakan jari/genggaman.
8. Ihan Batak yakni ikan khusus dari danau toba yang dimasak utuh satu ekor dengan terlebih dahulu dibersihkan bagian perut dan diberi bumbu cabe, garam, jahe, lengkuas, serre, bawang merah bawang putih, ketumbar gonseng, merica, buah pala dan jintan. Semua bahan secukupnya dibuat seperti bumbu kare, disajikan di atas nasi kuning yang diberi bumbu di sertakan dengan pisang, itak gurgur dan bahan lainnya.
9. Anggir pangurason yakniair yang dicampur dengan jeruk purut, bunga raya dan dedaunan untuk penawar dan bahan lainnya, ditaruh dalam wadah berupa cawan putih.
10. Assimun pangalambohi adalah bahan yang terbuat dari timun dipotong panjang dimaksudkan sebagai penyegar perasaan.
11. Tanduk horbo paung yang terbuat dari pisang berukuran besar-besar seperti pisang ambon/pisang Batak yang dimaksudkan sebagai penyegar perasaan.
12. Hajut/kampil; sumpit putih diisi beras, uang pecahan (hepeng) nilai terbesar Rp.100.000,-, ditutup dengan daun sirih. Hajut ini sebagai perlambang kunci persembahan yang dibawa oleh Datu/dukun dan diletakkan di atas meja persembahan bersama bahan sajen lainnya.
13. Aek Naso ke mida matani ari (air kelapa muda ) air yang bersih dan steril. Cara penyajiannya kelapa muda dilobangi bagian atasnya, di atas lobang tersebut diletakkan jeruk purut dan bunga raya merah.
14. Perlengkapan makan sirih yaitu daun sirih, gambir, kapur, cengkeh, buah pinang dan tembakau.
15. Perlengkapan pakaian untuk semua peserta upacara adalah memakai pakaian adat Batak Toba (ulos), bagi perempuan ulos diselempangkan atau diselendangkan sebagai pengganti baju, bagi laki-laki ulos disarungkan dan diselempangkan tanpa baju. Bagi orang tertentu memakai ikat kepala menunjukkan kedudukan dalam pranata sosial. Khusus Datu memakai pakaian baju berwarna hitam yaitu melambangkan bahwa datu tersebut seolah-olah bertindak sebagai perlambang kehadiran Debata Batara Guru (salah satu dari Debata Na Tolu) yang merupakan wujud pancaran kasih Debata Mulajadi Na Bolon perihal kebijakan, sementara pada kepala memakai ikat kepala berwarna merah yakni melambangkan Debata Bata Bulan yang merupakan wujud pancaran kasih Debata Mulajadi Na Bolon perihal kekuatan.
16. Perlengkapan lainnya adalah "Dupa" tempat membakar kemenyan, yakni wadah yang diisi abu, bara api, dan ditaburkan kemenyan sedikit demi sedikit. Aroma khas kemenyan dimaksudkan untuk mengundang kehadiran mahluk gaib/kekuatan gaib untuk hadir dan menyatu dalam ritual yang dilaksanakan.
17. Pergondangan yaitu menyiapkan satu gordang (gondang besar), 5 buah topong (gondang yang ukurannya lebih kecil) 1 buah kesik (hesek-hesek) dan 2 buah ogungdoal (Gong), ogung ihutan dan 1 ogung oloan panggor dan 1 buah sarune.
Berbicara tentang Bius, tidak terlepas dari sejarahnya. Sejarah bius tidak luput dari tempat dimana hal itu pertama kali diciptakan. Kepercayaan orang Batak Toba yang mengatakan nenek moyang mereka diturunkan di Pusuk Buhit masih dipegang teguh sampai saat ini, artinya perkembangan/pertumbuhan jumlah orang Batak Toba pada awalnya bemula disana. Seiring bertumbuhnya jumlah orang Batak Toba diikuti juga oleh lahirnya satu federasi pengatur/penata kehidupan sosial otonom yang disebut dengan bius. Di daerah Pusuk Buhit terdapat satu daerah yang disebut Lintong.
Lintong adalah daerah hutan di dataran tinggi sebelah barat Pusuk Buhit Danau Toba. Batas Batu magulang dengan lembah-lembah (dari utara ke selatan) yaitu Sabulan, Tamba, Sihotang, Harian Boho, Limbong dan Sagala. Sebelum penjajahan Belanda (1908), Lintong adalah anggota persekutuan antar wilayah (federasi) yang terdiri dari Lintong. Banira dan hutan galung yang membentuk satu bius mandiri di akhir abad ke 17. kedua daerah terakhir terdapat di sebelah selatan sungai binangan Tele. Federasi itu berbentuk Bius yang lebih dikenal dengan sebutan Bius Lintong yang kemudian hari oleh Belanda dimasukkan ke dalam administrasi Negeri Harian Boho (dibentuk pada tahun 1908). Tanah bius itu meliputi daerah padanng rumput dan hutan di atas tebing barat Danau Toba dan Lembah Tamba, Sihotang, Holbung, Janji Manahan, Harian Boho, Limbong dan Sagala. Lintong berada kira-kira 200 mdpl, berhawa dingin dan lembab, sering ditempa angina kencang dari samudera Indonesia. Karena berhawa dingin padi tidak tumbuh sehingga mata pencaharian penduduknya adalah mengambil hasil hutan. Dalam bahasa mereka sehari-hari menyebut bahwa hutan lah sawah mereka (tombak do sabana). Hutan Lintong pada masa lalu adalah penghasil kayu untuk bangunan-bangunan rumah adat, bahan baku perahu besar dan kecil juga menjadi sumber rotan.
Sesuai dengan pengertian bius menurut Sitor Situmorang dalam bukunya Tobanasae yang mengatakan bahwa bius adalah organisasi sosial berotonomi yang paling mendasar di Batak Toba. Oganisasi sosial berotonomi yang dimaksud adalah kehidupan bersama yang diatur oleh adat. Keseluruhan hidup orang Batak Toba diatur oleh dan di dalam adat. (B.A. Simanjuntak, dalam konflik status dan kekuasaan orang Batak Toba). alasan utama terbentuknya bius yakni mewujudkan keteraturan sosial dalam lingkungan marga pembetuk bius itu sendiri, keteraturan sosial yang yang berlandaskan adat istiadat. Karena fungsi adat yang utama ialah menciptakan keteraturan di dalam masyarakat. Aktivitas sehari-hari, bila berhubungan sesama batak, selalu diukur dan diatur berdasarkan adat. Jadi tidak hanya dengan sesama Batak Toba. Hubungan sosial dalam pekerjaan baik pemerintahan, perusahaan, pendidikan, perniagaan, maupun hubungan organisatoris di dalam lembaga politik atau keamanan yang dilakukan secara resmi oleh sesama orang Batak Toba. Bila akhir hubungan itu ditutup dengan bahasa dan peraturan Batak, masing-masing akan menilai aksinya dalam konteks adat Batak. Apakah aksi dan kontraksi yang telah terjadi berada pada adat yang baik atau tergolong tidak beradat. Adat berhubungan itu termasuk dalam konteks adat menrut konsepsi orang Batak Toba.
Adat bagi orang Batak Toba menyangkut suatu nilai budaya. Kebudayannya memiliki sistem, nilai budaya yang amat penting menjadi tujuan dan pandangan hidup orang Batak Toba secara turun temurun yakni Hamoraon (kekayaan), Hagabeon (Banyak keturunan), dan Hasangapon (kehormatan) dalam B.A Simanjuntak, konflik status dan kekuasaan orang Batak Toba. Seperti yang dikatakan di awal bahwa bius merupakan wujud Animisme orang Batak Toba sebelum masuknyaAgama di Tanah Batak. Animisme adalah bentuk kepercayaan kepada roh (animo), menganggap roh-roh nenk moyang sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat pada masa itu. Baik animisme, dinamisme, politeisme, dirangkum dalam teori asal usul agama. Sejak dahulu hingga sekarang banuyak para sarjana yang mempelajari agama menurut disiplin ilmu masing-masing. Dari segi kajian Antropologi, para sarjana telah mencoba mengkaji agama dari berbagai aspek. Misalnya tentang asal mula manusia beragama di samping mengkaji bentuk-bentuk kepercayaan manusia yang ada di muka bumi ini serta mengkaji bentuk upacara keagamaannya (ritual).
Adalah Tylor yang pertama mengkaji dan mendefinisikan agama dengan sangat sederhana dan tanpa memberi penilaian terhadap fungsi agama itu (Ibrahim Gultom; Agama Malim di Tanah Batak 2010). Kajian ini kemudian disebut menjadi sebuah teori tentang asal mula agama. Menurut Tylor, asal mula agama pada awalnya berangkat dari kesadaran akan adanya jiwa . Selanjutnya Lang (1896) memunculkan teori baru yang ulasannya berbeda dengan Tylor terutama dalam hal konsep jiwa dimana ia mengatakan bahwa di setiap jiwa mansia ada memiliki kemampuan gaib yang dapat beraktivitas lebih kuat akibat lemahnya aktivitas pikiran manusia yang rasional. Selain itu Frazer membuat suatu teori tentang asal mula agama bagi manusia. Teori yang dimaksud bisa dinamakan teori batas akal. Masih berhubungan dengan hal ini Muller (1878) mengatakan bahwa agama berasal dari keperluan dasar manusia untuk mencari sesuatu yang berkenaan dengan kekuatan hakiki yang ada di luar dirinya dan yang menguasai hidupnya dari alam lingkungannya. Dari masalah itu timbullah gagasan tentang dewa, roh-roh dan Tuhan.
G. Metode Penelitian
1. Penelitian Lokasi Penelitian
Penelitian ini memilih aktivitas upacara horja bius yang dilakukan di tanah Batak Toba. Adapun tempat yang dimaksud adalah desa Huta Tinggi Porsea. Penentuan lokasi ini karena satu-satunya komuniatas Batak Toba di Tanah Batak yang masih melakukan upacara ini yakni penganut agama malim yang ada di Huta Tinggi Porsea. Dengan mengambil tempat ini sebagai lokasi penelitian maka akan dapat diidentifikasi dan digambarkan bagaimana aktivitas upacara horja bius dahulunya.
Upacara horja bius yang dilakukan di tempat ini lebih menyerah kepada hahomion yakni bagian dari upacara horja bius yang menghubungkan orang Batak Toba kepada leluhurnya. Tujuannya agar para leluhur menyertai kehidupan dan menjauhkan marabahaya dari orang Batak Toba, khususnya mereka yang menganut agama malim. Intinya upacara bius yang dilakukuan di Huta Tinggi akan membantu penulis untuk menggambarkan upacara horja bius dahulu yang pernah dilakukan leluhur orang Batak Toba.

2.Penentuan Informan
Untuk menentukan iforman, penulis juga menggunakan konsep Spradley (1997;6) dan Benard (1994;166) yang prinsipnya menghendaki seorang informan itu harus paham terhadap budaya yang dibutuhkan. Penentuan informan itu dilakukan menggunakan teknik snowboling, yaitu berdasarkan informasi informan sebelumnya untuk mendapatkan informan berikutnya sampai mendapatkan data jenuh (tidak terdapat informasi baru lagi). Berdasarkan pendapat itu informan yang dipilih adalah penganut agama malim di Huta Tinggi. Informan lain ditentukan secara snowboling, menurut informasi estafet dari pelaku utama upacara horja bius. Dari informasi pelaku utama ini ditentukan oleh informan lain yaitu para penganut lainnya. Pelaku utama ini diasumsikan yang paling mengetahui upacara horja bius yang mereka lakukan. Dari informan pelaku utama ini ditentukan informan lain yaitu para penganut agama malim yang lan yakni para peserta upacara bius di desa Huta Tinggi. Dengan teknik snowboling, jumlah informan tidak terbatas jumlahnya. Karakteristik informan juga tidak ditentukan oleh peneliti, melainkan didasarkan pada rekomendasi informan sebelumnya. Melalui rekomedasi itu, peneliti segera menghubungi informan berikutnya sampai data yang diperoleh mendapatkan kesatuan yang utuh.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan penulis adalah partisipant obsrvation (Adler dan Adler, 1994 ; 377) dan Indepth Interview (Fontana dan Frey, 1994 ; 365-366). Dalam melakukan partisipant observation juga bepegang pada konsep Spradley (1997 ; 106) bahwa peneliti berusaha menyimpan pembicaraan informan, membuat penjelasan berulang, menegaskan pembicaraan informan, dan tidak menanyakan makna tetapi gunanya. Pengamatan berpartisipasi pada saat penyelenggaraan upacara horja bius dari awal sampai akhir.
Melalui pengamatan terlibat demikian dimaksudkan agar peneliti mudah melakukan wawancara secara mendalam. Dalam wawancara, peneliti menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Batak. Oleh karena ada hal-hal dan ungkapan-ungkapan tertentu yang harus diungkap menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Batak. Hasil wawancara yang berbahasa Indonesia dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia untuk memudahkan analisis. Namun istilah-istilah yang sulit diterjemahkan dan atau memang bahasa ideal yang khas, tidak diterjemahkan, melainkan hanya diberikan padanan katanya saja. Untuk mencapai kredibilitas data dilakukan dengan cara pengamatan terus-menerus dan triangulasi. Pengamatan terus-menerus ditempuh dengan cara sedikitnya dua atau tiga kali pelaksanaan upacara horja bius. Triangulasi dilakukan dengan cara pengecekan ulang oleh informan setelah hasil wawancara ditranskrip. Di samping itu juga berkonsultasi kepada pembimbing.
4.Teknik Analisi Data
Penelitian ini, menggunakan metode penelitian kualitatif yang berupa deskripsi mendalam terhadap upacara horja bius. Dalam kaitan ini diterapkan konsep analisis budaya Geertz (Banton 1973 ; 7-8) yang disebut “model for” dan “model of”. Model for artinya konsep yang telah ada diterapkan ke dalam realitas fenomena sosial budaya. Model of artinya realitas fenomena sosial budaya ditafsirkan atau dipahami. Penelitian ini menggunakan model of yakni mengadakan pengamatan terlibat, kemudian secara emik (kaplan dan manners, 1999;259) menanyakan kepada pendukung upacara untuk mengungkap makna dan fungsi, sesuai dengan kategori warga setempat. Peneliti melakukan refleksi dengan informan terhadap sikap ucapan dan tindak ritual sehingga terjadi penafsiran intersubjektif. Hasil penafsiran ini kemudian direlasikan dengan kerangka teori yang telah dibangun untuk menemukan pemahaman makna dan fungsi upacara horja bius secara menyeluruh.
Untuk mengungkap makna dan fungsi secara struktural fungsional upacara horja bius, digunakan teknik analisis kualitatif etnografik. Maksudnya, peneliti berusaha mendeskripsikan secara etnografik tentang sikap, kata-kata dan perbuatan pendukung upacara bius. Deskripsi tersebut digambarkan secara holistik dan mendalam. Analisis ini dilakukan secara terus-menerus baik pada saat di lapangan dan setelah di lapangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar